A Prolog
Al-Quran diturunkan di tengah-tengah komunitas Arab
pada abad 6 M merupakan fenomena yang layak diteliti. Kegelisahan-kegelisahan
umat muslim kontemporer dari pelbagai penjuru kembali merujuk kepada Al-Quran
sebagai pedoman hidup umat islam. kecenderungan kebahasaan para gramatikus Arab
dan non Arab mencoba mendekati Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan dengan
pelbagai perangkat interpretasi. Pesona keindahan bahasa Al-Quran menyihir para
pengkaji Al-Quran dalam berteorisasi ria yang kemudian melahirkan teori-teori
bahasa dan sastra. Al-Quran ibarat sebuah berlian yang menyilaukan mata para
pengkaji Al-Quran dan terkesima dengan keindahannya. Dari Al-Quran, para
pengkaji merumuskan teori dan metodologi yang kemudian mengalami perkembangan
pesat dan secara gradual, dikukuhkan sebagai disiplin ilmu. Tak heran jika
Nashr Hamid Abu Zaid secara berani mengatakan bahwa “peradaban Arab adalah peradaban teks” dan Amin al-Khuli menegaskan
bahwa “Al-Quran adalah kitab sastra Arab terbesar dan teragung” yang
lantas didekati dengan pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti bahasa, sastra
dan psikologi dsb.
Tafsir Sastra yang marak dikenal pada
abad 20 dan dianggap sebagai hasil perkenalan akut dan hasil adopsi dengan disiplin
ilmu kritik sastra barat tidak dapat diterima seutuhnya, tetapi wacana tafsir
sastra yang menggema di abad kontemporer memiliki landasan teoritis dan
konstruk epistomologi pada masa klasik dan hasil akumulasi dari pergumulan
ilmu-ilmu modern. Tokoh-tokoh kenamaan sekaliber Ibn Abbas, al-Farra’, Abu
Ubaidah, al-Jurjani, Abd al-Jabbar, al-jahiz dan al-Baqillani dan tokoh-tokoh
lainnya memiliki pemikiran yang melampaui batas-batas zamannya. Kehadiran Muhammad
‘Abduh dan Taha Husain kemudian memuluskan jalan bagi Amin al-Khuli dan
penerus-penerusnya dengan mereformulasi dan menetapkan prinsip-prinsip
metodologis dalam seni interpretasi yang dalam pembacaan kontemporer dikenal
dengan Hermeneutika. Nashr Hamid abu Zaid mencoba mendialektikan antara teks
dan realitas dengan teori makna dan maghza yang berubah-rubah yang didasari
dengan semangat objektivitas penafsiran.
2. Jejak Historis Tafsir Teoritis
Melacak jejak sejarah benih-benih tafsir
teoritis dapat dijumpai pada masa kenabian. Pemikiran ini menurut Dr.M.Nur
Khalis Setiawan berdasarkan atas beberapa data yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan beberapa
interpretasi yang erat kaitannya dengan terminologi
disiplin sastra atab yang berkembang belakangan, meski penafsiran Nabi tidak terlalu
banyak dijadikan para pengamat tafsir sebagai tafsir periode awal dalam sejarah
penafsiran Al-Quran. Nampak jelas ketika Nabi menafsirkan surah al- Baqarah
ayat 187 : “ makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam yaitu fajar “. Dengan
mengatakan “ yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam dan benang
putih adalah terangnya siang.” Peralihan makna frasa dari benang hitam dan
putih ke benang yang lain, yakni
gelapnya malam dan terangnya siang, merupakan perubahan makna dari makna asli
ke makana majazi.[1]
Meski secara kuantitas tidak terlalu banyak menunjukkan model penafsiran
susastera, interpretasi Nabi benar-benar telah mendapatkan legitimasi historis.[2]
Salah satu generasi penerus yang
melakukan penafsiran seperti yang dilakukan Nabi adalah Abdullah Ibn Abbas
(w.68/687) putra dari paman Nabi dan putra dari kakek (tertua) dari keluarga
besar Abbasiah. Para pengkaji tafsir menyebutnya sebagai “bapak tafsir” karna
otoritasnya dalam disiplin ilmu bak lautan tak bertepi dan dijuluki dengan
gelar “ Tarjuman Al-Quran” yang telah diberkahi oleh rasulullah sendiri.[3]
Demikian pula karya-karya tafsir yang bermunculan setelah itu, tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh serta kretifitas Ibn Abbas. Sehingga
interpretasi-interpretasi yang dilakukan Ibn Abbas bisa dijadikan sebagai awal
mula penafsiran susastra dengan bukti data-data historis yang kuat.[4]
Menelisik lebih jauh sosok Ibn Abbas ditemukan bahwa Ibn Abbas tekun bergaul
dengan penyair klasik, sebab mereka adalah kalangan yang dipandang mempunyai
kesiapan lebih karena pergumulan mereka dengan bahasa dalam bidang tafsir.
Berkenaan dengan lafazh haraj dalam
surat al-Haj ayat 78 dia menjelaskan prinsip berikut ini : “ apabila kamu
merasa asing dengan sesuatu dalam Al-Quran maka lihatlah dalam syair, karena
syair adalah murni bahasa Arab. Data sejarah mengisahkan bahwa Nafi’ bin
al-Azraq bertanya kepada Ibn Abbas tentang sejumlah kosa kata Al-Quran. Nafi’
meminta kepada Ibn Abbas supaya mencari makna-makna tersebut dengan menggunakan
syair klasik. Dalam jawaban Ibn Abbas kepada pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq
terdapat tafsiran sekitar dua tatus kalimat dengan munggunakan bukti atau dalil
dari syair klasik. Ini adalah sebuah pengakuan dari para ahli bahasa masa
belakangan kepada bapak tafsir yang menggagas metode linguistic dalam tafsir Al-Quran.[5]
Penafsiran dengan metode linguistik
kemudian dilanjutkan oleh murid-murid Ibn Abbas diantaranya adalah : Mujahid,
Ikrimah, said bun jabir, Qatadah,dan al-Dhahhak.[6]
Murid yang paling menonjol dalam penafsiran dengan pendekatan kebahasaan adalah
Mujahid. Interpretasi-interpretasi yang dilakukannya sangat kental dengan
penafsiran metaforis.[7]maka
tak heran jika Mujahid dikategorikan sebagai salah satu dari benih-benih
penafsiran rasionalis dalam Islam.[8]
generasi setalah Mujahid yang ambil bagian dalam mengembangkan “ stadium
embrional” tafsir sastra adalah Ibn Juraij, Maqatil ibn Sulaiman, Sufyan
al-Tsauri, Abu Ubaidah al-Mutsanna’ dan Yahya ibn Ziyad al-Farra’.[9]
Para sarjana tersebut dalam karya-karyanya, secara implisitmenegaskan bahwa Al-Quran
adalah sebuah teks. Penyimpulan seperti ini diperoleh dari analisis holistic
terhadap buah tangan mereka. Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan akan
perlakuan mereka terhadap Al-Quran adalah penekanan bahwa Al-Quran adalah teks
berbahasa Arab, sehingga ilmu bahasa Arab merupakan perangkat pertama dan
nisacaya dalam memahami teks Al-Quran.mereka bersepakat bahwa dalam wilayah
kebahasaan terdapat dua aspek dan tingkatan yang saling terkait dan
berkelindan. Dua hal tersebut adalah apa yang ada dalam disiplin bahasa
kontemporer dengan “ syntagma “ (tarkib) sebagai bagian integral dari
pembentukan dan bangunan sebuah kalimat, serta “ paradigm” (dalalah), sebagai
elemen pembangun lainnya dalam bahasa.[10]
Membincang lebih lanjut “stadium
embrional “ setalah generasi Mujahid,
nampaknya penafsiran yang paling kental denga pendaran linguistiknya adalah Abd
al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Ibn Juraij termasuk dalam sederet pengkaji
Al-Quran klasik yang mengedepankan prinsip :
bagian Al-Quran menjelaskan bagian yang lain ( Al-Quran yufassiru ba’duhu ba’dhan). Disamping itu ia juga menaruh
perhatian kepada artu penting aspek-aspek Mubhamat Al-Quran, mengingat gaya
bertutut Al-Quran memang demikian adanya. Ibn Jurai berkeyakinan bahwa konteks
sebuah ayat dalam Al-Quran memiliki peran yang sangat penting. “ kesadaran “
akan konteks dari sebuah teks sebagai perangkat adalah niscaya dalm memahami
teks keagamaan yang dalam kacamata semantic modern lazim disebut dengan “makna
dasar” dan “makna relasional” .
kesadaran akan dua aspek makna tersebut dalam khazanah islam klasik, salah
satunya dikembangkan oleh ibn Juraij. Demikian juga Ibn Juraij menaruh
perhatian pada gaya tutur stilistika Al-Quran yang beragam dan membicarakan
pengualangan kata atau kalimat (al-Tikrar)
serta tertarik menyibukkan diri dengan gramatikal ayat-ayat Al-Quran.[11]
Para sarjana klasik dengan pelbagai
karyanya yang telah disebutkan diatas diklasifikasikan sebagai penafsiran
sebelum masa kodifikasi (‘asru tadwin ) dan sarjana klasik pertama
yang menulis pada masa kodifikasi adalah Abu Ubaidah dengan magnum
opus-nya “majaz Al-Quran”. Di tangan Abu
Ubaidah pertama kali mendefenisikan pengertian majaz. Abu Ubaidah ketika
dihadapkan dengan teks Al-Quran, ia berusaha mengklasifikasikan dan menunjukkan
pengertian denotatif dan konotatif sebuah lafadz teks dan menjelaskan aspek
metaforis dan perumpamaan dalam Al-Quran. Generasi setelah yang melanjutkan
tongkat estafet penafsiran Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan adalah
al-Farra’ dengan karangannya “ Ma’ani Al-Quran”
metode al-farra’ dalam kitabnya hampir menyamai metode Abu Ubaidah,namun nuansa
gramatika bahasa Arab nampaknya sangat kental menyesaki karangannya. Yang
kemudian disusul oleh al-Jahidz dengan “Nadzm Al-Quran”-nya , Ibn Qutaibah
dengan “ Ta’wil Muyskilu Al-Quran”-nya
yang dilandasi dengan semangat pembelaan terhadap aspek kemukjizatan Al-Quran.
Jika al-Jahidz adalah juru bicara Mu’tazilah maka Ibnu Qutaibah merupakan juru
bicara Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah.[12]
Pada abad ke-4 H, dogma I’jaz Al-Quran
mendapat perhatian penuh dari para teolog dan penafsir Al-Quran. Hal itu dapat dibuktikan dengan menjamurnya
karangan sarjana muslim klasik yang memusatkan penelitiannya terhadap aspek
kemukjizatan dalam Al-Quran. Relasi antara I’jaz Al-Quran dengan aspek
kebahasaan Al-Quran tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Ibnu Qutaibah
berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi mengenai ajaran dan keyakinan
tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua
aspek bahasa, lafzhi dan ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan
makna struktural, sementara ma’nawi adalah teori makna.[13]
Pada abad ini muncul sarjana muslim seperti al-Rummani dengan “al-nukat fi I’jaz Al-Quran” ,
al-Khatthabi dengan “bayan I’jaz Al-Quran”
, Abu al-Hasan Abd al-Jabbaral-Hamdani dengan kitabnya “ al-Mughni fi Abwabi al-Tauhid wa al-Adl” dan Abu Bakr al-Baqillani
dengan magnumopusnya “ I’jaz Al-Quran
“.[14]
Pada abad selanjutnya yaitu pada abad ke
-5, diterbitkan “ Dala’il al-Ijaz” yang sangat fenomenal yang ditulis oleh Abd
al-Qahir al-Jurjani dan kitan “ al-Risalat
al-Syafiah fi I’jaz Al-Quran”. Dan pada abad ke 6 H al-Zamakhsyari seolah
megumpulkan teori-teori terdahulu dalam tafsirnya “al-Kassyaf” yang bernuansa kebahasaan. Dan disusul oleh Fakhruddin
al-Razi dengan “Nihayat al-Ijaz fi Dirayat
al-I’jaz”. Pada abad ke-7 H, Abu al-Asba’ al-Mashri menulis “ Badi’ Al-Quran”.[15]
Dan pada abad-abad selanjutnya mucul sederetan nama seperti Imam Yahya bin Hamzah al-Alawi degan kitab “al-Tharaz” , Umar al-Biqa’I dengan kitab
yang diberi judul “ nadzmu al-Durar fi
tanasub al-ayat wa al-suwar” dan
Jalaluddin al-Suyuti pemilik “ tanasuk
al-durar fi tanasub al-suwar”. Sampai pada masa kontemporer para sarjana
semisal Muhammad Rajab Bayyumi dan
Hufnaa Muhammad Syaraf memberikan perhatian lebih pada corak penafsiran dengan
pendekatan kebahasaan. [16]
3. Epistomologi Tafsir Teoritis
Untuk meneliti lebih jauh konstruk
epistomologi tafsir teoritis dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan
sastra maka penulis terlebih dahulu memaparkan defenisi epistomologi itu
sendiri. Epistomologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative,
normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai suatu
keyakinan, sikap, pernyataan pendapatm teori pengetahuan dapat dibenarkan,
dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan
secara nalar. Normatif berarti menentukan tolak ukur, dan dalam hal ini tolak
ukur kenalaran adalah kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak
mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui.[17]
Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan tafsir teoritis ke dalam tiga
fase penafsiran karena menurut asumsi penulis untuk menghadirkan tiga poin
penting dari epistomolgi dibutuhkan pemetaan yang jelas. Begitu pula ,tafsir
teoritis dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra memiliki karakteristik
dan perkembangan yang signifikan serta tujuan penafsiran yang berbeda. Ketga
kategori tersebut yaitu (1) epistomologi tafsir kebahasaan pada masa klasik (2)
epistomologi tafsir kesusasteraan masa modern (3) epistomologi tafsir
kesusasteraan pada masa kontemporer.
3.1. Epistomologi Tafsir Kebahasaan Masa Klasik
Secara kategoris , Jhon Wansbrough
memetakan karya-karya tafsir yang muncul pada era klasik menjadi lima jenis. Pertama : tafsir naratif, yakni tafsir yang penjelasannya disertai
ulasan disekitar konteks turunnya ayat, contoh tafsir model ini adalah tafsir
karya Sulaiman ibn Maqatil. Kedua :
tafsir legal, yaitu tafsir yang sangat kental dengan nuansa hukumnya . tafsir karya sulaiman ini juga
merupakan cfontoh yang baik bagi model tafsir jenis ini. ketiga : tafsir tekstual, yaitu tafsir yang lebih focus pada uraian
tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat Al-Quran. Contohnya adalah
tafsir Ma’ani Al-Quran karya al-Farra’. Tafsir ini lebih berusaha menjelaskan
berbagai problem gramtika dan tekstual Al-Quran. Keempat : tafsir retorik : yaitu tafsir yang lebih menonjolkan
uraian tentang retorika dan sastra Al-Quran, seperti tafsir Majaz Al-Quran
karya Abu Ubaidah. Kelima : tafsir
alegoris, yaitu tafsir yang mengungkap makna simbolik Al-Quran. Tafsir sufistik
karya at-Tustari , merupakan contoh yang baik bagi jenis tafsir alegoris.[18]
Dari klasifikasi Jhon Wonsbrough dapat
dikatakan bahwa yang termasuk dalam tafsir teoritis adalah jenis ketiga dan
keempat, yaitu Tafsir Tekstual dan Tafsir Retorik.
3.1.1 Sumber Penafsiran
Al-Quran
yang diturunkan dengan bahasa Arab sebagai media komunikasi tuhan dengan
manusia mendapatkan perhatian dari kaum muslim Arab pada masa itu. Bapak
tafsir, Ibn Abbas dengan kecerdasan dan wawasan bahasa Arab yang mumpuni
mencoba meneliti kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada sya’ir jahiliah untuk
mendapatkan makna asli. Sehingga dalam al-Risalah
karya Syafi’I sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher berhasil merampungkan sekitar dua rastus kosa
kata dan menemukan arti etimologis-nya. Penjelasan dua ratus kosa kata Gharib
dalam Al-Quran tidak serta merta berdasarkan Syai’r jahili semata namun
sumber dari hadis Nabi dan penelitian filologis Kibar Sahabat dimanfaatkan
oleh Ibn Abbas dalam merumuskan dan menjelaskan arti kosa kata yang Gharib (asing) atas permintaan Nafi’ bin
al- Azraq. Demikian pula Ibn Abbas menukil dari filolog buku-buku pra-islam
yaitu Abu al-Jald Mukahdraman dan wawasan dari Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah bin
Salam, muallaf dari agama Yahudi.[19]
Perluasan kekuasaan islam pada masa awal
islam yang meliputi bangsa Arab maupun non-Arab mengakibatkan pengetahuan akan
bahasa Arab menjelma menjadi sebuah kebutuhan dan niscaya. Al-Quran yang
merupakan sumber primer kaum muslim dan
bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran menjadikan keduanya ibarat dua sisi mata koin
yang tak terpisahkan. Sehingga tidak mengherankan ketika kamus Al-Quran
menjamur pada dinasti Umawiyyah dan Abbasiah sebagai buku pedoman bangsa Arab
dan non-Arab dalam memahami Al-Quran. Begitu pula Konsep I’jaz Al-Quran
memotivasi para sarjana klasik memberi penjelasan hakikat kemukjizatan Al-Quran
sehingga upaya yang mereka kerahkan dapat melahirkan sekian teori-teori bahasa
dan sastra yang kemudian berimplikasi kuat terhadap perkembangan ilmu balaghah
dan dikukuhkan sebagai disiplin ilmu yang independen.
3.1.2 Metode penafsiran
Metodologi penafsiran dengan pendekatan
kebahasaan baik oleh ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin secara umum
bersifat deduktif-analitik. Deduktif berarti menafsirkan teks Al-Quran dengan
berupaya merincikan makna asli (exact
meaning) kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada pemakaian bahasa bangsa Arab
pada masa Al-Quran diturunkan dengan pendekatan filologi terhadap syi’ir jahiliah dan bahasa Arab kuno.
Analitik berarti menafsirkan Al-Quran dengan cara atomistik, parsial dan
terpisah-pisah sesuai dengan urutan ayat Al-Quran dalam mushaf utsmani. Pada
perkembangannya corak penafsiran kebahasaan jenis ini menyesaki Al-Quran dengan
kaidah-kaidah kebahasan dari segi gramatikalnya sehingga oleh Muhammad ‘Abduh
dikritik dengan mengatakan bahwa analisis I’rab Al-Quran pada penafsiran
kebahasaan islam klasik tidak layak disebut sebagai tafsir tetapi sebagai ajang
latihan disiplin ilmu gramatikal Arab terhadap Al-Quran.[20]
Pada perkembangan selanjutnya, para
gramatikus yang bergelut dengan penafsiran Al-Quran merumuskan beberapa kaidah
dengan pendekatan kebahasaan sebagai berikut : (1) redaksi yang bersifat umum
mengandung pengertian umum yang sepadan (2) alif-lam
pada kata sifat dan ism al-jins menunjuk seluruh pengertian yang tercakup
didalamnya (3) an-nakirah dalam
konteks an-nahy, an-nafy, as-syarah atau al-istifham
menunjuk pada pengertian umum.(4) al-Mudhaf
(kata kepunyaan) juga menunjuk pada pengertian umum sebagai ism al-jam’I (5) ism yang disebutkan
secara tersendiri menunjuk pada pengertian sefcara umum. (6) peniadaan objek
kalimat yang menunjuk pada pengertian umum yang sepadan. (7) jawab as-Syart yang tidak disebutkan
dalam ayat menunjukkan penting atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.[21]
penafsiran retoris masa klasik merupakan
benih perkembangan tafsir sastra pada masa kontemporer. Konsep majaz yang
digagas oleh Abu Ubaidillah berangkat dari perkenalan akut para sarjana klasik
dalam memhami doktrin I’jaz Al-Quran dari aspek retorika dan keindahan
bahasanya. Yang kemudian melahirkan
teori Metafora (Isti’arah), seni
perbandingan ( Tasybih), parabel (Matsal) dan metonisme (kinayah) yang merupakan bentuk-bentuk
Majaz. Dan kemudian teori konstruksi teks (Nadzm)
yang dirintis oleh al-Jahidz dan dilanjutkan oleh al-Jurjani dalam “ Dala’il al-Ijaz” nya dan diaplikasikan
secara praksis terhadap teks Alqran oleh al-Zamakhsyari dalam “al-Kassyaf” dan Said Nursi dalam “ Isyarat al-I’jaz fi madzanni al-Ijaz”
sehingga bisa disimpulkan bahwa teori Majaz dan Nadzm merupakan elemen-elemen
formatif tafsir teoritis sebagaimana Nur Khalis Setiawan kisahkan.
Majaz yang diartikan sebagai lawan dari
haqiqah, [22]sebagaimana
dipahami oleh Al-Jahidz yang kemudian dikembangkan Van Ess dengan pengertian
sebagai : sesuatu yang melampaui batas-batas leksikal[23]
mengindikasikan bahwa penafsiran progresif dan non-tekstual dapat ditemukan
pada penafsiran sarjana islam klasik terlebih pada literautur Mu’tazilah. Dari
penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa metodologi tafsir retoris menggunakan
teori-teori sastra klasik dalam menyibak keindahan bahasa Al-Quran meskipun
secara umum masih menggunakan metode deduktif-analitik dari penafsiran yang
mereka suguhkan.
3.1.3. Validitas Penafisran
Dalam ilmu semantik kontemporer makna
dapat diklasifikasikan dengan makna dasar ( Grundbedutung)
dan makna relasional (relational
Bedeutung). Makna dasar yang dimaksud disini adalah kandungan kontekstual
dari kosa kata yang akan tetap melekat pada kata tersebut, meskipun kata
tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat. Sementara makna relasional adalah makna
konotatif, yang dalam prakteknya, sangat bergantung kepada konteks sekaligus
relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat.[24] Menyoal
validitas penafsiran teoritis dengan pendekatan kebahasaan dalam Al-Quran
sejatinya keabsahan sebuah penafsiran jika penafsiran tersebut sesuai dengan
makna asli (exact meaning) atau makna
dasar bahasa Arab ketika Al-Quran diturunkan. Begitu pula validitas penafsiran
teoritis dengan pendekatan sastra apabila sebuah penafsiran sesuai atau adanya
keterkaitan (aspek relasional) dengan
makna dasar.
Adapun kaidah-kaidah dengan pendekatan
kebahasaan yang dirumuskan oleh para sarjana klasik mendapat legitimasi dari
otoritas ahli bahasa dan para penafsir dengan menyatakan bahwa standar
validitas penafsiran juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang
telah diformasikan pada masa klasik agar terhindar dari penafsiran liar yang
tidak terikat dengan batas-batas leksial teks Al-Quran.
Dalam kajian epistomologi, dikenal tiga
teori kebenaran yang kerap dijadikan sebagai acuan kebenaran, yaitu (1) teori
kebenaran korespondensi (2) teori kebenaran koherensi, dan (3) teori kebenaran
pragmatik. Kembali pada validitas penafsiran teoritis klasik sejatinya menganut
teori kebenaran korespondensi. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang
terkandung dalm pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang
dirujuk oleh pernyataan tersebut.[25]
Berangkat dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa validitas sebuah
penafsiran apabila berkorespondensi dengan makna dasar bahasa Arab.
3.1.4.
Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik penafsiran teoritis klasik
diantaranya adalah (1) minimnya budaya kritis (2) penafsiran yang dilakukan
umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na ijmali ( pengertian kosa kata secara global)(3) posisi teks sebagai
subjek dan Mufassir sebagai objek.
Tujuan penafsiran relatif pada tataran sekedar memahami makna dan belum sampai
ke dataran Maghza. [26]Sehingga
bisa disimpulkan bahwa penafsiran teoritis masa klasik dijadikan sebgai sebuah
medium untuk memahami makna Al-Quran, terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa
dengan lidah Arab.
3.2. Epistomologi Tafsir Kesusasteraan Masa Modern
3.2.1 Sumber Penafsiran
Muhammad ‘Abduh yang juga merupakan
representator penafsir modern dengan corak adab-ijtima’I ( corak sastra dan
sosial), Muhammad ‘Abduh menegaskan bahwa sebaik-baik sumber penafsiran dalam
memahami term Al-Quran adalah kembali kepada Al-Quran itu sendiri dengan bahasa
Arab ketika diturunkan dan mengkritik upaya memahami makna teks dengan merujuk pada
term agama-agama samawi yang memiliki jarak waktu yang berabad-abad.[27]
Disamping itu sumber penafsiran lainnya adalah perangkat-perangkat interpretasi
tradisional ( ilm al-ma’ani dan al-bayan atau lebih dikenal dengan
Stilistika ) untuk mebuka makna teks.[28]dan
menjadikan akal sebagai otoritas mendasar dalam interpretasi Al-Quran.[29]
Ilmu tentang kondisi-kondisi manusia yang juga dikenal dengan sosiologi dan
pendekatan historis terhadap ruang lingkup Al-Quran diturunkan mendapat
perhatian oleh Muhammad ‘Abduh.[30] sehingga
dengan bahasa Nash Hamid, Muhammad ‘Abduh telah menyatukan apa yang berasal
dari tradisi (turats) dengan
ilmu-ilmu modern dalam upayanya memberikan respon terhadap tantangan yang
dilontarkan pada nalar muslim yang menganggap Al-Quran sebagai rujukan
utamanya. Oleh karena itu tindak interpretasi yang dilakukan oleh ‘‘Abduh
bertumpu pada otoritas bahasa dan otoritas pengetahuan modern [31]di
dalam suatu bangunan metodologis yang cermat
yang sedemikian besar sejalan dengan langkah-langkah metode yang akan
dijelaskan pada pada metode penafsiran kesusasteraan masa modern.
3.2.2 Metode Penafsiran
Dari hasil penelitian J.J.G. Jansen
aliran penafsiran ala Mesir pada masa modern mengatakan bahwa corak penafsiran
di Mesir sejak munculnya Muhammad ‘Abduh dapat diklasifikan pada tiga bagian
(1) philological exegesis : penafsiran literal terhadap teks (2) Practical Exegesis : signifikansi teks Al-Quran terhadap perbuatan manusia,
dan (3) Scientific Exegesis : signifikansi teks Al-Quran
terhadap ilmu pengetahuan.[32] Menelisik tafsir Muhammad ‘Abduh dapat
dikatakan bahwa dari ketiga aspek ini ditemukan dalam penafsirannya lebih
kental dengan philological exegesis
sebagai sarana untuk mencapai petunjuk Al-Quran.
Metode bahasa yang sastra yang
dirumuskan oleh Muhammad ‘Abduh’ untuk mendapatkan Hidayah sebagai tujuan
penafsiran diformulasikan ke dalam langkah-langkah berikut[33] :
1. memahami data-data kosakata yang ada
dalm Al-Quran menurut makna umumnya sebgaimana yang berlaku ketika diturunkan.
Memahami kosakata-kosakata tersebut sedemikian rupa sehingga mufassir teresebut
dapat mewujudkan hal itu melalui pemakaian-pemakaian ahli bahasa, tidak cukup
mengikuti pendapat dan pemahaman si penafsir, sebab banyak kosakata yang
dipergunakan pada saat diturunkan dengan berbagai makna, kemudian makna-makna
itu lebih dominan daripada yang lainnya dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam langkah ini tampak jelas bahwa Muhammad
‘Abduh menolak proses memaksakan makna yang berasal dari masa kini terhadap
masa lalu sebagai akibat tidak diperhatikannya makna kosakata yang dipergunakan
pada saat diturunkan. Pola pemaksaan ini menjadi umum saat ini dan tampak jelas
dalam banyak buku tafsi r kontemporer. Barangkali yang paling mencolok dan
nyata adalah tafsir yang disebut dengan tafsir ‘ilmy terhadap Al-Quran.
2. setelah memahami makna dari
kosakata-kosakata dalam konteks pemakaian kebahasaannya, langkah berikutnya
adalah memahami stilistika. Dalam hal ini diperlukan ilmu I’rab dan ilmu
stilistika (Ma’ani dan al-Bayan ).
3. langkah ketiga dalam metode ini
adalah “ ilmu mengenai kondisi-kondisi manusia.” Sebab orang yang meneliti
kitab ini (Al-Quran) mesti mempertimbangkan kondisi-kondisi manusia dengan
perbagai perkembangan mereka, faktor-faktor yang menyebabkan kondisi mereka
berbeda-beda ; ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang
menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada
yang kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju
mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang
terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap
sebagai kelanjutan dari langkah ketiga ;
ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai
pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada yang
kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju mundurnya
dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang
terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap
sebagai kelanjutan dari langkah ketiga atau derivasi darinya, sebab pengetahuan
mengenai kondisi-kondisi manusia termasuk di dalamnya adalah kondisi yang
melekat pada masyarakat Arab dan lainnya pada era keNabian. Bagaimana mungkin
sang mufassir dapat memahami dengan semestinya kebiasaan-kebiasaan mereka yang
dinilai negative oleh ayat-ayat Al-Quran, atau yang mendekati negative jika ia
tidak mengetahui kondisi-kondisi mereka dan apa saja yang ada pada mereka.
5. langkah kelima jga dapat dianggap
sebagai rangkaian dari langkah keempat. Pengetahuan tentang kondisi masyarakat Arab
dan laiinya ada era keNabian termasuk pula di sini “ pengetahuan mengenai
perjalanan hidup Nabi SAW. dan sahabat-sahabtnya, serta pengetahuan dan
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan duniai dan ukhrawi yang mereka
jalankan.
Langkah-langkah yang dirumuskan oleh ‘‘Abduh
sebagai metode tafsir, menurut Nashr Hamid Abu Zaid berkaitan erat dengan dua
otoritas yang berdampingan: bahasa dalam konteks sejarah karena bahasa berlaku
pada era turunya wahyu, dan dunia, bahasa berfungsi sebagai hukum yang
menggerakkan dunia baik secara alamiah maupun sosial dalam proses
kesejarahannya. Teks di sini dalam pemahaman Muhammad ‘Abduh secara implicit,
melalui langkah-langkah metodologisnya, merupakan struktur bahasa yang bermakna
dalam konteks sosial-historis, tidak terlapas, pada saat yang sama, dari
kemampuannya memproduksi makna di luar bingkai konteks tersebut.[34]
3.2.3. Validitas Penafsiran
Dari pemetaan metodologis Muhammad ‘Abduh
oleh Nashr Hamid Abu Zaid kedalam dua
otoritas yang saling terkait, yaitu teks dan dunia. Maka dapat disimpulkan
bahwa Muhammad ‘Abduh menganut teori kebenaran Korespondensi yaitu adanya
kesesuaian hasil penafsiran dengan makna asli Al-Quran ketika diturunkan dan
teori pragmatis. Teori pragmatis penafsiran mengatakan bahwa sebuah penafsiran
dikatakan benar apabila ia secara praksis mempu memberikan solusi praksis bagi
problem sosial yang muncul. Dengan kata lain, penafsiran itu tidak diukur
dengan teori atau penafsiran lain,
tetapi diukur sejauh mana ia dapat memberikan solusi atas problem yang dihadapi
manusia sekarang ini. berangkat dari semangat tujuan Al-Quran sebagai petunjuk
kepada manusia membuat Muhammad ‘Abduh menyajikan tafsirnya sesuai dengan
kebutuhan zaman (need of the times/
hajat al-ashr).[35]
3.2.4. Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Tafsir Muhammad ‘Abduh mengkritisi
penafsiran dengan menggunakan dan memusatkan suatu pendekatan dan mengabaikan
pendekatan-pendekatan lainnya. Hal itu Nampak jelas dari kritikan penafsiran yang
disesaki dengan data-data I’rab Al-Quran yang kemudian mengaburkan petunjuk Al-Quran
yang diimani kaum muslim sebagai pedoman primer.[36]
Corak penafsiran Muhammad ‘Abduh seringkali disebut dengan tafsir sosial yang
bernuansa sastrawi. Sebagaimana disinggung diatas bahwa tujuan penafsiran Muhammad
‘Abduh adalah sebagai kitab petunjuk yang darinya manusia mendapatkan hidayah.
Dari sisi lain sarana yang mengantarkan pada tujuan asas Al-Quran adalah metode
bahasa yang sastra.[37]
3.3. Epistomologi Penafsiran Kesusasteraan Masa
Kontemporer
3.3.1 Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran kesusasteraan masa
kontemporer dihasilkan dari teks Al-Quran sendiri. Amin al-Khuli menegaskan
bahwa analisis kebahasaan kosa kata Al-Quran dapat diklasifikasikan dan disibak
makna asalnya dari dua poin yaitu dari sisi etimologis dan dari pengertian atau
term Al-Quran itu sendiri.[38]
Begitu pula upaya Al-Khuli dalam menafsirkan Al-Quran menempatkan dan
memberikan derajat lebih tinggi kepada akal atas sebuah teks.[39]dengan
memberikan peluang besar terhadap teori-teori sastra dan filsafat bahasa modern
yang kemudian difilterisasi dan diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam
hal ini al-Khuli memberikan perhatian besar terhadap literature klasik dan
modern dalam merumuskan konstruk metodologinya dalam penafsiran sastra Al-Quran.
Sumber penafisran murid-murid al-Khuli semisal Ahmad Khalafullah dan Ai’syah
bintu Syati’ menjadi makmum atas guru-gurunya yang kemudian dikembangkan oleh
Nashr Hamid Abu Zaid yang menjadikan realitas sebagai sumber penafsiran.
3.3.2. Metode Penafsiran
Amin al-Khuli merupakan pelopor wacana
tafsir sastra Al-Quran pada abad dua puluh.
Keseriusan al-Khuli dalam mengkaji Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari
kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen
ini adalah banyaknya tulisan penting yang berbicara tentang bahasa sastra dan
kritik sastra dalam karnya fi adab
al-Mishri dan Fannal-Qawl. Interaksi
al-Khuli dengan Al-Quran dalam memahami maknanya, mencoba menganalisis Al-Quran
dan mendudukkan sebagai sebuah teks Arab teragung dan terbesar yang pernah ada.
Kemudian dianalisis secara tematis. Kajian al-Khuli terhadap Al-Quran mengedepankan
dua prinsip metodologis yaitu : studi
sekitar Al-Quran (dirasah ma haula Al-Quran)
dan studi tentang teks itu sendiri (dirasah
fi Al-Quran nafsih). Kajian pertama
diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Quran, dimulai dari proses
pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek
wahyu, beserta kodifikasi dan variasi cara baca : sebagai sebuah kajian yang
kemudian lebih dikenal dengan ‘ Ulumul
Quran. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosio-historis Al-Quran
termasuk didalamnya situasi intelektual, Kultural, dan geografis masyarakat Arab
abad ke tujuh ketika Al-Quran diturunkan.[40]
Kajian ini secara umum berujung pada : (1) kajian teks, filologis, dan
penjelasan tentang sejarah perkembangannya. (2) penjelasan mengenai latar
belakang tempat Al-Quran muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana
perkembangan makna-maknanya.[41]
Selanjutnya kajian kedua pada studi tentang teks Al-Quran dari berbagai
segi. (1) Ia mengawali dengan investigasi terhadap kosa kata inividua Al-Quran
(mufradat, semenjak pertama
diwahyukan, perkembangan, serta pemakaiannyadalam Al-Quran, agar kata-kata
tersebut dapat dipahami secara totalitas (2) kemudian diikuti dengan perhatian
sepenuhnya terhadap kata-kata majemuk (murakkabah),
yang tentunya analisis tersebut didasarkan
pada pengetahuan tentang gramatik dan balaghah.[42]
Menarik untuk dielaborasi lebih lanjut
pemikiran Amin al-Khuli dalam tafsir Al-Quran, al-Khuli mencoba mengaitkan
balaghah dan ilmu jiwa sehingga memungkinkan adanya kemukjizatan Al-Quran
secara psikologis. Al-Khuli mengakui adanya kebutuhan untuk mengetahui tafsir
psikologis terhadap Al-Quran. Tafsir ini didasarkan pada pengetahuan yang
komprehensif dan sejauh mungkin terhadap rahasia-rahasia gerak-gerak jiwa
manusia sebagaimana yang diketahui kajian ilmu ini. Tafsir Psikologis Al-Quran
menurut al-Kuhli adalah tafsir Al-Quran yang didasarkan pada upaya menangkap
hal-hal yang dipergunakan oleh Al-Quran, yaitu gejala-gejala jiwa, dan
hukum-hukum spritualitas. Sehingga penjelasan Al-Quran dapat diketahui apakah dalam rangka berargumentasi,
memberikan petunjuk, mencoba meyakinkan atau mendebat, membangkitkan atau
mengancam.[43]
Proyek Metodologi yang dikembangkan al-Khuli
memiliki kemiripan dengan proyek hermenutika Schleiermacher, kendati tidak
ditemukan dalam karyanya deretan nama filosof dan sastrawan barat, tapi ada
dugaan kuat al-Khuli telah berkenalan dengan pemikiran Schleiermacher ketia ia
menetap di eropa yaitu di italia dan Jerman selama 4 tahun. Begitu pula al-Khuli
menguasai dua bahasa tersebut.[44]
Ahmad Khalafullah, sarjana konvensional
yang menganggap teks-teks kisah sebagai bagian dari teks ambigu ( mutasyabihat) merupakan elaborasi dari
metode adabi dan maudhu’i yang ditawarkan oleh al-Khuli. Bukti dari statemen ini
adalah pengakuan Khalaf sendiri dalam pendahuluan, disamping cara kerja yang
ditempuh yang sama persis dengan yang dikehendaki al-Khuli. Cara kerja yang
dtempuh Khalafullah diantaranya adalah mengumpulkan teks-teks yang berbicara
tentang kisah, kemudian mengurutkan sesuai kronologi turunnya (tartib al-nuzul) dan disusun dengan
member pemaknaan terhadap teks tersebut melalui jalur adabi (susastera).[45]
Selain Khalafullah yang mengadopsi
metode al-Khuli. Bintu Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w
2000) yang bertindak sebagai murid juga istri setia al-Khuli menerapkan prinsip
metodologis al-Khuli dalam memahami Al-Quran dalam tafsirnya “al-tafsir al-bayani li Al-Quran al-Karim”
yaitu dengan membiarkan Al-Quran berbicara tentang dirinya, karena, dalam teks Al-Quran,
teks salin menjelaskan satu sama lain. Pembebasan terhadap Al-Quran ini bukan
berarti memahami teks tanpa menggunakan perangkat, akan tetapi, setelah
pertautan antara suatu teks dengan teks lainnya diketahui, maka cara yang
kemudian dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan
analisis linguistik dan sastra dengan medan-medan semantik yang jelas. Dalam
pengantar tafsir Bintu Syati’ setidaknya memberikan 2 elemen dan langkah teoritis penting dalam metode
tafsir yang ditawarkannya. (1) penelitian terhadap makna leksikal kosa kata Al-Quran
yang kemudian di jadikan sebagai sarana
untuk mengetahui makna yang dikehendaki dalam konteks pembicaraan ayat. (2)
perlibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama.
Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “ kesempatan” agar Al-Quran berbicara
mengenai dirinya sendiri.[46]
Sarjana ketiga yang mengikuti sekaligus
menopang metdoe susastra adalah Syukri Ayyad. Ia menulis buku berjudul al-Din wa al-Hisab : Dirasah Qur’aniyyah.
Sembari menggunakan metode analisis susastera yang dikembangkan oleh al-Khuli,
Ayyad berpendapat bahwa persoalan eskatologis yang ada dalam Al-Quran merupakan
symbol keagamaan dalam kemasan susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.prinsip
metedologis Ayyad dalam tafsirnya adalah (1) investigasi terhadap makna literal
kosa kata Al-Quran dengan perhatian khusus pada asal kata, perkembangan, serta
pemakaiannyadalam masyarakat pada saat Al-Quran diturunkan. (2) meneliti gaya
tutur Al-Quran melalui stilistik dan mikro struktur dalam kalimat. Sedangkan
yang (3) adalah meneliti aspek sosial dan cultural Arab, terutama saat teks
diturunkan. Ketiga langkah tersebut dalam penelitian Ayyad, menghasilkan
kesiimpulan bahwa eskatologi Al-Quran bisa dipilah menjadi tiga model (1)
penghadapan langsung (al-tawjih) (2)
ilustratif (al-tashwir) (3)
menggunakan situasi dan kondisi yang berlawanan, seperti surga versus neraka.[47]
Nashr Hamid Abu Zaid merupakan generasi al-Khuli
yang produktif dan bahkan gigih mengembangkan metode kesusasteraan dalam kajian
Al-Quran. Abu Zaid mengawali dengan penetapan hubungan atau ralasi antara teks
dan interpretasi. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak bisa
dipisahkan. Dengan demikian, teori interpretasi
tidak bisa dipisahkan dari teori teks.dalam diskursus interpretasi klasik,
keduanya dipisahkan, mengingat teks diyakini sebagai kepastian religious yang
tidak membutuhkan interpretasi atau ta’wil,
sementara yang kedua, yakni ta’wil,
dianggap sebagai teks dalam pengertian aslinya dengan menolak teori tradisional
tentangnya sebagai teks tertutup, sebaliknya, menjadikannya sebagai teks
terbuka yang menuntut adanya interpretasi.” Ta’wil
merupakan sisi lain dari teks” statemen abu Zaid ini berada pada level
epistomologis, seperti diungkapkan Abu Zaid di beberapa kesempatan : “ teks
memiliki eksistensi, bebas dari interpretasi dan komentari”. Statemen ini
selayaknya dipahami bahwa teks menggiring kepada aktivitas interpretasi untuk
menemukan dunianya.[48]
Abu zaid banyak berbicara tentang
“interpretasi objektif” meski dalam kenyataannya sangat sulit, yang ia sebut
dengan ta’wil sebagai pembanding
interpretasi ideologis atau yang ia sebut dengan talwin. Diskusi tentang
interpretasi obyektif sebagai cita-cita , sejatinya tidak bisa dipisahkan dari
dua mazhab besar teori interpretasi, yakni hermeneutik. Yang pertama adalah
mazhab obyektif yang diusulkan oleh beberapa sarjana seperti Friedrich
Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Emilio Betti, dan ED. Hirsch. Sedangkan yang
kedua adalah mazhab subyektif yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikran Martin
Heidegger dan Hans Georg Gadamer.[49]pemetaan
hermeneutika dapa pula diklasifikasikan sebagai hermenutical theory yang berisi
aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang
(author0 dan hermeneutical philosophy
yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. [50]Abu
Zaid menggabungkan dua model hermeneutika
ini, meski terlihat pengaruh mazhab obyektif lebih besar ketimbang
subyektif. Berkaitan dengan takwil sebagai pembacaan kreatif atas teks diharapkan
mampu melahirkan pemahaman obyektif, Abu Zaid memisahkan antara “makna” (al-ma’na) dengan “signifikansi (al-Maghza). Pemisahan keduanya tidak
pula bisa dipisahkan dari pemikiran Hirsch, yang pernah mengatakan “ bukan
makna yang berubah tapi signifikansinya.[51]
Dari penjabaran tokoh-tokoh kontemporer
yang mencoba mendekati Al-Quran dengan metode sastra dapat disimpulkan bahwa
prinsip metodologis lebih bersifat interdispliner, mulai dari tematik, hermeneutik,
hingga linguistik dengan pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis,
historis, semantik dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir.[52]
Teori hermeneutika yang mereka kembangkan adalah hermeneutika teoritis yang
berisi cara untuk memahami. Dalam teori hermeneutika ini merupakan kajian
penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah
pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika
teoritis. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks
mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermeneutika dalam kelompok pertama ini
merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus
dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain
pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis,
leksikologis dan sintaksis, perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa
teks itu berasal? Untuk tujuan apa. Dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi
pengarangya ketika teks tersebut disusun? Dan lain sebagainya.[53]
3.3.3 Validitas Penafsiran
Terkait dengan validitas penafsiran,
tafsir teoritis masa kontemporer menganut tiga teori kebenaran yaitu teori
koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme. Pertama : teori
koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap benar apabila
ia sesuai dengan proporsi-proporsi sebelumnya dan konsisten menerapkan
metodologi yang dibangun oleh setiap penafsir.[54]
Menelisik prinsip metodologis dan aplikasi metode dalam tataran praksis oleh
Amin al-Khuli beserta murid-muridnya, sangat boleh dikatakan bahwa mereka
konsisten menerapkan metode sastra atau tafsir sastra dalam mendekati Al-Quran
yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam menghadapi
kegelisahan-kegilsahan kaum muslim dewasa ini. kedua : teori korespondensi :
seperti yang telah dijelaskan defenisinya diatas bahwa sebuah penafsiran
dikatakan benar apabila ia berkorespondensi, sesuai dan cocok dengan fakta
ilmiah di lapangan.[55]para
penafsir sastra Al-Quran menganut teori ini lantaran mereka sangat mengindahkan
ojektivitas penafsiran yang diukur oleh adanya kesesuaian antara hasil
penafsiran dengan makna dasar ketika Al-Quran diturunkan dengan menggunakan
pendekatan historis dan filologi. Ketiga : teori Pragmatisme : teori ini
mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praktis
mampu memberikan solusi prkasis bagi problem sosial yang muncul.[56]
Mengevaluasi tujuan penafsiran Tokoh-tokoh tafsir sastra kontemporer adalah
al-bayan (pengantar sastra) sebagai pembaharuan terhadap teori interpretasi
para sarjana klasik yang kerap dikacaukan dengan pengkaburan makna dasar teks
oleh tafsir afirmatif. Tujuan penafsiran Amin al-Khuli mencoba memurnikan nalar
bayani dengan pendekatan teori-teori sastra modern.
3.3.4 Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik dasar dari penafsiran
sastra kontemporer bersifat kritis. Amin al-Khuli menyatakan bahwa awal
pembaharuan adalah membunuh pemahaman
lama ( awwal al-tajdid qatl al-qadim fahman), transformatif, solutif
dan non ideologis[57]. Jika
Tujuan dari interpretasi Muhammad ‘‘Abduh adalah semangat mendapat petunjuk
dari Al-Quran maka tujuan paling awal dan mendasarbagi proses bagi Amin al-Khuli
adalh “ al-Bayan” sebab tujuan inilah
yang : darinya muncul berbagai tujuan lainnya dan yang mendasari berbagai
tujuan tersebut ( dan di antaranya
adalah tujuan mendapatkan hidayah menurut
Muhammad ‘‘Abduh). tujuan ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
berupaya mewujudkan tujuan manapun lainnya, apakah itu tujuan lain tersebut
bersifat ilmiah atau praktis, keagamaan dan duniawi.
4. Epilog
Dalam khazanah ilmu tafsir ditemukan dua
term yang sangat akrab bagi pengkaji tafsir, yakni : Tafsir dan Ta’wil. Istilah
tafsir lebih dikenal sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan
pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci.
Sedangkan Ta’wil lebih pada penemuan makna dari teks yang bersifat metaforis.
Ta’wil dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu : Pertama : ta’wil atau
penafsiran yang melewati batas-batas leksikal dan adanya keterkaitan dengan
makna dasar. Penafsiran jenis ini kerap digunakan dalam tafsir retoris dan
sastra Al-Quran. Kedua : ta’wil atau penafsiran yang melampaui batas-batas
leksikal tanpa ada keterhubungan dari segi bahasa dengan makna dasar. Metode
ta’wil jenis ini dapat dijumpai dalam tafsir sufistik.
Metode tafsir dan ta’wil jenis pertama
dikategeorikan dalam nalar bayani. Sedangkan metode Ta’wil jenis kedua
dikategorikan sebagai metode nalar Irfani. Aplikasi sebuah nalar dalam tahap
hegemoni dan mendominasi mengakibatkan fanatisme-reduksionis dan otoritas
tertinggi yang menjadi tujuan penafsiran. Pendekatan at-Ta’wil al-‘Ilmi
yang merupakan tawaran solutif Amin Abdullah terhadap kegelisahan intelektual
dengan menjadikan pendekatan al-Ta’wil al-Ilmi sebagai model tafsir alternatif
terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara
sungguh-sungguh antara paradigma epistemologi Bayani, paradigma
epistemologi Burhani dan paradigma epistemologi ‘Irfani dalam
satu gerak putar yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan
menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma, khususnya
jika masing-masing paradigma berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara yang satu
dan lainnya. Pesan kemanusian dan keadilan yang melekat dalam al-Qur’an yang
sering disebut dengan istilah rahmatan li al-alamin (universal) hanya
dapat dipahami dengan baik jika para penafsir kitab suci kontemporer memahami
adanya tiga paradigma epistemologi pemikiran keislaman dan mampu mendialogkan
secara kritis-dinamis-proporsional baik secara pribadi maupun kelompok sehingga
ekslusivitas pemikiran (ideas; thought) dan kelembagaan sosial-keagamaan
(institution) dapat dihindari sedapat mungkin dan kerjasama atau cooperation
antar berbagai kelompok sosial keagamaan menjadi niscaya tanpa harus mendahulukan
prejudice-prejudice kultural, sosial maupun keagamaan. Hanya dengan
demikian, barangkali apa yang disebut transformasi sosial dan humanisasi
ilmu-ilmu keislaman lewat penafsiran dan pemaknaan pesan-pesan kitab suci yang
bersifat emansipatoris dapat teraktualisasikan baik secara teori maupun
praksis.[58]
[1] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.129-130
[2] Ibid, hlm.132
[3] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk.
(Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm. 88-89
[4] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.133
[5] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk.
(Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm.94-95
[6] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam
Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[7] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.137
[8] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam
Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[9] . Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.138-139
[10] ibid
[11] Ibid. hlm. 143-146
[12] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh :
al-Risalah, 1997)hlm. 873-874
[13] Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil
al-Qur’an (Kairo: tp., 1326), hlm. 10
[14] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh :
al-Risalah, 1997)hlm.874
[15] ibid
[16] Ibid, hlm. 875
[17]J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan
(Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[18] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :
LKiS,2010) hlm.44
[19]Fuat Sazgin, Tarikh al-Turats
al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press,
1991) hlm. 65
[20] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal
al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo
: Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[21] Drs. H. Ahmad Izzan,Mag, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung : Tafakur,
2011) hlm.127-144
[22] Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.180
[23] Ibid, hlm.184
[25] J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan
(Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[26] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :
LKiS,2010) hlm. 45
[27]Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal
al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo
: Dar al-Syuruq, 2009) hlm.9
[28] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta :
Adab press,2004) hlm.130
[29] Ibid, hlm.133
[30] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal
al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo
: Dar al-Syuruq, 2009) hlm.10-11
[31] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta :
Adab press,2004) hlm. 314
[32] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt
(Leiden : E.J Brill, 1980) hlm. 96
[33] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta :
Adab press,2004) hlm.127-129
[34] Ibid, hlm.129-130
[35] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt
(Leiden : E.J Brill, 1980) hlm.30
[36] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal
al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo
: Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[37] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta :
Adab press,2004) hlm127
[38] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh :
al-Risalah, 1997)hlm.893
[39] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini
‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.114
[40] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta
: elSAQ press, 2005) hlm.12
[41] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab
press,2004) hlm71
[42] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.14
[43] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab
press,2004) hlm77-78
[44] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini
‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.
[45] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm. 32
[46] Ibid, hlm.36-37
[47] Ibid, hlm. 40-41
[48] Ibid, hlm.42-43
[49] Ibid, hlm. 45-46
[50] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial
(Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 7
[51] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, (
Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.46
[52] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :
LKiS,2010) hlm. 84
[53] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial
(Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 8
[54] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :
LKiS,2010) hlm. 83
[55] Ibid
[56] Ibid
[57]Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :
LKiS,2010) hlm. 84
[58] Amin Abdullah, prolog dalam Dekonstruksi Pemahaman Teks Kitab Suci
Agama ( Yogyakarta : Pustaka Rihlah, 2008) hlm. 1-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar