Minggu, 18 November 2012

PERKEMBANGAN LIVING HADIS PASCA KENABIAN




A.    Prolog
Sunnah merupakan penafsiran konkrit dan ideal terhadap Al-Qur’an –sumber utama Islam- pada masa kenabian. Al-Qur’an diterjemahkan dengan varian bentuk, mulai dengan eksplanasi, tindakan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. bersumber dan dari spirit Al-Qur’an. Tak heran jika ‘Aisyah menyatakan bahwa akhlak Al-Qur’an dimanifestasikan dengan perilaku Nabi. Sehingga Sunnah menjadi penjelas (mubayyin) atas ambiguitas dan merinci (mukhassis) keumuman lafaz Al-Qur’an lalu diterjemahkan dan didialogkan secara sirkular dengan tradisi dan budaya lokal Arab Jahiliah. Para sahabat terkesima dan kagum dengan syariah yang dibawa oleh Nabi. Sehingga segala ucapan, tindakan, ketetapan maupun sifatnya diabadikan dalam pelepah kurma, batu dan memori ingatan mereka. Sehingga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Sunnah resmi dikodifikasi dan dapat dibaca pada abad kontemporer.
Hadis yang memiliki otoritas kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam. Dalam perjalanan sejarah yurisprudensi Islam, kedudukan Sunnah sangat signifikan, bahkan menurut penelitian Schacht, Crone dan Wansbrough menyatakan bahwa mayoritas hukum Islam direfleksikan dan mendapatkan validitasnya dari sumber kedua yaitu Sunnah, kendati terdapat sejumlah doktrin yang didasarkan pada Al-Qur’an dan lainnya didasarkan pada analogi (qiyas) dan pertimbangan yang baik (istihsan) dan perangkat metodologi lainnya, namun Hadis menempati posisi sentral dalam hukum Islam.[1] Namun pada masa modern, sejumlah tokoh seperti, Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, Muhammad Mustafa Syalabi dan selainnya, telah mengadakan penelitian untuk mengklasifikasi peran Nabi sebagai seorang rasul, negarawan, hakim dan sebagai masyarakat biasa. Dan secara general dapat dibagi menjadi dua, yaitu syar’iyyah dan gairu syar’iyyah.
Penelitian itu sangat beralasan, sebab didukung dengan sekian hadis, bahwa Nabi Muhammad saw. mengatakan: “sesungguhnya aku adalah manusia biasa, apabila aku memerintahkan kalian suatu hal yang berasal dari agamamu maka ambillah ia, dan apabila aku memerintahkan suatu hal atas dasar pendapatku (ra’yi) maka sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa” (H.R. Muslim) dan data-data sejarah yang mengisahkan kebijakan Nabi berdasarkan kemaslahatan umat Islam secara umum dan khusus yang layak diteliti dan diterjemahkan dengan realitas umat Islam kontemporer agar sesuai dengan maqashid syar’iyyah (the goal of syariah) dan berjalan beriringan dengan ruang dan waktu.
Kajian living hadis yang marak diperbincangkan pada dekade terakhir ini, adalah bagian dari studi hadis yang bergerak pada dua sisi yaitu analisa historis dan analisa fenomena sosial-kemasyarakatan kontemporer yang notabenenya didasarkan dengan hadis maupun tradisi Nabi Muhammad saw. namun dalam makalah ini, penulis mencoba menarawang perkembangan living hadis pasca kenabian yang tentunya disertai dengan banyak sekali kekurangan. Bab pertama adalah pendahuluan, bab II, penulis mendeskripsikan sekilas perdebatan seputar konsep Sunnah dan hadis, dan pada bab selanjutnya adalah bab inti, yaitu perkembangan living hadis pasca kenabian dan terakahir adalah penutup.
B.     Perdebatan Seputar Konsep Sunnah dan Hadis
Kata sanna berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu model. Kata tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu tingkah laku yang patut dicontoh dapat dimulai dengan membuat model atau mengambil praktek nenek moyang satu suku atau komunitas.[2] Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai (1) konsep perilaku (behavioral concept), atau menurutnya, Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku, tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang bersifat normatif: keharusan moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah; (2) Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep normatif, dan selanjutnya, (3) Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah adalah jalan lurus tanpa ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi makna sebagai” penengah di antara hal-hal ekstrim” atau “jalan tengah”.[3]
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama silam modern tentang waktu yang pasti munculnya konsep Sunnah nabi, sebagaimana dibedakan dari tradisi muslim awal. Sebagian orientalis, semisal Joseph Schacht, berpendapat bahwa konsep Sunnah sebagai suatu konsep yang muncul relatif belakangan, selain Schacht terdapat sekian orientalis yang memiliki pandangan serupa tentang konsep Sunnah, seperti Goldziher, Snouck Hurgronje, Margolioth, dsb. Fazlur Rahman membantah tesis mereka dengan menyatakan bahwa konsep Sunnah telah ada sejak semula. Rahman lebih lanjut menegaskan:
(1) bahwa sementara kisah perkembangan Sunnah di atas pada dasarnya hanya benar sehubungan dengan kandungannya tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan bahwa Sunnah nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga masa kini. (2) Bahwa kandungan Sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak; (3) bahwa konsep Sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencukup Sunnah dari Nabi tersebut; (4) bahwa Sunnah di dalam pengertian yang terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir (5) bahwa setelah gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran, hubungan organis di antara Sunnah, Ijtihad, dan Ijma’ menjadi rusak.[4]
Sunnah bagi Malik, pengarang kitab Muwatta’, merupakan aturan hidup normatif yang ditegakkan oleh Nabi, diamalkan oleh para Sahabat kemudian diwarisi oleh para Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in dalam bentuk tradisi hingga masa Malik. Tradisi ini dapat semata-mata bersumber dari Nabi, dan dalam kasus seperti ini, Malik biasanya merujuk-nya dengan menggunakan term Sunnah, atau yang berisi unsur-unsur tambahan yang berasal dari ulama, dan dalam kasus seperti ini, Malik biasanya merujuknya dengan menggunakan term Amr. Terlebih lagi, karena Sunnah merupakan bagian dari tradisi, maka apa yang telah kita kaji mengenai tradisi dalam kaitannya dengan Hadis berlaku sama pada Sunnah: walaupun Sunnah dan Hadis seringkali saling meliputi, tetapi Sunnah mungkin Sunnah atau saja terekam dalam mungkin juga tidak. Oleh Karena itu, dua term tersebut berbeda sekali.[5] Perbedaan itu nampak jelas dalam sebuah riwayat bahwa Umar bin Khattab berkata: “Demi Allah saya akan membuat segalanya sulit bagi setiap orang yang meriwayatkan sebuah hadis yang bertentangan dengan Sunnah.”[6] Dengan demikian, Malik berpendapat bahwa tradisi/’amal ahli madinah yang diwariskan oleh Nabi memiliki kedudukan signifikan dan memberikan otoritas lebih kuat dalam penetapan hukum.[7]
Berbeda halnya dengan para fuqaha’ semisal Syafi’i, Abu Hanifah dan selainnya yang mengabaikan peran ‘amal ahlu madinah dan berpegang pada hadis yang dikodifikasi pada abad II H. dalam mengkonstruksi dan memproduksi hukum-hukum Islam yang kemudian dinobatkan sebagai pijakan dalam Islam. Hadis yang terkodifikasi, menurut Goldziher merupakan sebuah penyampaian verbal (verbal speaking) yang berasal dari Nabi.[8] Sedangkan Rahman memahami Hadis sebagai metodologi yang disumbangkan oleh generasi muslim masa klasik dalam penulisan sejarah Sunnah karena kepentingan dan pergulatan tumbuh kembangnya ortodoksi dalam Islam. Karena kepentingan itu, penulisan atau pengkodifikasian sejarah itu bersifat aphoristic.[9] Hal demikian sebagaimana dikatakan oleh Rahman berikut ini.
kehidupan Nabi Berulang kali telah kami katakan, mungkin sampai membosankan sebagian pembaca, bahwa walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, Hadis merupakan hasil karya dari generasi muslim masa lampau berdasarkan teladan tersebut. Sesungguhnya hadis adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi, oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi, sifatnya yang aphoristic menunjukkan bahwa hadits tersebut tidaklah bersifat historis. Secara lebih tepat, hadis adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat musilm di masa lampau. Jadi walaupun berdasarkan, hadis juga merupakan lambing dari kebijaksanaan orang-orang muslim di masa klasik.[10]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
Orientasi pemahaman yang menekankan dimensi historisitas atas Sunnah maupun hadis cukup jelas bagi Rahman dari penjabaran di atas. Arkoun lebih lanjut mengelaborasi konsekwensinya menyatakan bahwa perubahan tradisi lisan (oral tradition) menjadi tradisi tulis yang kemudian menjadi sebuah korpus tertutup (closed corpus) dan diperlukan adanya general review atas seluruh proses historis penulisan dan pembukuan hadis.[11]



C.    Defenisi Living Hadis dan Living Sunnah
Dari perdebatan para ulama klasik maupun modern dalam mendefinisikan konsep Hadis dan Sunnah membuahkan perbedaan dalam pendefinisian living Sunnah (living tradition) dan living hadis (living hadith). Fazlur Rahman, penggagas living Sunnah, memaknainya sebagai aktualisasi tradisi yang hidup yang bersumber dari Nabi yang kemudian dimodifikasi dan dielaborasi oleh generasi setelahnya sampai pada masa pra-kodifikasi dengan pelbagai perangkat interpretasi untuk dipraktekkan pada komunitas tertentu.[12] Nampaknya Rahman sangat dipengaruhi dengan pemikiran Imam Malik yang mempertahankan Tradisi penduduk Madinah (amal ahl Madinah) dengan mengedepankan tradisi Madinah dari hadis yang dikodifikasi pada abad II H sebagai sumber hukum. Jika Imam Malik memelihara Sunnah agar tetap dipraktekkan di Madinah maka berbeda dengan Rahman yang mengindahkan pengembangan, elaborasi dan modifikasi agar tetap seiring dengan perkembangan zaman (shalih likulli zaman wa makan).
Berangkat dari perbedaan konsep Hadis dan Sunnah, maka istilah Living Hadis memiliki pengertian yang berbeda. M. Alfatih Suryadilaga memaknai living hadis sebagai gejala yang Nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.[13] konsep living hadis yang diutarakan oleh M. Alfatih merupakan pengembangan dari living Sunnah Fazlur Rahman. Dari kedua konsep tersebut, memiliki perangkat metodologi yang berbeda. Living Sunnah menggunakan pendekatan historis dalam menelusuri jejak tradisi Nabi yang tenggelam, implikasi dari hadis yang diverbalisasikan. Sedangkan Living Hadis lebih bernuansa fenomenologi dalam mengungkap tradisi dan budaya yang diklaim bersumber dari hadis Nabi. Kedua perangkat tersebut beroperasi pada wilayah dan cakupan yang berbeda.
D.    Perkembangan Living Hadis Pasca Kenabian
Mengacu pada perbedaan konsep living Sunnah dan living hadis pada bab sebelumnya, penulis memilih menggunakan term living hadis untuk melacak perkembangan hadis pasca kenabian dalam makalah ini, dengan tiga alasan: (1) secara terminologi, Hadis memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan Sunnah, meskipun hadis ditinjau dari etimologinya diartikan penyampaian verbal dan Sunnah diartikan tradisi yang diciptakan (2) hasil penelitian al-Azhami menegaskan pelbagai riwayat yang menunjukkan adanya budaya tulis-menulis hadis pada masa kenabian yang dijadikan pijakan oleh mayoritas sahabat dan generasi-generasi pasca kenabian sampai pada masa kodifikasi (3) orientasi Fazlur Rahman dalam penelitiannya adalah mengungkap ortodoksi generasi muslim klasik yang banyak dituangkan dan diklaim sebagai hadis Nabi dengan menggunakan penghampiran historis. berbeda dengan orientasi penulis dalam makalah ini, yakni, melacak perkembangan hadis secara umum baik penyampaian verbal (ahaadis) maupun praktek hadis (af’al/Sunnah) pasca kenabian.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengklasifikasikan perkembangan living hadis dalam dua periode, yaitu periode pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.
1.      Living Hadis Pra Kodifikasi
Living hadis masa pra-kodifikasi mencakup dua generasi penting dalam Islam, yakni generasi sahabat dan tabi’iin. Generasi sahabat, khususnya periode kibar as-sahabah (11-40 H.) ditandai dengan aktualisasi hadis/Sunnah sebagaimana adanya pada masa kenabian, dengan kata lain, problema sosial-kemasyarakatan dapat diatasi dengan berpegang pada tradisi dan hadis Nabi, kendati terdapat perbedaan ijtihad sahabat dalam pelbagai kasus, namun belum merebak dan mengakar pada segala lini.[14] Namun pada periode Dinasti Umayyah, dimulai pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sampai masa kodifikasi ditemukan perpecahan yang sifatnya politis dalam tubuh umat Islam, Sahabat berpencar-pencar ke daerah-daerah, perkembangan yang signifikan dalam periwayatan hadis dan merebaknya pemalsuan hadis.[15]
Pada masa kibar sahabah tercatat kesepakatan sahabat (ijma’ sahabat) dalam menerapkan tradisi (living hadis) yang bersumber dari Nabi, ketika tidak ditemukan hadis, para sahabat menggunakan perangkat ijtihad sebagai tawaran solutif dalam menyelesaikan permasalahan umat Islam masa itu. Selain itu, sejarah merekam adanya pengembangan-pengembangan tradisi Nabi oleh sahabat bahkan menciptakan tradisi yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. atas nama kemaslahatan umat Islam. Berlandaskan pada pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa para sahabat memahami secara komprehensif maqashid syariah ketika dihadapkan pada realitas baru yang mereka temukan.
Umar bin Khattab adalah misal paling relevan mendeskripsikan statement di atas, sahabat nabi yang digelari sebagai al-Faruq ini, dinobatkan sebagai pembaharu oleh Nabi. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa nabi saw. mengatakan: “inna minkum muhditsin, fa in yakun faminhum Umar bin al-Khattab”[16] artinya, sesungguhnya diantara kalian adalah tokoh-tokoh pembaharu, dan Umar bin Khattab adalah salah satu dari mereka. Sejarah Umar bin Khattab tak lapuk ditelan masa, ijtihadnya yang brilian mampu mensejahterakan masyarakatnya. Ia tak henti-hentinya dipuja sebagai negarawan sejati demi kemaslahatan umatnya.
Sebagai contoh “living hadis tulis” pada masa sahabat adalah kodifikasi Alqur’an. Penulisan Al-Qur’an pada pelbagai sahifat pribadi para sahabat pada masa kenabian merupakan perintah Nabi Muhammad saw. peristiwa perang Yamamah dan wafatnya 70 huffadz Al-Qur’an menyita perhatian para sahabat, sehingga timbullah ide brilian Umar bin Khattab agar Al-Qur’an dikodifikasi sesegera mungkin, Abu Bakar as-Shiddiq yang menjabat sebagai khalifah pada yang awalnya ragu karena belum pernah dilakukan oleh Rasul, yang pada akhirnya Abu Bakar menyepakati saran Umar demi kemaslahatan umat Islam.
“Living hadis Ijma ‘dalam bentuk praktek’, banyak dijumpai dalam tradisi sahabat, salah satu di antaranya adalah sahabat (kesepakatan sahabat) untuk menetapkan empat takbir dalam shalat jenazah. Para sahabat pada masa kenabian terkadang takbir sebanyak empat, lima, enam, atau tujuh kali dalam shalat jenazah, sebagaimana Nabi praktekkan. Namun, lewat inisiatif Umar, dengan mengumpulkan para sahabat kemudian dimusyawarahkan, para sahabat sepakat menetapkan shalat jenazah dengan empat kali takbir.[17]
“Living hadis lisan” sangat mengakar dan membudaya pada masa sahabat sampai pada masa kodifikasi, tradisi oral (oral tradition) yang digunakan dalam menyampaikan hadis Nabi dengan sendirinya membentuk sanad (jalur periwayatan) dan majlis hadis sebagai wadah dalam penyebaran hadis Nabi, khususnya ketika para sahabat tersebar ke pelbagai wilayah jazirah Arab. fenomena tersebut berangkat dari pemahaman hadis nabi yang mengatakan:
“semoga Allah memuliakan hambanya yang mendengar ucapanku, kemudian dipelihara dalam ingatannya lalu disampaikan. Terkadang periwayat tidak mengerti apa yang yang diriwayatkan dan begitu banyak periwayat menyampaikannya kepada orang yang mengerti dengan baik”.
Penyebaran para sahabat yang memiliki latar belakang keilmuan, wawasan hadis yang berbeda-beda dan realitas baru yang mereka temukan berimplikasi terhadap perbedaan hukum. Generasi tabi’in yang merupakan jebolan “madrasah sahabat” di pelbagai tempat, sangat terpengaruh oleh sahabat yang mengajarinya. Fenomena tersebut adalah satu dari pelbagai faktor perbedaan mazhab fiqh pada masa pasca kodifikasi.
Candu popularitas dan hasrat kekuasaan adalah ungkapan terbaik dalam menerjemahkan penguasa Dinasti Umayyah, deretan nama pemalsu hadis tercipta demi kelanggengan jabatan dan kekuasaan. Hadis maudhu’ pun mulai merebak dan berkelindan di tubuh umat Islam. realitas ironis tersebut disadari olehUmar bin Abdul Aziz, sehingga pada awal abad ke 2 H. kodifikasi hadis diresmikan.[18]
Sebagai kesimpulan, perjalanan dan perkembangan “living hadis” berjalan seiring dengan perkembangan hadis itu sendiri, namun terdapat perbedaan dalam menerjemahkan dan mendialogkan dengan realitas baru implikasi dari perbedaan ijtihad. Perkembangan “living hadis” dengan interpretasi yang berbeda-beda dalam mencapai maqasid syariah dapat digolongkan sebagai ikhtilaf tanawwu’i (perbedaan yang beragam) yang dimaksudkan oleh Nabi sebagai rahmat dalam hadisnya “ikhtilafu ummati rahmah”. Umar bin Abdul Aziz mengindahkan perbedaan pendapat para sahabat karena dengan perbedaan tersebut, syariah menjadi hidup dan tidak terjebak pada suatu corak pemikiran yang sempit. Umar lebih lanjut mengatakan bahwa hasil ijtihad dari mereka adalah Sunnah.[19]
Namun pada perkembangan selanjutnya, Living Hadis tidak berjalan sebagai mestinya yang diharapkan, pemalsuan hadis yang didasarkan dengan alasan politis dan kepentingan individual merebak dalam tubuh umat Islam dan bertentangan dengan maqashid syariah. Sehingga menimbulkan benih-benih konflik dan perpecahan. Perbedaan tersebut termasuk dari ikhtilaf tadaddudi (perbedaan bertolak belakang) yang dikhawatirkan oleh Nabi.
2.      Living Hadis Pasca Kodifikasi
            Living hadis pasca kodifikasi bermula pada awal abad II H. sampai masa sekarang. Namun penulis mengkhususkan dalam makalah ini asru tadwin hadis dan fiqh yang berawal pada abad II H. sampai abad IV H dan sedikit sejarah akhir-akhir Dinasti Abbasiah. Periode Asru tadwin dan fiqh ditandai dengan pelbagai hal sebagai berikut:
a. Perkembangan signifikan peradaban umat Islam dan meluasnya wilayah     teritorial Islam;
b. Perkembangan pesat nuansa intelektualitas di pelbagai wilayah;
c. Bertambahnya huffadz Al-Qur’an dan upaya pemeliharaannya;
d. Kodifikasi Sunnah;
e. Perpecahan dan meluasnya klan-klan teologis umat Islam;
f. Kodifikasi usul fiqh;
g Munculnya tokoh-tokoh mazhab fiqh.[20]
“Living hadis tulis” pada periode ini yang paling signifikan adalah kodifikasi hadis. Kebijakan Umar bin Abdul Aziz disambut baik oleh para ulama sebagai bentuk khidmat kepada Rasul dalam memelihara Sunnahnya. Kodifikasi hadis di madinah dilakukan oleh: Muhammad bin Ishaq, Malik bin Anas, dsb. Di Mekkah, Ibnu Juraij. Di Basrah, oleh ar-Rabi’ bin Subaih, Sa’id bin Abi Urubah dan Hammad bin Abi Salamah. Di Kufah, oleh As-Sauri. Di syam, oleh al-Awza’i dan di Mesir, oleh al-Laits bin Sa’ad. Namun pembukuan Sunnah yang mendapat pelbagai pujian pada masa pasca kodifikasi adalah “al-Muwatta” yang ditulis oleh Imam Malik pada abad II H. dan pada abad III H., disusul oleh Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang memuat 40.000 hadis, selanjutnya adalah Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmizi, dan Sunan an-Nasa’i.[21]
Living hadis praktek pada masa ini terus berkembang melanjutkan ijtihad para sahabat. Sebagai misal adalah zakat fitri. Rasul mensyariatkan zakat fitri setelah shalat subuh dan sebelum shalat idul fitri. Waktu dikeluarkannya zakat pada masa rasul masih luang karena penduduk madinah terbilang kecil, dan mereka saling tahu-menahu antara satu sama lainnya. Namun pada masa sahabat, setelah perluasan wilayah Islam, nampaknya waktu antara shalat subuh dan shalat ‘eid tidak cukup, sehingga para sahabat memutuskan sehari atau dua hari sebelum shalat ‘id. Pada masa ulama fiqh klasik, skala penduduk Islam bertambah banyak, Mazhab hanbali membolehkan pengeluaran zakat dari pertengahan ramadhan, bahkan dari awal bulan ramadhan, sebagaimana pendapat syafi’i. pada masa ini, para ulama fiqh klasik tidak literalis dalam memahami teks hadis mengenai jenis zakat yang dikeluarkan. Abu Hanifah menerjemahkan makanan pokok suatu daerah (qut al-balad) dapat diganti dengan uang yang senilai dengan nisab zakat fitri jika lebih bermanfaat dan memberi kemaslahatan pada masyarakat fakir miskin.[22] Para Imam Mazhab fiqh klasik sangat mempertimbangkan budaya lokal atau adat istiadat (urf) setempat sebagai bagian dari sumber hukum. Para fuqaha mengatakan “inna fi naz’i an-nasian adatihim harajan adziman” bahwa sesunggunhnya mengabaikan adat istiadat penduduk (dalam menetapkan hukum) adalah kesalahan yang fatal.[23] Bahkan kaedah kelima yang mereka anggap penting adalah “ al-adatu Muhakkamah”.
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal (majlis-majlis hadis dan fiqh belum diformalkan namun sifatnya independen). Putra –putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni dan puisi.[24] Namun pada periode pasca kodifikasi yakni pada periode Dinasti Abbasiah, pendidikan formal mulai berkembang. Kuttab yang biasanya disebut sebagai sekolah dasar merupakan bagian terpadu dengan masjid. Kurikulum utamanya dipusatkan pada Al-Qur’an sebagai bacaan utama para siswa. Mereka juga diajari baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah para Nabi dan khususnya hadis-hadis Nabi Muhammad saw. pendidikan anak-anak dimulai di rumahnya masing-masing. Ketika si anak mulai bisa bicara, si ayah wajib mengajarinya untuk mengucapkan kalimat tauhid: la ilaha illa Allah. Tradisi lisan tersebut telah mengakar dan menjadi fenomena “living hadis lisan” pasca kodifikasi.[25]
“Living hadis lisan” lainya dapat kita jumpai di lembaga pendidikan tinggi teologi, seperti Madrasah Nizhamiyah, Madrasah Naisabur dan madrasah di kota-kota lainnya. Di semua lembaga pendidikan tersebut, ilmu hadis dijadikan sebagai landasan kurikulum, dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode hafalan. pendidikan dewasa tidak hanya dikembangkan dengan cara yang sistematis atau lembaga-lembaga formal, tetapi juga dilakukan di masjid-masjid yang terdapat di kota muslim. Fenomena semacam itulah yang dicatat oleh al-Maqdisi ketika menemukan berbagai halaqah, atau lingkaran-lingkaran pendidikan di Palestina, Suriah, Mesir dan Persia.[26]
Menarik kita singgung di sini, masa kelam fanatisme teologis dalam sejarah Islam yang dibumbuhi dengan idiom-idiom teks keagamaan seperti Al-Qur’an dan hadis Nabi.[27] Benih-benih klan-klan teologis telah tumbuh subur pada masa Dinasti Umayyah dan menghebohkan pada Dinasti Abbasiah menjadi fenomena menarik terkait dengan kajian living hadis dalam makalah ini. munculnya Sekte-sekte kalam semisal Syi’ah yang menuntut hak ekslusif kekhalifaan Ali tak jarang menciptakan hadis mencurigakan didasari alasan politis. Khawarij yang pada awalnya merupakan pendukung setia Ali, berulangkali melancarkan pemberontakan bersenjata menuntut hak istimewa orang Quraisy untuk menduduki jabatan kekhalifaan. Munculnya hadis rasis dan anti-demokratis semisal “al-aimmatu min Quraisy” para pemimpin berasal dari kaum Quraisy, menurut hemat penulis, tercipta dari sekte kalam teologis sebagai penguat konsep dan aliran yang mereka suarakan.
Perdebatan akut antara Mu’tazilah dan Khawarij dalam diskursus kebebasan manusia berkeinginan dan bertindak tanpa intervensi Allah (Free will) versus paham deterministik Khawarij dan Jabariah melahirkan hadis seperti:
“Qadariyah adalah Majusinya umat ini, apabila mereka sakit, maka janganlah engkau menjenguk mereka, dan apabila mereka meninggal janganlah engaku hadir melayatnya” (H.R. Ahmad)[28]
“Janganlah engkau bergaul dengan penganut Qadariah dan jangan membuka mereka jalan (untuk berinteraksi denganmu)” (H.R. Abu Daud).[29]
            Maraknya aksi pemalsuan hadis pada masa kelam fanatisme sektarian membuat Fazlur Rahman hilang kepercayaan pada hadis-hadis yang terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis. Sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi, yang kemudian dimodifikasi dan dikembangkan dengan Ijtihad dan disepakati oleh generasi setelahnya hilang tergantikan dengan penyampaian verbal (verbal speaking) dan dilegitimasi dengan peresmian kodifikasi hadis pada paruh awal abad II H.
E.     Epilog
            Perkembangan living hadis pasca kenabian berjalan seiringan dengan perkembangan hadis itu sendiri. Data data sejarah mengungkapkan kepatuhan para sahabat terhadap Nabi jika berkaitan dengan risalah-nya. Namun, para sahabat semisal Umar bin Khattab terkadang memberi saran kepada Nabi jika didasarkan pada ijtihadnya dan mengklarifikasi dan menanyakan pada Nabi, apakah kebijakan tersebut adalah wahyu atau ijtihad semata. Secara umum, para sahabat sangat memelihara konsep teologis dan tetap mempertahankan tradisi (living tradition) yang diwariskan dari figur Nabi saw. dan dielaborasi sedikit demi sedikit untuk kemaslahatan bersama.
            Perluasan ekspansi wilayah ke beberapa kota-kota jazirah Arab dan non-Arab merupakan kejayaan tersendiri –pada masa ekspansi kerajaan besar dunia- bagi Islam. Islamisasi adat istiadat dan budaya lokal melahirkan fenomena unik dalam pengembangan syariah Islam yang tak seperti pada tradisi masa kenabian. Dalam ranah teologis, pada periode Dinasti Umayyah hingga Dinasti Abbasiah mengalami asimilasi dengan pemikiran lokal yang menelurkan sekte-sekte baru. Konsep imam mahdi Syiah, menurut Philip K. Hitti, memiliki pertautan erat dengan konsep turunnya Yesus sebagai juru selamat dalam agama Kristen.[30] Dan pada periode ini, di saat menjamurnya klan-klan teologis dan terlibat dalam konflik implikasi dari fanatisme sektarian, akhirnya tercipta hadis-hadis palsu untuk melegitimasi ajaran kalamnya.
            Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan living hadis mengalami evolusi yang searah dan sesuai dengan konsep maqashid syariah, khususnya pada masa sahabat. Dan juga terdapat living hadis yang tidak sesuai dengan maqashid syariah, seperti pemalsuan hadis.






















DAFTAR PUSTAKA
al-Kafrawi, As’ad Abd al-Gani Sayyid. A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Awqaf, 2009)
al-Mansi, Muhammad Qasim. Tagayyuru al-Zuruf wa Asaruhu fi Ikhtilafi al-Ahkam fi as-Syariati al-Islamiyah (cairo: Dar Salam, 2010)
al-Qardawi, Yusuf. kaifa nata’amal ma’a sunnah an-Nabawiyyah; ma’alim wa dhawabith (Cairo: bank at-Taqwa, tth)
An-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany (Yogyakarta: LKis, 2004)
Dutton, Yasin. Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Hitti, Phiilip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010)
Marzuq, Abd. Shabur. kata pengantar dalam Nazharat fi fiqh al-Faruq Umar bin Khattab (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Qasim, Yusuf Muhammad Mahmud. Tarikh Tasyri; marahiluhu wa tadwinuhu, dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994)
Samrah, Abdul Rahman Aziz Abdul Mutthalib. Adab Ikhtilaf fil Fiqh al-Islami, dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009)
Suryadilaga, M. Alfatih. Implementasi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies; paradigm Integrasi-interkoneksi (sebuah Antologi) ( Yogyakarta: Suka Press, 2007)
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA, 2008)


[1] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 334.
[2] Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 35.
[3] Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA, 2008), hlm. 277.
[4] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994), hlm. 6.
[5] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 353.
[6] Ibid., hlm. 92.
[7] Abdullah menyatakan Malik mengkaji hadis berdasarkan latar belakang tradisi Madinah, sedangkan orang-orang yang tidak sependapat dengannya( khususnya kelompok Irak-diwakili oleh Abu Yusuf, as-Syaibani dan as-Syafi’i) mengkaji madinah berdasarkan latar belakang Hadis.
[8] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’,dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 356
[9] Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial, Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA, 2008), hlm..280. Aphoristik adalah “ a short wise phrase”.
[10] Ibid., hlm.280-281
[11]Ibid.
[12] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994), hlm. 32.
[13] M. Alfatih Suryadilaga, Implementasi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies; paradigm Integrasi-interkoneksi (sebuah Antologi) ( Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 170.
[14] As’ad Abd al-Gani Sayyid al-Kafrawi, A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Awqaf, 2009), hlm. 90.
[15] Ibid., hlm. 96-97.
[16] Abd. Shabur Marzuq, kata pengantar dalam Nazharat fi fiqh al-Faruq Umar bin Khattab (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. iv
[17] Yusuf Muhammad Mahmud Qasim, Tarikh Tasyri; marahiluhu wa tadwinuhu, dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. 194.
[18]Ibid, hlm. 214
[19]Abdul Rahman Aziz Abdul Mutthalib Samrah, Adab Ikhtilaf fil Fiqh al-Islami, dalam mausuat al-Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Auqaf, 2009), hlm. 28.
[20] As’ad Abd al-Gani Sayyid al-Kafrawi, A’lam Tasyri’ al-Islami, dalam Mausuah Tasyri’ al-Islami (Cairo: Wizaratul Awqaf, 2009), hlm. 110.

[21] Ibid., hlm. 115
[22] Yusuf Qardawi, kaifa nata’amal ma’a sunnah an-Nabawiyyah; ma’alim wa dhawabith (Cairo: bank at-Taqwa, tth) hlm. 135
[23] Muhammad Qasim al-Mansi, Tagayyuru al-Zuruf wa Asaruhu fi Ikhtilafi al-Ahkam fi as-Syariati al-Islamiyah (cairo: Dar Salam, 2010) hlm. 168
[24] Phiilip K Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 316
[25] Ibid., hlm. 512
[26] Ibid., hlm. 518-519
[27] “janganlah engkau mendebat mereka dengan Alquran, karena ia sifatnya multi-dimensi, tetapi debatlah dengan menggunakan hadis nabi”
[28] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ( Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994), hlm. 62
[29] Ibid., hlm. 63.
[30] Phiilip K Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukiman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar