A.
Prolog
Sunnah merupakan
penafsiran konkrit dan ideal terhadap Al-Qur’an –sumber utama Islam- pada masa
kenabian. Al-Qur’an diterjemahkan dengan varian bentuk, mulai dengan
eksplanasi, tindakan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. bersumber dan dari spirit
Al-Qur’an. Tak heran jika ‘Aisyah menyatakan bahwa akhlak Al-Qur’an
dimanifestasikan dengan perilaku Nabi. Sehingga Sunnah menjadi penjelas (mubayyin) atas ambiguitas dan merinci (mukhassis) keumuman lafaz Al-Qur’an lalu
diterjemahkan dan didialogkan secara sirkular dengan tradisi dan budaya lokal
Arab Jahiliah. Para sahabat terkesima dan kagum dengan syariah yang dibawa oleh Nabi. Sehingga segala ucapan, tindakan,
ketetapan maupun sifatnya diabadikan dalam pelepah kurma, batu dan memori
ingatan mereka. Sehingga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Sunnah
resmi dikodifikasi dan dapat dibaca pada abad kontemporer.
Hadis yang
memiliki otoritas kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam. Dalam
perjalanan sejarah yurisprudensi Islam, kedudukan Sunnah sangat signifikan,
bahkan menurut penelitian Schacht, Crone dan Wansbrough menyatakan bahwa
mayoritas hukum Islam direfleksikan dan mendapatkan validitasnya dari sumber
kedua yaitu Sunnah, kendati terdapat sejumlah doktrin yang didasarkan pada Al-Qur’an
dan lainnya didasarkan pada analogi (qiyas)
dan pertimbangan yang baik (istihsan)
dan perangkat metodologi lainnya, namun Hadis menempati posisi sentral dalam
hukum Islam.[1]
Namun pada masa modern, sejumlah tokoh seperti, Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut,
Muhammad Mustafa Syalabi dan selainnya, telah mengadakan penelitian untuk
mengklasifikasi peran Nabi sebagai seorang rasul, negarawan, hakim dan sebagai
masyarakat biasa. Dan secara general dapat dibagi menjadi dua, yaitu syar’iyyah dan gairu syar’iyyah.
Penelitian itu
sangat beralasan, sebab didukung dengan sekian hadis, bahwa Nabi Muhammad saw.
mengatakan: “sesungguhnya aku adalah
manusia biasa, apabila aku memerintahkan kalian suatu hal yang berasal dari
agamamu maka ambillah ia, dan apabila aku memerintahkan suatu hal atas dasar
pendapatku (ra’yi) maka sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa” (H.R.
Muslim) dan data-data sejarah yang mengisahkan kebijakan Nabi berdasarkan
kemaslahatan umat Islam secara umum dan khusus yang layak diteliti dan
diterjemahkan dengan realitas umat Islam kontemporer agar sesuai dengan maqashid
syar’iyyah (the goal of syariah) dan
berjalan beriringan dengan ruang dan waktu.
Kajian living
hadis yang marak diperbincangkan pada dekade terakhir ini, adalah bagian dari
studi hadis yang bergerak pada dua sisi yaitu analisa historis dan analisa
fenomena sosial-kemasyarakatan kontemporer yang notabenenya didasarkan dengan
hadis maupun tradisi Nabi Muhammad saw. namun dalam makalah ini, penulis
mencoba menarawang perkembangan living hadis pasca kenabian yang tentunya
disertai dengan banyak sekali kekurangan. Bab pertama adalah pendahuluan, bab
II, penulis mendeskripsikan sekilas perdebatan seputar konsep Sunnah dan hadis,
dan pada bab selanjutnya adalah bab inti, yaitu perkembangan living hadis pasca
kenabian dan terakahir adalah penutup.
B. Perdebatan Seputar Konsep Sunnah dan Hadis
Kata sanna
berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu model. Kata
tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu tingkah laku
yang patut dicontoh dapat dimulai dengan membuat model atau mengambil praktek
nenek moyang satu suku atau komunitas.[2]
Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai (1) konsep perilaku (behavioral concept), atau menurutnya, Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku,
tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang bersifat normatif: keharusan
moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah;
(2) Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep
normatif, dan selanjutnya, (3) Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah
adalah jalan lurus tanpa ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi
makna sebagai” penengah di antara hal-hal ekstrim” atau “jalan tengah”.[3]
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama silam modern
tentang waktu yang pasti munculnya konsep Sunnah nabi, sebagaimana dibedakan
dari tradisi muslim awal. Sebagian orientalis, semisal Joseph Schacht,
berpendapat bahwa konsep Sunnah sebagai suatu konsep yang muncul relatif
belakangan, selain Schacht terdapat sekian orientalis yang memiliki pandangan
serupa tentang konsep Sunnah, seperti Goldziher, Snouck Hurgronje, Margolioth,
dsb. Fazlur Rahman membantah tesis mereka dengan menyatakan bahwa konsep Sunnah
telah ada sejak semula. Rahman lebih lanjut menegaskan:
(1) bahwa
sementara kisah perkembangan Sunnah di atas pada dasarnya hanya benar
sehubungan dengan kandungannya tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan bahwa Sunnah nabi tetap merupakan konsep yang memiliki
validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga masa kini. (2) Bahwa
kandungan Sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak
dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak; (3) bahwa konsep Sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencukup Sunnah dari Nabi tersebut; (4) bahwa Sunnah
di dalam pengertian yang terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada
dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus; dan
yang terakhir (5) bahwa setelah gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran,
hubungan organis di antara Sunnah, Ijtihad, dan Ijma’ menjadi rusak.[4]
Sunnah bagi Malik, pengarang kitab Muwatta’, merupakan
aturan hidup normatif yang ditegakkan oleh Nabi, diamalkan oleh para Sahabat
kemudian diwarisi oleh para Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in dalam bentuk tradisi
hingga masa Malik. Tradisi ini dapat semata-mata bersumber dari Nabi, dan dalam
kasus seperti ini, Malik biasanya merujuk-nya dengan menggunakan term Sunnah,
atau yang berisi unsur-unsur tambahan yang berasal dari ulama, dan dalam kasus
seperti ini, Malik biasanya merujuknya dengan menggunakan term Amr. Terlebih lagi, karena Sunnah
merupakan bagian dari tradisi, maka apa yang telah kita kaji mengenai tradisi
dalam kaitannya dengan Hadis berlaku sama pada Sunnah: walaupun Sunnah dan
Hadis seringkali saling meliputi, tetapi Sunnah mungkin Sunnah atau saja
terekam dalam mungkin juga tidak. Oleh Karena itu, dua term tersebut berbeda
sekali.[5]
Perbedaan itu nampak jelas dalam sebuah riwayat bahwa Umar bin Khattab berkata:
“Demi Allah saya akan membuat segalanya sulit bagi setiap orang yang
meriwayatkan sebuah hadis yang bertentangan dengan Sunnah.”[6] Dengan
demikian, Malik berpendapat bahwa tradisi/’amal
ahli madinah yang diwariskan oleh Nabi memiliki kedudukan signifikan dan
memberikan otoritas lebih kuat dalam penetapan hukum.[7]
Berbeda halnya dengan para fuqaha’ semisal Syafi’i, Abu Hanifah dan
selainnya yang mengabaikan peran ‘amal
ahlu madinah dan berpegang pada hadis yang dikodifikasi pada abad II H.
dalam mengkonstruksi dan memproduksi hukum-hukum Islam yang kemudian dinobatkan
sebagai pijakan dalam Islam. Hadis yang terkodifikasi, menurut Goldziher
merupakan sebuah penyampaian verbal (verbal
speaking) yang berasal dari Nabi.[8]
Sedangkan Rahman memahami Hadis sebagai metodologi yang disumbangkan oleh generasi
muslim masa klasik dalam penulisan sejarah Sunnah karena kepentingan dan
pergulatan tumbuh kembangnya ortodoksi dalam Islam. Karena kepentingan itu,
penulisan atau pengkodifikasian sejarah itu bersifat aphoristic.[9]
Hal demikian sebagaimana dikatakan oleh Rahman berikut ini.
kehidupan Nabi Berulang
kali telah kami katakan, mungkin sampai membosankan sebagian pembaca, bahwa
walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, Hadis merupakan hasil
karya dari generasi muslim masa lampau berdasarkan teladan tersebut.
Sesungguhnya hadis adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan
dikemukakan seolah-olah dari Nabi, oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara
historis tidak terlepas dari Nabi, sifatnya yang aphoristic menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidaklah bersifat historis. Secara lebih tepat, hadis adalah
komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat musilm di masa lampau. Jadi
walaupun berdasarkan, hadis juga merupakan lambing dari kebijaksanaan
orang-orang muslim di masa klasik.[10]
Orientasi pemahaman yang menekankan dimensi
historisitas atas Sunnah maupun hadis cukup jelas bagi Rahman dari penjabaran
di atas. Arkoun lebih lanjut mengelaborasi konsekwensinya menyatakan bahwa perubahan
tradisi lisan (oral tradition) menjadi tradisi tulis yang
kemudian menjadi sebuah korpus tertutup (closed
corpus) dan diperlukan adanya general
review atas seluruh proses historis
penulisan dan pembukuan hadis.[11]
C.
Defenisi Living Hadis dan Living Sunnah
Dari perdebatan para ulama klasik maupun modern dalam
mendefinisikan konsep Hadis dan Sunnah membuahkan perbedaan dalam pendefinisian
living Sunnah (living tradition) dan
living hadis (living hadith). Fazlur
Rahman, penggagas living Sunnah, memaknainya sebagai aktualisasi tradisi yang
hidup yang bersumber dari Nabi yang kemudian dimodifikasi dan dielaborasi oleh
generasi setelahnya sampai pada masa pra-kodifikasi dengan pelbagai perangkat
interpretasi untuk dipraktekkan pada komunitas tertentu.[12]
Nampaknya Rahman sangat dipengaruhi dengan pemikiran Imam Malik yang
mempertahankan Tradisi penduduk Madinah (amal
ahl Madinah) dengan mengedepankan tradisi Madinah dari hadis yang
dikodifikasi pada abad II H sebagai sumber hukum. Jika Imam Malik memelihara Sunnah
agar tetap dipraktekkan di Madinah maka berbeda dengan Rahman yang mengindahkan
pengembangan, elaborasi dan modifikasi agar tetap seiring dengan perkembangan
zaman (shalih likulli zaman wa makan).
Berangkat dari perbedaan konsep Hadis dan Sunnah, maka
istilah Living Hadis memiliki pengertian yang berbeda. M. Alfatih Suryadilaga
memaknai living hadis sebagai gejala yang Nampak di masyarakat berupa pola-pola
perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.[13] konsep
living hadis yang diutarakan oleh M. Alfatih merupakan pengembangan dari living
Sunnah Fazlur Rahman. Dari kedua konsep tersebut, memiliki perangkat metodologi
yang berbeda. Living Sunnah menggunakan pendekatan historis dalam menelusuri
jejak tradisi Nabi yang tenggelam, implikasi dari hadis yang diverbalisasikan.
Sedangkan Living Hadis lebih bernuansa fenomenologi dalam mengungkap tradisi
dan budaya yang diklaim bersumber dari hadis Nabi. Kedua perangkat tersebut
beroperasi pada wilayah dan cakupan yang berbeda.
D.
Perkembangan Living Hadis Pasca Kenabian
Mengacu pada perbedaan konsep living Sunnah dan living
hadis pada bab sebelumnya, penulis memilih menggunakan term living hadis untuk
melacak perkembangan hadis pasca kenabian dalam makalah ini, dengan tiga alasan:
(1) secara terminologi, Hadis memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan
dengan Sunnah, meskipun hadis ditinjau dari etimologinya diartikan penyampaian
verbal dan Sunnah diartikan tradisi yang diciptakan (2) hasil penelitian
al-Azhami menegaskan pelbagai riwayat yang menunjukkan adanya budaya tulis-menulis
hadis pada masa kenabian yang dijadikan pijakan oleh mayoritas sahabat dan
generasi-generasi pasca kenabian sampai pada masa kodifikasi (3) orientasi
Fazlur Rahman dalam penelitiannya adalah mengungkap ortodoksi generasi muslim
klasik yang banyak dituangkan dan diklaim sebagai hadis Nabi dengan menggunakan
penghampiran historis. berbeda dengan orientasi penulis dalam makalah ini,
yakni, melacak perkembangan hadis secara umum baik penyampaian verbal (ahaadis) maupun praktek hadis (af’al/Sunnah) pasca kenabian.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengklasifikasikan
perkembangan living hadis dalam dua periode, yaitu periode pra kodifikasi dan
pasca kodifikasi.
1. Living Hadis Pra Kodifikasi
Living hadis masa pra-kodifikasi mencakup dua generasi penting dalam
Islam, yakni generasi sahabat dan tabi’iin. Generasi sahabat, khususnya periode
kibar as-sahabah (11-40 H.) ditandai dengan aktualisasi hadis/Sunnah
sebagaimana adanya pada masa kenabian, dengan kata lain, problema
sosial-kemasyarakatan dapat diatasi dengan berpegang pada tradisi dan hadis
Nabi, kendati terdapat perbedaan ijtihad sahabat dalam pelbagai kasus, namun
belum merebak dan mengakar pada segala lini.[14]
Namun pada periode Dinasti Umayyah, dimulai pada masa pemerintahan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan sampai masa kodifikasi ditemukan perpecahan yang sifatnya
politis dalam tubuh umat Islam, Sahabat berpencar-pencar ke daerah-daerah,
perkembangan yang signifikan dalam periwayatan hadis dan merebaknya pemalsuan
hadis.[15]
Pada masa kibar sahabah
tercatat kesepakatan sahabat (ijma’
sahabat) dalam menerapkan tradisi (living hadis) yang bersumber dari Nabi,
ketika tidak ditemukan hadis, para sahabat menggunakan perangkat ijtihad
sebagai tawaran solutif dalam menyelesaikan permasalahan umat Islam masa itu.
Selain itu, sejarah merekam adanya pengembangan-pengembangan tradisi Nabi oleh
sahabat bahkan menciptakan tradisi yang belum pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw. atas nama kemaslahatan umat Islam. Berlandaskan pada pemaparan di
atas, dapat diketahui bahwa para sahabat memahami secara komprehensif maqashid syariah ketika dihadapkan pada
realitas baru yang mereka temukan.
Umar bin Khattab adalah misal paling relevan mendeskripsikan statement
di atas, sahabat nabi yang digelari sebagai al-Faruq ini, dinobatkan sebagai
pembaharu oleh Nabi. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa nabi saw.
mengatakan: “inna minkum muhditsin, fa in
yakun faminhum Umar bin al-Khattab”[16]
artinya, sesungguhnya diantara kalian adalah tokoh-tokoh pembaharu, dan
Umar bin Khattab adalah salah satu dari mereka. Sejarah Umar bin Khattab tak
lapuk ditelan masa, ijtihadnya yang brilian mampu mensejahterakan
masyarakatnya. Ia tak henti-hentinya dipuja sebagai negarawan sejati demi
kemaslahatan umatnya.
Sebagai contoh “living hadis tulis” pada masa sahabat adalah kodifikasi Alqur’an.
Penulisan Al-Qur’an pada pelbagai sahifat
pribadi para sahabat pada masa kenabian merupakan perintah Nabi Muhammad saw.
peristiwa perang Yamamah dan wafatnya 70 huffadz
Al-Qur’an menyita perhatian para sahabat, sehingga timbullah ide brilian
Umar bin Khattab agar Al-Qur’an dikodifikasi sesegera mungkin, Abu Bakar
as-Shiddiq yang menjabat sebagai khalifah pada yang awalnya ragu karena belum
pernah dilakukan oleh Rasul, yang pada akhirnya Abu Bakar menyepakati saran
Umar demi kemaslahatan umat Islam.
“Living hadis Ijma ‘dalam bentuk praktek’, banyak dijumpai dalam tradisi
sahabat, salah satu di antaranya adalah sahabat (kesepakatan sahabat) untuk
menetapkan empat takbir dalam shalat jenazah. Para sahabat pada masa kenabian
terkadang takbir sebanyak empat, lima, enam, atau tujuh kali dalam shalat
jenazah, sebagaimana Nabi praktekkan. Namun, lewat inisiatif Umar, dengan
mengumpulkan para sahabat kemudian dimusyawarahkan, para sahabat sepakat
menetapkan shalat jenazah dengan empat kali takbir.[17]
“Living hadis lisan” sangat mengakar dan membudaya
pada masa sahabat sampai pada masa kodifikasi, tradisi oral (oral tradition) yang digunakan dalam
menyampaikan hadis Nabi dengan sendirinya membentuk sanad (jalur periwayatan)
dan majlis hadis sebagai wadah dalam penyebaran hadis Nabi, khususnya ketika
para sahabat tersebar ke pelbagai wilayah jazirah Arab. fenomena tersebut berangkat
dari pemahaman hadis nabi yang mengatakan:
“semoga Allah memuliakan hambanya yang mendengar
ucapanku, kemudian dipelihara dalam ingatannya lalu disampaikan. Terkadang
periwayat tidak mengerti apa yang yang diriwayatkan dan begitu banyak periwayat
menyampaikannya kepada orang yang mengerti dengan baik”.
Penyebaran para sahabat yang memiliki latar belakang keilmuan, wawasan
hadis yang berbeda-beda dan realitas baru yang mereka temukan berimplikasi
terhadap perbedaan hukum. Generasi tabi’in yang merupakan jebolan “madrasah
sahabat” di pelbagai tempat, sangat terpengaruh oleh sahabat yang mengajarinya.
Fenomena tersebut adalah satu dari pelbagai faktor perbedaan mazhab fiqh pada
masa pasca kodifikasi.
Candu popularitas dan hasrat kekuasaan adalah ungkapan terbaik dalam
menerjemahkan penguasa Dinasti Umayyah, deretan nama pemalsu hadis tercipta
demi kelanggengan jabatan dan kekuasaan. Hadis maudhu’ pun mulai merebak dan
berkelindan di tubuh umat Islam. realitas ironis tersebut disadari olehUmar bin
Abdul Aziz, sehingga pada awal abad ke 2 H. kodifikasi hadis diresmikan.[18]
Sebagai kesimpulan, perjalanan dan perkembangan
“living hadis” berjalan seiring dengan perkembangan hadis itu sendiri, namun
terdapat perbedaan dalam menerjemahkan dan mendialogkan dengan realitas baru
implikasi dari perbedaan ijtihad. Perkembangan “living hadis” dengan
interpretasi yang berbeda-beda dalam mencapai maqasid syariah dapat
digolongkan sebagai ikhtilaf tanawwu’i (perbedaan yang beragam) yang
dimaksudkan oleh Nabi sebagai rahmat dalam hadisnya “ikhtilafu ummati rahmah”. Umar bin Abdul Aziz mengindahkan
perbedaan pendapat para sahabat karena dengan perbedaan tersebut, syariah
menjadi hidup dan tidak terjebak pada suatu corak pemikiran yang sempit. Umar
lebih lanjut mengatakan bahwa hasil ijtihad dari mereka adalah Sunnah.[19]
Namun pada perkembangan selanjutnya, Living Hadis
tidak berjalan sebagai mestinya yang diharapkan, pemalsuan hadis yang
didasarkan dengan alasan politis dan kepentingan individual merebak dalam tubuh
umat Islam dan bertentangan dengan maqashid syariah. Sehingga menimbulkan
benih-benih konflik dan perpecahan. Perbedaan tersebut termasuk dari ikhtilaf tadaddudi (perbedaan bertolak belakang) yang dikhawatirkan oleh
Nabi.
2. Living Hadis Pasca Kodifikasi
Living
hadis pasca kodifikasi bermula pada awal abad II H. sampai masa sekarang. Namun
penulis mengkhususkan dalam makalah ini asru
tadwin hadis dan fiqh yang berawal pada abad II H. sampai abad IV H dan
sedikit sejarah akhir-akhir Dinasti Abbasiah. Periode Asru tadwin dan fiqh ditandai dengan pelbagai hal sebagai berikut:
a. Perkembangan signifikan peradaban umat Islam dan meluasnya wilayah teritorial Islam;
b. Perkembangan pesat nuansa intelektualitas di pelbagai wilayah;
c. Bertambahnya huffadz Al-Qur’an dan upaya pemeliharaannya;
d. Kodifikasi Sunnah;
e. Perpecahan dan meluasnya klan-klan teologis umat Islam;
f. Kodifikasi usul fiqh;
g Munculnya tokoh-tokoh mazhab fiqh.[20]
“Living hadis tulis” pada periode ini yang paling
signifikan adalah kodifikasi hadis. Kebijakan Umar bin Abdul Aziz disambut baik
oleh para ulama sebagai bentuk khidmat kepada Rasul dalam memelihara Sunnahnya.
Kodifikasi hadis di madinah dilakukan oleh: Muhammad bin Ishaq, Malik bin Anas,
dsb. Di Mekkah, Ibnu Juraij. Di Basrah, oleh ar-Rabi’ bin Subaih, Sa’id bin Abi
Urubah dan Hammad bin Abi Salamah. Di Kufah, oleh As-Sauri. Di syam, oleh
al-Awza’i dan di Mesir, oleh al-Laits bin Sa’ad. Namun pembukuan Sunnah yang
mendapat pelbagai pujian pada masa pasca kodifikasi adalah “al-Muwatta” yang
ditulis oleh Imam Malik pada abad II H. dan pada abad III H., disusul oleh
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang memuat 40.000 hadis, selanjutnya adalah Sahih
Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmizi, dan Sunan an-Nasa’i.[21]
Living hadis praktek pada masa ini terus berkembang
melanjutkan ijtihad para sahabat. Sebagai misal adalah zakat fitri. Rasul
mensyariatkan zakat fitri setelah shalat subuh dan sebelum shalat idul fitri.
Waktu dikeluarkannya zakat pada masa rasul masih luang karena penduduk madinah
terbilang kecil, dan mereka saling tahu-menahu antara satu sama lainnya. Namun
pada masa sahabat, setelah perluasan wilayah Islam, nampaknya waktu antara
shalat subuh dan shalat ‘eid tidak cukup, sehingga para sahabat memutuskan
sehari atau dua hari sebelum shalat ‘id. Pada masa ulama fiqh klasik, skala
penduduk Islam bertambah banyak, Mazhab hanbali membolehkan pengeluaran zakat
dari pertengahan ramadhan, bahkan dari awal bulan ramadhan, sebagaimana
pendapat syafi’i. pada masa ini, para ulama fiqh klasik tidak literalis dalam
memahami teks hadis mengenai jenis zakat yang dikeluarkan. Abu Hanifah
menerjemahkan makanan pokok suatu daerah (qut
al-balad) dapat diganti dengan uang yang senilai dengan nisab zakat
fitri jika lebih bermanfaat dan memberi kemaslahatan pada masyarakat fakir
miskin.[22] Para
Imam Mazhab fiqh klasik sangat mempertimbangkan budaya lokal atau adat istiadat
(urf) setempat sebagai bagian dari
sumber hukum. Para fuqaha mengatakan “inna
fi naz’i an-nasi ‘an adatihim
harajan adziman” bahwa sesunggunhnya mengabaikan adat istiadat penduduk
(dalam menetapkan hukum) adalah kesalahan yang fatal.[23] Bahkan
kaedah kelima yang mereka anggap penting adalah “ al-adatu Muhakkamah”.
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan
formal (majlis-majlis hadis dan fiqh belum diformalkan namun sifatnya independen).
Putra –putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke badiyah,
gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni dan puisi.[24]
Namun pada periode pasca kodifikasi yakni pada periode Dinasti Abbasiah,
pendidikan formal mulai berkembang. Kuttab yang biasanya disebut sebagai
sekolah dasar merupakan bagian terpadu dengan masjid. Kurikulum utamanya
dipusatkan pada Al-Qur’an sebagai bacaan utama para siswa. Mereka juga diajari
baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah para Nabi dan khususnya hadis-hadis
Nabi Muhammad saw. pendidikan anak-anak dimulai di rumahnya masing-masing.
Ketika si anak mulai bisa bicara, si ayah wajib mengajarinya untuk mengucapkan
kalimat tauhid: la ilaha illa Allah. Tradisi lisan
tersebut telah mengakar dan menjadi fenomena “living hadis lisan” pasca
kodifikasi.[25]
“Living hadis lisan” lainya dapat kita jumpai di
lembaga pendidikan tinggi teologi, seperti Madrasah Nizhamiyah, Madrasah
Naisabur dan madrasah di kota-kota lainnya. Di semua lembaga pendidikan
tersebut, ilmu hadis dijadikan sebagai landasan kurikulum, dan metode
pengajarannya lebih menekankan pada metode hafalan. pendidikan dewasa tidak
hanya dikembangkan dengan cara yang sistematis atau lembaga-lembaga formal,
tetapi juga dilakukan di masjid-masjid yang terdapat di kota muslim. Fenomena
semacam itulah yang dicatat oleh al-Maqdisi ketika menemukan berbagai halaqah, atau lingkaran-lingkaran
pendidikan di Palestina, Suriah, Mesir dan Persia.[26]
Menarik kita singgung di sini, masa kelam fanatisme
teologis dalam sejarah Islam yang dibumbuhi dengan idiom-idiom teks keagamaan
seperti Al-Qur’an dan hadis Nabi.[27] Benih-benih
klan-klan teologis telah tumbuh subur pada masa Dinasti Umayyah dan
menghebohkan pada Dinasti Abbasiah menjadi fenomena menarik terkait dengan
kajian living hadis dalam makalah ini. munculnya Sekte-sekte kalam semisal
Syi’ah yang menuntut hak ekslusif kekhalifaan Ali tak jarang menciptakan hadis
mencurigakan didasari alasan politis. Khawarij yang pada awalnya merupakan
pendukung setia Ali, berulangkali melancarkan pemberontakan bersenjata menuntut
hak istimewa orang Quraisy untuk menduduki jabatan kekhalifaan. Munculnya hadis
rasis dan anti-demokratis semisal “al-aimmatu
min Quraisy” para pemimpin berasal dari kaum Quraisy, menurut hemat
penulis, tercipta dari sekte kalam teologis sebagai penguat konsep dan aliran
yang mereka suarakan.
Perdebatan akut antara Mu’tazilah dan Khawarij dalam
diskursus kebebasan manusia berkeinginan dan bertindak tanpa intervensi Allah (Free will) versus paham deterministik
Khawarij dan Jabariah melahirkan hadis seperti:
“Qadariyah
adalah Majusinya umat ini, apabila mereka sakit, maka janganlah engkau
menjenguk mereka, dan apabila mereka meninggal janganlah engaku hadir
melayatnya” (H.R. Ahmad)[28]
“Janganlah
engkau bergaul dengan penganut Qadariah dan jangan membuka mereka jalan (untuk
berinteraksi denganmu)” (H.R. Abu Daud).[29]
Maraknya
aksi pemalsuan hadis pada masa kelam fanatisme sektarian membuat Fazlur Rahman
hilang kepercayaan pada hadis-hadis yang terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis.
Sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi, yang kemudian dimodifikasi dan
dikembangkan dengan Ijtihad dan disepakati oleh generasi setelahnya hilang
tergantikan dengan penyampaian verbal (verbal
speaking) dan dilegitimasi dengan peresmian kodifikasi hadis pada paruh
awal abad II H.
E. Epilog
Perkembangan
living hadis pasca kenabian berjalan seiringan dengan perkembangan hadis itu
sendiri. Data data sejarah mengungkapkan kepatuhan para sahabat terhadap Nabi
jika berkaitan dengan risalah-nya.
Namun, para sahabat semisal Umar bin Khattab terkadang memberi saran kepada
Nabi jika didasarkan pada ijtihadnya dan mengklarifikasi dan menanyakan pada
Nabi, apakah kebijakan tersebut adalah wahyu atau ijtihad semata. Secara umum,
para sahabat sangat memelihara konsep teologis dan tetap mempertahankan tradisi
(living tradition) yang diwariskan
dari figur Nabi saw. dan dielaborasi sedikit demi sedikit untuk kemaslahatan
bersama.
Perluasan
ekspansi wilayah ke beberapa kota-kota jazirah Arab dan non-Arab merupakan
kejayaan tersendiri –pada masa ekspansi kerajaan besar dunia- bagi Islam. Islamisasi
adat istiadat dan budaya lokal melahirkan fenomena unik dalam pengembangan
syariah Islam yang tak seperti pada tradisi masa kenabian. Dalam ranah
teologis, pada periode Dinasti Umayyah hingga Dinasti Abbasiah mengalami
asimilasi dengan pemikiran lokal yang menelurkan sekte-sekte baru. Konsep imam
mahdi Syiah, menurut Philip K. Hitti, memiliki pertautan erat dengan konsep
turunnya Yesus sebagai juru selamat dalam agama Kristen.[30]
Dan pada periode ini, di saat menjamurnya klan-klan teologis dan terlibat dalam
konflik implikasi dari fanatisme sektarian, akhirnya tercipta hadis-hadis palsu
untuk melegitimasi ajaran kalamnya.
Dari
penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan living hadis mengalami
evolusi yang searah dan sesuai dengan konsep maqashid syariah, khususnya pada
masa sahabat. Dan juga terdapat living hadis yang tidak sesuai dengan maqashid
syariah, seperti pemalsuan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
al-Kafrawi, As’ad Abd al-Gani Sayyid. A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo:
Wizaratul Awqaf, 2009)
al-Mansi, Muhammad
Qasim. Tagayyuru al-Zuruf wa Asaruhu fi
Ikhtilafi al-Ahkam fi as-Syariati al-Islamiyah (cairo: Dar Salam, 2010)
al-Qardawi,
Yusuf. kaifa nata’amal ma’a sunnah
an-Nabawiyyah; ma’alim wa dhawabith (Cairo: bank at-Taqwa, tth)
An-Na’im, Abdullah
Ahmad. Dekonstruksi Syariah, terj.
Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany (Yogyakarta: LKis, 2004)
Dutton, Yasin.
Asal Mula Hukum Islam; Alquran,
Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Hitti, Phiilip K. History
of The Arabs, terj. R. Cecep Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi, 2010)
Marzuq, Abd.
Shabur. kata pengantar dalam Nazharat fi
fiqh al-Faruq Umar bin Khattab (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Qasim, Yusuf Muhammad Mahmud. Tarikh Tasyri; marahiluhu wa tadwinuhu, dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History ( Delhi:
Adam Publisher & Distributors, 1994)
Samrah, Abdul
Rahman Aziz Abdul Mutthalib. Adab
Ikhtilaf fil Fiqh al-Islami, dalam mausuat
al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Suryadilaga, M.
Alfatih. Implementasi Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies;
paradigm Integrasi-interkoneksi (sebuah Antologi) ( Yogyakarta: Suka Press,
2007)
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah
Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta:
Bidang Akademik UIN SUKA, 2008)
[1]
Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan Praktik Madinah,
terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 334.
[2] Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy
dan Amirudin ar-Rany (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 35.
[3]
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman
Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA,
2008), hlm. 277.
[4]
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam
Publisher & Distributors, 1994), hlm. 6.
[5] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran,
Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003),
hlm. 353.
[6]
Ibid., hlm. 92.
[7]
Abdullah menyatakan Malik
mengkaji hadis berdasarkan latar belakang tradisi Madinah, sedangkan
orang-orang yang tidak sependapat dengannya( khususnya kelompok Irak-diwakili
oleh Abu Yusuf, as-Syaibani dan as-Syafi’i) mengkaji madinah berdasarkan latar
belakang Hadis.
[8]
Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan
Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 356
[9]
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman
Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA,
2008), hlm..280. Aphoristik adalah “ a short wise phrase”.
[10]
Ibid., hlm.280-281
[11]Ibid.
[12] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher &
Distributors, 1994), hlm. 32.
[13] M. Alfatih Suryadilaga, Implementasi Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies;
paradigm Integrasi-interkoneksi (sebuah Antologi) ( Yogyakarta: Suka Press,
2007), hlm. 170.
[14] As’ad Abd al-Gani Sayyid al-Kafrawi,
A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo:
Wizaratul Awqaf, 2009), hlm. 90.
[15] Ibid., hlm. 96-97.
[16] Abd. Shabur Marzuq, kata pengantar
dalam Nazharat fi fiqh al-Faruq Umar bin
Khattab (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. iv
[17]
Yusuf Muhammad Mahmud Qasim, Tarikh Tasyri; marahiluhu wa tadwinuhu,
dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami
(Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. 194.
[18]Ibid, hlm. 214
[19]Abdul Rahman Aziz Abdul Mutthalib
Samrah, Adab Ikhtilaf fil Fiqh al-Islami,
dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami
(Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. 28.
[20] As’ad Abd al-Gani Sayyid al-Kafrawi,
A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo:
Wizaratul Awqaf, 2009), hlm. 110.
[21]
Ibid., hlm. 115
[22] Yusuf Qardawi, kaifa nata’amal ma’a sunnah an-Nabawiyyah; ma’alim wa dhawabith
(Cairo: bank at-Taqwa, tth) hlm. 135
[23] Muhammad Qasim al-Mansi, Tagayyuru al-Zuruf wa Asaruhu fi Ikhtilafi
al-Ahkam fi as-Syariati al-Islamiyah (cairo: Dar Salam, 2010) hlm. 168
[24] Phiilip K Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep
Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 316
[25] Ibid., hlm. 512
[26] Ibid., hlm. 518-519
[27] “janganlah engkau mendebat mereka
dengan Alquran, karena ia sifatnya multi-dimensi, tetapi debatlah dengan
menggunakan hadis nabi”
[28] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher &
Distributors, 1994), hlm. 62
[29] Ibid., hlm. 63.
[30] Phiilip K Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep
Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar