Minggu, 18 November 2012

Epistomologi Tafsir Teoritis


A      Prolog
Al-Quran  diturunkan di tengah-tengah komunitas Arab pada abad 6 M merupakan fenomena yang layak diteliti. Kegelisahan-kegelisahan umat muslim kontemporer dari pelbagai penjuru kembali merujuk kepada Al-Quran sebagai pedoman hidup umat islam. kecenderungan kebahasaan para gramatikus Arab dan non Arab mencoba mendekati Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan dengan pelbagai perangkat interpretasi. Pesona keindahan bahasa Al-Quran menyihir para pengkaji Al-Quran dalam berteorisasi ria yang kemudian melahirkan teori-teori bahasa dan sastra. Al-Quran ibarat sebuah berlian yang menyilaukan mata para pengkaji Al-Quran dan terkesima dengan keindahannya. Dari Al-Quran, para pengkaji merumuskan teori dan metodologi yang kemudian mengalami perkembangan pesat dan secara gradual, dikukuhkan sebagai disiplin ilmu. Tak heran jika Nashr Hamid Abu Zaid secara berani mengatakan bahwa “peradaban Arab adalah peradaban teks” dan Amin al-Khuli menegaskan bahwa  Al-Quran adalah kitab sastra Arab terbesar dan teragung” yang lantas didekati dengan pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti bahasa, sastra dan psikologi dsb.
Tafsir Sastra yang marak dikenal pada abad 20 dan dianggap sebagai hasil perkenalan akut dan hasil adopsi dengan disiplin ilmu kritik sastra barat tidak dapat diterima seutuhnya, tetapi wacana tafsir sastra yang menggema di abad kontemporer memiliki landasan teoritis dan konstruk epistomologi pada masa klasik dan hasil akumulasi dari pergumulan ilmu-ilmu modern. Tokoh-tokoh kenamaan sekaliber Ibn Abbas, al-Farra’, Abu Ubaidah, al-Jurjani, Abd al-Jabbar, al-jahiz dan al-Baqillani dan tokoh-tokoh lainnya memiliki pemikiran yang melampaui batas-batas zamannya. Kehadiran Muhammad ‘Abduh dan Taha Husain kemudian memuluskan jalan bagi Amin al-Khuli dan penerus-penerusnya dengan mereformulasi dan menetapkan prinsip-prinsip metodologis dalam seni interpretasi yang dalam pembacaan kontemporer dikenal dengan Hermeneutika. Nashr Hamid abu Zaid mencoba mendialektikan antara teks dan realitas dengan teori makna dan maghza yang berubah-rubah yang didasari dengan semangat objektivitas penafsiran.

2.         Jejak Historis Tafsir Teoritis
Melacak jejak sejarah benih-benih tafsir teoritis dapat dijumpai pada masa kenabian. Pemikiran ini menurut Dr.M.Nur Khalis Setiawan berdasarkan atas beberapa data yang menunjukkan bahwa Nabi  Muhammad SAW telah memberikan beberapa interpretasi  yang erat kaitannya dengan terminologi disiplin sastra atab yang berkembang belakangan, meski penafsiran Nabi tidak terlalu banyak dijadikan para pengamat tafsir sebagai tafsir periode awal dalam sejarah penafsiran Al-Quran. Nampak jelas ketika Nabi menafsirkan surah al- Baqarah ayat 187 : “ makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar “.  Dengan mengatakan “ yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam dan benang putih adalah terangnya siang.” Peralihan makna frasa dari benang hitam dan putih ke benang yang lain,  yakni gelapnya malam dan terangnya siang, merupakan perubahan makna dari makna asli ke makana majazi.[1] Meski secara kuantitas tidak terlalu banyak menunjukkan model penafsiran susastera, interpretasi Nabi benar-benar telah mendapatkan legitimasi historis.[2]
Salah satu generasi penerus yang melakukan penafsiran seperti yang dilakukan Nabi adalah Abdullah Ibn Abbas (w.68/687) putra dari paman Nabi dan putra dari kakek (tertua) dari keluarga besar Abbasiah. Para pengkaji tafsir menyebutnya sebagai “bapak tafsir” karna otoritasnya dalam disiplin ilmu bak lautan tak bertepi dan dijuluki dengan gelar “ Tarjuman Al-Quran” yang telah diberkahi oleh rasulullah sendiri.[3] Demikian pula karya-karya tafsir yang bermunculan setelah itu, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh serta kretifitas Ibn Abbas. Sehingga interpretasi-interpretasi yang dilakukan Ibn Abbas bisa dijadikan sebagai awal mula penafsiran susastra dengan bukti data-data historis yang kuat.[4] Menelisik lebih jauh sosok Ibn Abbas ditemukan bahwa Ibn Abbas tekun bergaul dengan penyair klasik, sebab mereka adalah kalangan yang dipandang mempunyai kesiapan lebih karena pergumulan mereka dengan bahasa dalam bidang tafsir. Berkenaan dengan lafazh haraj dalam surat al-Haj ayat 78 dia menjelaskan prinsip berikut ini : “ apabila kamu merasa asing dengan sesuatu dalam Al-Quran maka lihatlah dalam syair, karena syair adalah murni bahasa Arab. Data sejarah mengisahkan bahwa Nafi’ bin al-Azraq bertanya kepada Ibn Abbas tentang sejumlah kosa kata Al-Quran. Nafi’ meminta kepada Ibn Abbas supaya mencari makna-makna tersebut dengan menggunakan syair klasik. Dalam jawaban Ibn Abbas kepada pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq terdapat tafsiran sekitar dua tatus kalimat dengan munggunakan bukti atau dalil dari syair klasik. Ini adalah sebuah pengakuan dari para ahli bahasa masa belakangan kepada bapak tafsir yang menggagas metode linguistic dalam tafsir Al-Quran.[5]
Penafsiran dengan metode linguistik kemudian dilanjutkan oleh murid-murid Ibn Abbas diantaranya adalah : Mujahid, Ikrimah, said bun jabir, Qatadah,dan al-Dhahhak.[6] Murid yang paling menonjol dalam penafsiran dengan pendekatan kebahasaan adalah Mujahid. Interpretasi-interpretasi yang dilakukannya sangat kental dengan penafsiran metaforis.[7]maka tak heran jika Mujahid dikategorikan sebagai salah satu dari benih-benih penafsiran rasionalis dalam Islam.[8] generasi setalah Mujahid yang ambil bagian dalam mengembangkan “ stadium embrional” tafsir sastra adalah Ibn Juraij, Maqatil ibn Sulaiman, Sufyan al-Tsauri, Abu Ubaidah al-Mutsanna’ dan Yahya ibn Ziyad al-Farra’.[9] Para sarjana tersebut dalam karya-karyanya, secara implisitmenegaskan bahwa Al-Quran adalah sebuah teks. Penyimpulan seperti ini diperoleh dari analisis holistic terhadap buah tangan mereka. Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan akan perlakuan mereka terhadap Al-Quran adalah penekanan bahwa Al-Quran adalah teks berbahasa Arab, sehingga ilmu bahasa Arab merupakan perangkat pertama dan nisacaya dalam memahami teks Al-Quran.mereka bersepakat bahwa dalam wilayah kebahasaan terdapat dua aspek dan tingkatan yang saling terkait dan berkelindan. Dua hal tersebut adalah apa yang ada dalam disiplin bahasa kontemporer dengan “ syntagma “ (tarkib) sebagai bagian integral dari pembentukan dan bangunan sebuah kalimat, serta “ paradigm” (dalalah), sebagai elemen pembangun lainnya dalam bahasa.[10]
Membincang lebih lanjut “stadium embrional “  setalah generasi Mujahid, nampaknya penafsiran yang paling kental denga pendaran linguistiknya adalah Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Ibn Juraij termasuk dalam sederet pengkaji Al-Quran klasik yang mengedepankan prinsip :  bagian Al-Quran menjelaskan bagian yang lain ( Al-Quran yufassiru ba’duhu ba’dhan). Disamping itu ia juga menaruh perhatian kepada artu penting aspek-aspek Mubhamat Al-Quran, mengingat gaya bertutut Al-Quran memang demikian adanya. Ibn Jurai berkeyakinan bahwa konteks sebuah ayat dalam Al-Quran memiliki peran yang sangat penting. “ kesadaran “ akan konteks dari sebuah teks sebagai perangkat adalah niscaya dalm memahami teks keagamaan yang dalam kacamata semantic modern lazim disebut dengan “makna dasar”  dan “makna relasional” . kesadaran akan dua aspek makna tersebut dalam khazanah islam klasik, salah satunya dikembangkan oleh ibn Juraij. Demikian juga Ibn Juraij menaruh perhatian pada gaya tutur stilistika Al-Quran yang beragam dan membicarakan pengualangan kata atau kalimat (al-Tikrar) serta tertarik menyibukkan diri dengan gramatikal ayat-ayat Al-Quran.[11]
Para sarjana klasik dengan pelbagai karyanya yang telah disebutkan diatas diklasifikasikan sebagai penafsiran sebelum masa kodifikasi  (‘asru tadwin ) dan sarjana klasik pertama yang menulis pada masa kodifikasi adalah Abu Ubaidah dengan magnum opus-nya  “majaz Al-Quran”. Di tangan Abu Ubaidah pertama kali mendefenisikan pengertian majaz. Abu Ubaidah ketika dihadapkan dengan teks Al-Quran, ia berusaha mengklasifikasikan dan menunjukkan pengertian denotatif dan konotatif sebuah lafadz teks dan menjelaskan aspek metaforis dan perumpamaan dalam Al-Quran. Generasi setelah yang melanjutkan tongkat estafet penafsiran Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan adalah al-Farra’ dengan karangannya “ Ma’ani Al-Quran” metode al-farra’ dalam kitabnya hampir menyamai metode Abu Ubaidah,namun nuansa gramatika bahasa Arab nampaknya sangat kental menyesaki karangannya. Yang kemudian disusul oleh al-Jahidz dengan “Nadzm Al-Quran”-nya , Ibn Qutaibah dengan “ Ta’wil Muyskilu Al-Quran”-nya yang dilandasi dengan semangat pembelaan terhadap aspek kemukjizatan Al-Quran. Jika al-Jahidz adalah juru bicara Mu’tazilah maka Ibnu Qutaibah merupakan juru bicara Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah.[12]
Pada abad ke-4 H, dogma I’jaz Al-Quran mendapat perhatian penuh dari para teolog dan penafsir Al-Quran.  Hal itu dapat dibuktikan dengan menjamurnya karangan sarjana muslim klasik yang memusatkan penelitiannya terhadap aspek kemukjizatan dalam Al-Quran. Relasi antara I’jaz Al-Quran dengan aspek kebahasaan Al-Quran tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara ma’nawi adalah teori makna.[13] Pada abad ini muncul sarjana muslim seperti al-Rummani dengan “al-nukat fi I’jaz Al-Quran” , al-Khatthabi dengan “bayan I’jaz Al-Quran” , Abu al-Hasan Abd al-Jabbaral-Hamdani dengan kitabnya “ al-Mughni fi Abwabi al-Tauhid wa al-Adl” dan Abu Bakr al-Baqillani dengan magnumopusnya “ I’jaz Al-Quran “.[14]
Pada abad selanjutnya yaitu pada abad ke -5, diterbitkan “ Dala’il al-Ijaz  yang sangat fenomenal yang ditulis oleh Abd al-Qahir al-Jurjani dan kitan “ al-Risalat al-Syafiah fi I’jaz Al-Quran”. Dan pada abad ke 6 H al-Zamakhsyari seolah megumpulkan teori-teori terdahulu dalam tafsirnya “al-Kassyaf” yang bernuansa kebahasaan. Dan disusul oleh Fakhruddin al-Razi dengan “Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz”. Pada abad ke-7 H, Abu al-Asba’ al-Mashri menulis “ Badi’ Al-Quran”.[15] Dan pada abad-abad selanjutnya mucul sederetan nama seperti  Imam Yahya bin Hamzah al-Alawi degan kitab “al-Tharaz” , Umar al-Biqa’I dengan kitab yang diberi judul “ nadzmu al-Durar fi tanasub al-ayat wa al-suwar” dan  Jalaluddin al-Suyuti pemilik “ tanasuk al-durar fi tanasub al-suwar”. Sampai pada masa kontemporer para sarjana semisal Muhammad Rajab Bayyumi  dan Hufnaa Muhammad Syaraf memberikan perhatian lebih pada corak penafsiran dengan pendekatan kebahasaan. [16]
3.         Epistomologi Tafsir Teoritis
Untuk meneliti lebih jauh konstruk epistomologi tafsir teoritis dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan sastra maka penulis terlebih dahulu memaparkan defenisi epistomologi itu sendiri. Epistomologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapatm teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran adalah kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[17] Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan tafsir teoritis ke dalam tiga fase penafsiran karena menurut asumsi penulis untuk menghadirkan tiga poin penting dari epistomolgi dibutuhkan pemetaan yang jelas. Begitu pula ,tafsir teoritis dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra memiliki karakteristik dan perkembangan yang signifikan serta tujuan penafsiran yang berbeda. Ketga kategori tersebut yaitu (1) epistomologi tafsir kebahasaan pada masa klasik (2) epistomologi tafsir kesusasteraan masa modern (3) epistomologi tafsir kesusasteraan pada masa kontemporer.
3.1.      Epistomologi Tafsir Kebahasaan Masa Klasik
Secara kategoris , Jhon Wansbrough memetakan karya-karya tafsir yang muncul pada era klasik  menjadi lima jenis. Pertama : tafsir naratif, yakni tafsir yang penjelasannya disertai ulasan disekitar konteks turunnya ayat, contoh tafsir model ini adalah tafsir karya Sulaiman ibn Maqatil. Kedua : tafsir legal, yaitu tafsir yang sangat kental dengan nuansa  hukumnya . tafsir karya sulaiman ini juga merupakan cfontoh yang baik bagi model tafsir jenis ini. ketiga : tafsir tekstual, yaitu tafsir yang lebih focus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat Al-Quran. Contohnya adalah tafsir Ma’ani Al-Quran karya al-Farra’. Tafsir ini lebih berusaha menjelaskan berbagai problem gramtika dan tekstual Al-Quran. Keempat : tafsir retorik : yaitu tafsir yang lebih menonjolkan uraian tentang retorika dan sastra Al-Quran, seperti tafsir Majaz Al-Quran karya Abu Ubaidah. Kelima : tafsir alegoris, yaitu tafsir yang mengungkap makna simbolik Al-Quran. Tafsir sufistik karya at-Tustari , merupakan contoh yang baik bagi jenis tafsir alegoris.[18]
Dari klasifikasi Jhon Wonsbrough dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam tafsir teoritis adalah jenis ketiga dan keempat, yaitu Tafsir Tekstual dan Tafsir Retorik.
3.1.1    Sumber Penafsiran
 Al-Quran yang diturunkan dengan bahasa Arab sebagai media komunikasi tuhan dengan manusia mendapatkan perhatian dari kaum muslim Arab pada masa itu. Bapak tafsir, Ibn Abbas dengan kecerdasan dan wawasan bahasa Arab yang mumpuni mencoba meneliti kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada sya’ir jahiliah untuk mendapatkan makna asli. Sehingga dalam al-Risalah karya Syafi’I sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher  berhasil merampungkan sekitar dua rastus kosa kata dan menemukan arti etimologis-nya. Penjelasan dua ratus kosa kata Gharib  dalam Al-Quran tidak serta merta berdasarkan Syai’r jahili semata namun sumber dari hadis Nabi dan penelitian filologis Kibar Sahabat dimanfaatkan oleh Ibn Abbas dalam merumuskan dan menjelaskan arti kosa kata yang Gharib (asing) atas permintaan Nafi’ bin al- Azraq. Demikian pula Ibn Abbas menukil dari filolog buku-buku pra-islam yaitu Abu al-Jald Mukahdraman dan wawasan dari Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam, muallaf dari agama Yahudi.[19]
Perluasan kekuasaan islam pada masa awal islam yang meliputi bangsa Arab maupun non-Arab mengakibatkan pengetahuan akan bahasa Arab menjelma menjadi sebuah kebutuhan dan niscaya. Al-Quran yang merupakan sumber primer kaum muslim  dan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran menjadikan keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Sehingga tidak mengherankan ketika kamus Al-Quran menjamur pada dinasti Umawiyyah dan Abbasiah sebagai buku pedoman bangsa Arab dan non-Arab dalam memahami Al-Quran. Begitu pula Konsep I’jaz Al-Quran memotivasi para sarjana klasik memberi penjelasan hakikat kemukjizatan Al-Quran sehingga upaya yang mereka kerahkan dapat melahirkan sekian teori-teori bahasa dan sastra yang kemudian berimplikasi kuat terhadap perkembangan ilmu balaghah dan dikukuhkan sebagai disiplin ilmu yang independen.
3.1.2    Metode penafsiran
Metodologi penafsiran dengan pendekatan kebahasaan baik oleh ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin secara umum bersifat deduktif-analitik. Deduktif berarti menafsirkan teks Al-Quran dengan berupaya merincikan makna asli (exact meaning) kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada pemakaian bahasa bangsa Arab pada masa Al-Quran diturunkan dengan pendekatan filologi terhadap syi’ir jahiliah dan bahasa Arab kuno. Analitik berarti menafsirkan Al-Quran dengan cara atomistik, parsial dan terpisah-pisah sesuai dengan urutan ayat Al-Quran dalam mushaf utsmani. Pada perkembangannya corak penafsiran kebahasaan jenis ini menyesaki Al-Quran dengan kaidah-kaidah kebahasan dari segi gramatikalnya sehingga oleh Muhammad ‘Abduh dikritik dengan mengatakan bahwa analisis I’rab Al-Quran pada penafsiran kebahasaan islam klasik tidak layak disebut sebagai tafsir tetapi sebagai ajang latihan disiplin ilmu gramatikal Arab terhadap Al-Quran.[20]
Pada perkembangan selanjutnya, para gramatikus yang bergelut dengan penafsiran Al-Quran merumuskan beberapa kaidah dengan pendekatan kebahasaan sebagai berikut : (1) redaksi yang bersifat umum mengandung pengertian umum yang sepadan (2) alif-lam pada kata sifat dan ism al-jins menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya (3) an-nakirah dalam konteks an-nahy, an-nafy, as-syarah atau al-istifham menunjuk pada pengertian umum.(4) al-Mudhaf (kata kepunyaan) juga menunjuk pada pengertian umum sebagai ism al-jam’I (5) ism yang disebutkan secara tersendiri menunjuk pada pengertian sefcara umum. (6) peniadaan objek kalimat yang menunjuk pada pengertian umum yang sepadan. (7) jawab as-Syart yang tidak disebutkan dalam ayat menunjukkan penting atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.[21]
penafsiran retoris masa klasik merupakan benih perkembangan tafsir sastra pada masa kontemporer. Konsep majaz yang digagas oleh Abu Ubaidillah berangkat dari perkenalan akut para sarjana klasik dalam memhami doktrin I’jaz Al-Quran dari aspek retorika dan keindahan bahasanya. Yang kemudian  melahirkan teori Metafora (Isti’arah), seni perbandingan ( Tasybih), parabel (Matsal) dan metonisme (kinayah) yang merupakan bentuk-bentuk Majaz. Dan kemudian teori konstruksi teks (Nadzm) yang dirintis oleh al-Jahidz dan dilanjutkan oleh al-Jurjani dalam “ Dala’il al-Ijaz” nya dan diaplikasikan secara praksis terhadap teks Alqran oleh al-Zamakhsyari dalam “al-Kassyaf” dan Said Nursi dalam “ Isyarat al-I’jaz fi madzanni al-Ijaz” sehingga bisa disimpulkan bahwa teori Majaz dan Nadzm merupakan elemen-elemen formatif tafsir teoritis sebagaimana Nur Khalis Setiawan kisahkan.
Majaz yang diartikan sebagai lawan dari haqiqah, [22]sebagaimana dipahami oleh Al-Jahidz yang kemudian dikembangkan Van Ess dengan pengertian sebagai : sesuatu yang melampaui batas-batas leksikal[23] mengindikasikan bahwa penafsiran progresif dan non-tekstual dapat ditemukan pada penafsiran sarjana islam klasik terlebih pada literautur Mu’tazilah. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa metodologi tafsir retoris menggunakan teori-teori sastra klasik dalam menyibak keindahan bahasa Al-Quran meskipun secara umum masih menggunakan metode deduktif-analitik dari penafsiran yang mereka suguhkan.
3.1.3.   Validitas Penafisran
Dalam ilmu semantik kontemporer makna dapat diklasifikasikan dengan makna dasar ( Grundbedutung) dan makna relasional (relational Bedeutung). Makna dasar yang dimaksud disini adalah kandungan kontekstual dari kosa kata yang akan tetap melekat pada kata tersebut, meskipun kata tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat.  Sementara makna relasional adalah makna konotatif, yang dalam prakteknya, sangat bergantung kepada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat.[24] Menyoal validitas penafsiran teoritis dengan pendekatan kebahasaan dalam Al-Quran sejatinya keabsahan sebuah penafsiran jika penafsiran tersebut sesuai dengan makna asli (exact meaning) atau makna dasar bahasa Arab ketika Al-Quran diturunkan. Begitu pula validitas penafsiran teoritis dengan pendekatan sastra apabila sebuah penafsiran sesuai atau adanya keterkaitan (aspek relasional) dengan makna dasar.
Adapun kaidah-kaidah dengan pendekatan kebahasaan yang dirumuskan oleh para sarjana klasik mendapat legitimasi dari otoritas ahli bahasa dan para penafsir dengan menyatakan bahwa standar validitas penafsiran juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diformasikan pada masa klasik agar terhindar dari penafsiran liar yang tidak terikat dengan batas-batas leksial teks Al-Quran.
Dalam kajian epistomologi, dikenal tiga teori kebenaran yang kerap dijadikan sebagai acuan kebenaran, yaitu (1) teori kebenaran korespondensi (2) teori kebenaran koherensi, dan (3) teori kebenaran pragmatik. Kembali pada validitas penafsiran teoritis klasik sejatinya menganut teori kebenaran korespondensi. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalm pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.[25] Berangkat dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa validitas sebuah penafsiran apabila berkorespondensi dengan makna dasar bahasa Arab.
3.1.4.   Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik penafsiran teoritis klasik diantaranya adalah (1) minimnya budaya kritis (2) penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na ijmali ( pengertian kosa kata secara global)(3) posisi teks sebagai subjek dan Mufassir sebagai objek. Tujuan penafsiran relatif pada tataran sekedar memahami makna dan belum sampai ke dataran Maghza. [26]Sehingga bisa disimpulkan bahwa penafsiran teoritis masa klasik dijadikan sebgai sebuah medium untuk memahami makna Al-Quran, terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa dengan lidah Arab.
3.2.      Epistomologi Tafsir Kesusasteraan Masa Modern
3.2.1    Sumber Penafsiran
Muhammad ‘Abduh yang juga merupakan representator penafsir modern dengan corak adab-ijtima’I ( corak sastra dan sosial), Muhammad ‘Abduh menegaskan bahwa sebaik-baik sumber penafsiran dalam memahami term Al-Quran adalah kembali kepada Al-Quran itu sendiri dengan bahasa Arab ketika diturunkan dan mengkritik upaya memahami makna teks dengan merujuk pada term agama-agama samawi yang memiliki jarak waktu yang berabad-abad.[27] Disamping itu sumber penafsiran lainnya adalah perangkat-perangkat interpretasi tradisional ( ilm al-ma’ani dan al-bayan atau lebih dikenal dengan Stilistika ) untuk mebuka makna teks.[28]dan menjadikan akal sebagai otoritas mendasar dalam interpretasi Al-Quran.[29] Ilmu tentang kondisi-kondisi manusia yang juga dikenal dengan sosiologi dan pendekatan historis terhadap ruang lingkup Al-Quran diturunkan mendapat perhatian oleh Muhammad ‘Abduh.[30] sehingga dengan bahasa Nash Hamid, Muhammad ‘Abduh telah menyatukan apa yang berasal dari tradisi (turats) dengan ilmu-ilmu modern dalam upayanya memberikan respon terhadap tantangan yang dilontarkan pada nalar muslim yang menganggap Al-Quran sebagai rujukan utamanya. Oleh karena itu tindak interpretasi yang dilakukan oleh ‘‘Abduh bertumpu pada otoritas bahasa dan otoritas pengetahuan modern [31]di dalam suatu bangunan metodologis yang cermat  yang sedemikian besar sejalan dengan langkah-langkah metode yang akan dijelaskan pada pada metode penafsiran kesusasteraan masa modern.
3.2.2    Metode Penafsiran
Dari hasil penelitian J.J.G. Jansen aliran penafsiran ala Mesir pada masa modern mengatakan bahwa corak penafsiran di Mesir sejak munculnya Muhammad ‘Abduh dapat diklasifikan pada tiga bagian (1) philological exegesis : penafsiran literal terhadap teks (2) Practical Exegesis : signifikansi teks Al-Quran terhadap perbuatan manusia, dan (3) Scientific Exegesis : signifikansi teks Al-Quran terhadap ilmu pengetahuan.[32]  Menelisik tafsir Muhammad ‘Abduh dapat dikatakan bahwa dari ketiga aspek ini ditemukan dalam penafsirannya lebih kental dengan philological exegesis sebagai sarana untuk mencapai petunjuk Al-Quran.
Metode bahasa yang sastra yang dirumuskan oleh Muhammad ‘Abduh’ untuk mendapatkan Hidayah sebagai tujuan penafsiran diformulasikan ke dalam langkah-langkah berikut[33] :
1. memahami data-data kosakata yang ada dalm Al-Quran menurut makna umumnya sebgaimana yang berlaku ketika diturunkan. Memahami kosakata-kosakata tersebut sedemikian rupa sehingga mufassir teresebut dapat mewujudkan hal itu melalui pemakaian-pemakaian ahli bahasa, tidak cukup mengikuti pendapat dan pemahaman si penafsir, sebab banyak kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan dengan berbagai makna, kemudian makna-makna itu lebih dominan daripada yang lainnya dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam langkah ini tampak jelas bahwa Muhammad ‘Abduh menolak proses memaksakan makna yang berasal dari masa kini terhadap masa lalu sebagai akibat tidak diperhatikannya makna kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan. Pola pemaksaan ini menjadi umum saat ini dan tampak jelas dalam banyak buku tafsi r kontemporer. Barangkali yang paling mencolok dan nyata adalah tafsir yang disebut dengan tafsir ‘ilmy terhadap Al-Quran.
2. setelah memahami makna dari kosakata-kosakata dalam konteks pemakaian kebahasaannya, langkah berikutnya adalah memahami stilistika. Dalam hal ini diperlukan ilmu I’rab dan ilmu stilistika (Ma’ani dan al-Bayan ).
3. langkah ketiga dalam metode ini adalah “ ilmu mengenai kondisi-kondisi manusia.” Sebab orang yang meneliti kitab ini (Al-Quran) mesti mempertimbangkan kondisi-kondisi manusia dengan perbagai perkembangan mereka, faktor-faktor yang menyebabkan kondisi mereka berbeda-beda ; ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah ketiga  ; ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah ketiga atau derivasi darinya, sebab pengetahuan mengenai kondisi-kondisi manusia termasuk di dalamnya adalah kondisi yang melekat pada masyarakat Arab dan lainnya pada era keNabian. Bagaimana mungkin sang mufassir dapat memahami dengan semestinya kebiasaan-kebiasaan mereka yang dinilai negative oleh ayat-ayat Al-Quran, atau yang mendekati negative jika ia tidak mengetahui kondisi-kondisi mereka dan apa saja yang ada pada mereka.
5. langkah kelima jga dapat dianggap sebagai rangkaian dari langkah keempat. Pengetahuan tentang kondisi masyarakat Arab dan laiinya ada era keNabian termasuk pula di sini “ pengetahuan mengenai perjalanan hidup Nabi SAW. dan sahabat-sahabtnya, serta pengetahuan dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan duniai dan ukhrawi yang mereka jalankan.
Langkah-langkah yang dirumuskan oleh ‘‘Abduh sebagai metode tafsir, menurut Nashr Hamid Abu Zaid berkaitan erat dengan dua otoritas yang berdampingan: bahasa dalam konteks sejarah karena bahasa berlaku pada era turunya wahyu, dan dunia, bahasa berfungsi sebagai hukum yang menggerakkan dunia baik secara alamiah maupun sosial dalam proses kesejarahannya. Teks di sini dalam pemahaman Muhammad ‘Abduh secara implicit, melalui langkah-langkah metodologisnya, merupakan struktur bahasa yang bermakna dalam konteks sosial-historis, tidak terlapas, pada saat yang sama, dari kemampuannya memproduksi makna di luar bingkai konteks tersebut.[34]
3.2.3.   Validitas Penafsiran
Dari pemetaan metodologis Muhammad ‘Abduh oleh  Nashr Hamid Abu Zaid kedalam dua otoritas yang saling terkait, yaitu teks dan dunia. Maka dapat disimpulkan bahwa Muhammad ‘Abduh menganut teori kebenaran Korespondensi yaitu adanya kesesuaian hasil penafsiran dengan makna asli Al-Quran ketika diturunkan dan teori pragmatis. Teori pragmatis penafsiran mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praksis mempu memberikan solusi praksis bagi problem sosial yang muncul. Dengan kata lain, penafsiran itu tidak diukur dengan teori  atau penafsiran lain, tetapi diukur sejauh mana ia dapat memberikan solusi atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini. berangkat dari semangat tujuan Al-Quran sebagai petunjuk kepada manusia membuat Muhammad ‘Abduh menyajikan tafsirnya sesuai dengan kebutuhan zaman (need of  the times/ hajat al-ashr).[35]
3.2.4.   Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Tafsir Muhammad ‘Abduh mengkritisi penafsiran dengan menggunakan dan memusatkan suatu pendekatan dan mengabaikan pendekatan-pendekatan lainnya. Hal itu Nampak jelas dari kritikan penafsiran yang disesaki dengan data-data I’rab Al-Quran yang kemudian mengaburkan petunjuk Al-Quran yang diimani kaum muslim sebagai pedoman primer.[36] Corak penafsiran Muhammad ‘Abduh seringkali disebut dengan tafsir sosial yang bernuansa sastrawi. Sebagaimana disinggung diatas bahwa tujuan penafsiran Muhammad ‘Abduh adalah sebagai kitab petunjuk yang darinya manusia mendapatkan hidayah. Dari sisi lain sarana yang mengantarkan pada tujuan asas Al-Quran adalah metode bahasa yang sastra.[37]
3.3.      Epistomologi Penafsiran Kesusasteraan Masa Kontemporer
3.3.1    Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran kesusasteraan masa kontemporer dihasilkan dari teks Al-Quran sendiri. Amin al-Khuli menegaskan bahwa analisis kebahasaan kosa kata Al-Quran dapat diklasifikasikan dan disibak makna asalnya dari dua poin yaitu dari sisi etimologis dan dari pengertian atau term Al-Quran itu sendiri.[38] Begitu pula upaya Al-Khuli dalam menafsirkan Al-Quran menempatkan dan memberikan derajat lebih tinggi kepada akal atas sebuah teks.[39]dengan memberikan peluang besar terhadap teori-teori sastra dan filsafat bahasa modern yang kemudian difilterisasi dan diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam hal ini al-Khuli memberikan perhatian besar terhadap literature klasik dan modern dalam merumuskan konstruk metodologinya dalam penafsiran sastra Al-Quran. Sumber penafisran murid-murid al-Khuli semisal Ahmad Khalafullah dan Ai’syah bintu Syati’ menjadi makmum atas guru-gurunya yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid yang menjadikan realitas sebagai sumber penafsiran.
3.3.2.   Metode Penafsiran
Amin al-Khuli merupakan pelopor wacana tafsir sastra Al-Quran pada abad dua puluh.  Keseriusan al-Khuli dalam mengkaji Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan penting yang berbicara tentang bahasa sastra dan kritik sastra dalam karnya fi adab al-Mishri dan Fannal-Qawl. Interaksi al-Khuli dengan Al-Quran dalam memahami maknanya, mencoba menganalisis Al-Quran dan mendudukkan sebagai sebuah teks Arab teragung dan terbesar yang pernah ada. Kemudian dianalisis secara tematis. Kajian al-Khuli terhadap Al-Quran mengedepankan dua prinsip metodologis yaitu : studi sekitar Al-Quran (dirasah ma haula Al-Quran) dan studi tentang teks itu sendiri  (dirasah fi Al-Quran nafsih). Kajian pertama diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Quran, dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, beserta kodifikasi dan variasi cara baca : sebagai sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan ‘ Ulumul Quran. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosio-historis Al-Quran termasuk didalamnya situasi intelektual, Kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika Al-Quran diturunkan.[40] Kajian ini secara umum berujung pada : (1) kajian teks, filologis, dan penjelasan tentang sejarah perkembangannya. (2) penjelasan mengenai latar belakang tempat Al-Quran muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana perkembangan makna-maknanya.[41] Selanjutnya kajian kedua pada studi tentang teks Al-Quran dari berbagai segi. (1) Ia mengawali dengan investigasi terhadap kosa kata inividua Al-Quran (mufradat, semenjak pertama diwahyukan, perkembangan, serta pemakaiannyadalam Al-Quran, agar kata-kata tersebut dapat dipahami secara totalitas (2) kemudian diikuti dengan perhatian sepenuhnya terhadap kata-kata majemuk (murakkabah), yang tentunya analisis tersebut didasarkan  pada pengetahuan tentang gramatik dan balaghah.[42]
Menarik untuk dielaborasi lebih lanjut pemikiran Amin al-Khuli dalam tafsir Al-Quran, al-Khuli mencoba mengaitkan balaghah dan ilmu jiwa sehingga memungkinkan adanya kemukjizatan Al-Quran secara psikologis. Al-Khuli mengakui adanya kebutuhan untuk mengetahui tafsir psikologis terhadap Al-Quran. Tafsir ini didasarkan pada pengetahuan yang komprehensif dan sejauh mungkin terhadap rahasia-rahasia gerak-gerak jiwa manusia sebagaimana yang diketahui kajian ilmu ini. Tafsir Psikologis Al-Quran menurut al-Kuhli adalah tafsir Al-Quran yang didasarkan pada upaya menangkap hal-hal yang dipergunakan oleh Al-Quran, yaitu gejala-gejala jiwa, dan hukum-hukum spritualitas. Sehingga penjelasan Al-Quran dapat diketahui  apakah dalam rangka berargumentasi, memberikan petunjuk, mencoba meyakinkan atau mendebat, membangkitkan atau mengancam.[43]
Proyek Metodologi yang dikembangkan al-Khuli memiliki kemiripan dengan proyek hermenutika Schleiermacher, kendati tidak ditemukan dalam karyanya deretan nama filosof dan sastrawan barat, tapi ada dugaan kuat al-Khuli telah berkenalan dengan pemikiran Schleiermacher ketia ia menetap di eropa yaitu di italia dan Jerman selama 4 tahun. Begitu pula al-Khuli menguasai dua bahasa tersebut.[44]
Ahmad Khalafullah, sarjana konvensional yang menganggap teks-teks kisah sebagai bagian dari teks ambigu ( mutasyabihat) merupakan elaborasi dari metode adabi dan maudhu’i yang ditawarkan oleh al-Khuli. Bukti dari statemen ini adalah pengakuan Khalaf sendiri dalam pendahuluan, disamping cara kerja yang ditempuh yang sama persis dengan yang dikehendaki al-Khuli. Cara kerja yang dtempuh Khalafullah diantaranya adalah mengumpulkan teks-teks yang berbicara tentang kisah, kemudian mengurutkan sesuai kronologi turunnya (tartib al-nuzul) dan disusun dengan member pemaknaan terhadap teks tersebut melalui jalur adabi (susastera).[45]
Selain Khalafullah yang mengadopsi metode al-Khuli. Bintu Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w 2000) yang bertindak sebagai murid juga istri setia al-Khuli menerapkan prinsip metodologis al-Khuli dalam memahami Al-Quran dalam tafsirnya “al-tafsir al-bayani li Al-Quran al-Karim” yaitu dengan membiarkan Al-Quran berbicara tentang dirinya, karena, dalam teks Al-Quran, teks salin menjelaskan satu sama lain. Pembebasan terhadap Al-Quran ini bukan berarti memahami teks tanpa menggunakan perangkat, akan tetapi, setelah pertautan antara suatu teks dengan teks lainnya diketahui, maka cara yang kemudian dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra dengan medan-medan semantik yang jelas. Dalam pengantar tafsir Bintu Syati’ setidaknya memberikan 2 elemen  dan langkah teoritis penting dalam metode tafsir yang ditawarkannya. (1) penelitian terhadap makna leksikal kosa kata Al-Quran yang kemudian di jadikan  sebagai sarana untuk mengetahui makna yang dikehendaki dalam konteks pembicaraan ayat. (2) perlibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “ kesempatan” agar Al-Quran berbicara mengenai dirinya sendiri.[46]
Sarjana ketiga yang mengikuti sekaligus menopang metdoe susastra adalah Syukri Ayyad. Ia menulis buku berjudul al-Din wa al-Hisab : Dirasah Qur’aniyyah. Sembari menggunakan metode analisis susastera yang dikembangkan oleh al-Khuli, Ayyad berpendapat bahwa persoalan eskatologis yang ada dalam Al-Quran merupakan symbol keagamaan dalam kemasan susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.prinsip metedologis Ayyad dalam tafsirnya adalah (1) investigasi terhadap makna literal kosa kata Al-Quran dengan perhatian khusus pada asal kata, perkembangan, serta pemakaiannyadalam masyarakat pada saat Al-Quran diturunkan. (2) meneliti gaya tutur Al-Quran melalui stilistik dan mikro struktur dalam kalimat. Sedangkan yang (3) adalah meneliti aspek sosial dan cultural Arab, terutama saat teks diturunkan. Ketiga langkah tersebut dalam penelitian Ayyad, menghasilkan kesiimpulan bahwa eskatologi Al-Quran bisa dipilah menjadi tiga model (1) penghadapan langsung (al-tawjih) (2) ilustratif (al-tashwir) (3) menggunakan situasi dan kondisi yang berlawanan, seperti surga versus neraka.[47]
Nashr Hamid Abu Zaid merupakan generasi al-Khuli yang produktif dan bahkan gigih mengembangkan metode kesusasteraan dalam kajian Al-Quran. Abu Zaid mengawali dengan penetapan hubungan atau ralasi antara teks dan interpretasi. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, teori interpretasi  tidak bisa dipisahkan dari teori teks.dalam diskursus interpretasi klasik, keduanya dipisahkan, mengingat teks diyakini sebagai kepastian religious yang tidak membutuhkan interpretasi atau ta’wil, sementara yang kedua, yakni ta’wil, dianggap sebagai teks dalam pengertian aslinya dengan menolak teori tradisional tentangnya sebagai teks tertutup, sebaliknya, menjadikannya sebagai teks terbuka yang menuntut adanya interpretasi.” Ta’wil merupakan sisi lain dari teks” statemen abu Zaid ini berada pada level epistomologis, seperti diungkapkan Abu Zaid di beberapa kesempatan : “ teks memiliki eksistensi, bebas dari interpretasi dan komentari”. Statemen ini selayaknya dipahami bahwa teks menggiring kepada aktivitas interpretasi untuk menemukan dunianya.[48]
Abu zaid banyak berbicara tentang “interpretasi objektif” meski dalam kenyataannya sangat sulit, yang ia sebut dengan ta’wil sebagai pembanding interpretasi ideologis atau yang ia sebut dengan talwin. Diskusi tentang interpretasi obyektif sebagai cita-cita , sejatinya tidak bisa dipisahkan dari dua mazhab besar teori interpretasi, yakni hermeneutik. Yang pertama adalah mazhab obyektif yang diusulkan oleh beberapa sarjana seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Emilio Betti, dan ED. Hirsch. Sedangkan yang kedua adalah mazhab subyektif yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikran Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer.[49]pemetaan hermeneutika dapa pula diklasifikasikan sebagai hermenutical theory yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang (author0 dan hermeneutical philosophy yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. [50]Abu Zaid menggabungkan dua model hermeneutika  ini, meski terlihat pengaruh mazhab obyektif lebih besar ketimbang subyektif. Berkaitan dengan takwil sebagai pembacaan kreatif atas teks diharapkan mampu melahirkan pemahaman obyektif, Abu Zaid memisahkan antara “makna” (al-ma’na) dengan “signifikansi (al-Maghza). Pemisahan keduanya tidak pula bisa dipisahkan dari pemikiran Hirsch, yang pernah mengatakan “ bukan makna yang berubah tapi signifikansinya.[51]
Dari penjabaran tokoh-tokoh kontemporer yang mencoba mendekati Al-Quran dengan metode sastra dapat disimpulkan bahwa prinsip metodologis lebih bersifat interdispliner, mulai dari tematik, hermeneutik, hingga linguistik dengan pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, historis, semantik dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir.[52] Teori hermeneutika yang mereka kembangkan adalah hermeneutika teoritis yang berisi cara untuk memahami. Dalam teori hermeneutika ini merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teoritis. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermeneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti  bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis dan sintaksis, perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal? Untuk tujuan apa. Dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangya ketika teks tersebut disusun? Dan lain sebagainya.[53]
            3.3.3    Validitas Penafsiran
Terkait dengan validitas penafsiran, tafsir teoritis masa kontemporer menganut tiga teori kebenaran yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme. Pertama : teori koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap benar apabila ia sesuai dengan proporsi-proporsi sebelumnya dan konsisten menerapkan metodologi yang dibangun oleh setiap penafsir.[54] Menelisik prinsip metodologis dan aplikasi metode dalam tataran praksis oleh Amin al-Khuli beserta murid-muridnya, sangat boleh dikatakan bahwa mereka konsisten menerapkan metode sastra atau tafsir sastra dalam mendekati Al-Quran yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam menghadapi kegelisahan-kegilsahan kaum muslim dewasa ini. kedua : teori korespondensi : seperti yang telah dijelaskan defenisinya diatas bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia berkorespondensi, sesuai dan cocok dengan fakta ilmiah di lapangan.[55]para penafsir sastra Al-Quran menganut teori ini lantaran mereka sangat mengindahkan ojektivitas penafsiran yang diukur oleh adanya kesesuaian antara hasil penafsiran dengan makna dasar ketika Al-Quran diturunkan dengan menggunakan pendekatan historis dan filologi. Ketiga : teori Pragmatisme : teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi prkasis bagi problem sosial yang muncul.[56] Mengevaluasi tujuan penafsiran Tokoh-tokoh tafsir sastra kontemporer adalah al-bayan (pengantar sastra) sebagai pembaharuan terhadap teori interpretasi para sarjana klasik yang kerap dikacaukan dengan pengkaburan makna dasar teks oleh tafsir afirmatif. Tujuan penafsiran Amin al-Khuli mencoba memurnikan nalar bayani dengan pendekatan teori-teori sastra modern.
3.3.4    Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik dasar dari penafsiran sastra kontemporer bersifat kritis. Amin al-Khuli menyatakan bahwa awal pembaharuan  adalah membunuh pemahaman lama ( awwal  al-tajdid qatl  al-qadim fahman), transformatif, solutif dan non ideologis[57]. Jika Tujuan dari interpretasi Muhammad ‘‘Abduh adalah semangat mendapat petunjuk dari Al-Quran maka tujuan paling awal dan mendasarbagi proses bagi Amin al-Khuli adalh “ al-Bayan” sebab tujuan inilah yang : darinya muncul berbagai tujuan lainnya dan yang mendasari berbagai tujuan tersebut ( dan di  antaranya adalah tujuan mendapatkan hidayah menurut  Muhammad ‘‘Abduh). tujuan ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan tujuan manapun lainnya, apakah itu tujuan lain tersebut bersifat ilmiah atau praktis, keagamaan dan duniawi. 
4. Epilog
Dalam khazanah ilmu tafsir ditemukan dua term yang sangat akrab bagi pengkaji tafsir, yakni : Tafsir dan Ta’wil. Istilah tafsir lebih dikenal sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Sedangkan Ta’wil lebih pada penemuan makna dari teks yang bersifat metaforis. Ta’wil dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu : Pertama : ta’wil atau penafsiran yang melewati batas-batas leksikal dan adanya keterkaitan dengan makna dasar. Penafsiran jenis ini kerap digunakan dalam tafsir retoris dan sastra Al-Quran. Kedua : ta’wil atau penafsiran yang melampaui batas-batas leksikal tanpa ada keterhubungan dari segi bahasa dengan makna dasar. Metode ta’wil jenis ini dapat dijumpai dalam tafsir sufistik.
Metode tafsir dan ta’wil jenis pertama dikategeorikan dalam nalar bayani. Sedangkan metode Ta’wil jenis kedua dikategorikan sebagai metode nalar Irfani. Aplikasi sebuah nalar dalam tahap hegemoni dan mendominasi mengakibatkan fanatisme-reduksionis dan otoritas tertinggi yang menjadi tujuan penafsiran. Pendekatan at-Ta’wil al-‘Ilmi yang merupakan tawaran solutif Amin Abdullah terhadap kegelisahan intelektual dengan menjadikan pendekatan al-Ta’wil al-Ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguh-sungguh antara paradigma epistemologi Bayani, paradigma epistemologi Burhani dan paradigma epistemologi ‘Irfani dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma, khususnya jika masing-masing paradigma berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara yang satu dan lainnya. Pesan kemanusian dan keadilan yang melekat dalam al-Qur’an yang sering disebut dengan istilah rahmatan li al-alamin (universal) hanya dapat dipahami dengan baik jika para penafsir kitab suci kontemporer memahami adanya tiga paradigma epistemologi pemikiran keislaman dan mampu mendialogkan secara kritis-dinamis-proporsional baik secara pribadi maupun kelompok sehingga ekslusivitas pemikiran (ideas; thought) dan kelembagaan sosial-keagamaan (institution) dapat dihindari sedapat mungkin dan kerjasama atau cooperation antar berbagai kelompok sosial keagamaan menjadi niscaya tanpa harus mendahulukan prejudice-prejudice kultural, sosial maupun keagamaan. Hanya dengan demikian, barangkali apa yang disebut transformasi sosial dan humanisasi ilmu-ilmu keislaman lewat penafsiran dan pemaknaan pesan-pesan kitab suci yang bersifat emansipatoris dapat teraktualisasikan baik secara teori maupun praksis.[58]





[1] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.129-130
[2] Ibid, hlm.132
[3] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm. 88-89
[4] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.133
[5] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm.94-95
[6] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[7] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.137
[8] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[9] . Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.138-139
[10] ibid
[11] Ibid. hlm. 143-146
[12] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm. 873-874
[13] Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’an (Kairo: tp., 1326), hlm. 10
[14] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.874
[15] ibid
[16] Ibid, hlm. 875
[17]J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[18] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm.44
[19]Fuat Sazgin, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[20] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[21] Drs. H. Ahmad Izzan,Mag, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung : Tafakur, 2011) hlm.127-144
[22] Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.180
[23] Ibid, hlm.184
[24][24] Ibid, hlm. 166
[25] J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[26] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 45
[27]Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.9
[28] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm.130
[29] Ibid, hlm.133
[30] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.10-11
[31] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm. 314
[32] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm. 96
[33] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm.127-129
[34] Ibid, hlm.129-130
[35] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm.30
[36] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[37] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm127
[38] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.893
[39] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.114
[40] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.12
[41] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm71          
[42] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.14
[43] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm77-78
[44] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.
[45] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm. 32
                    
[46] Ibid, hlm.36-37
[47] Ibid, hlm. 40-41
[48] Ibid, hlm.42-43
[49] Ibid, hlm. 45-46
[50] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 7
[51] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.46
[52] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 84
[53] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 8
[54] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 83
[55] Ibid
[56] Ibid
[57]Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 84
[58] Amin Abdullah, prolog dalam Dekonstruksi Pemahaman Teks Kitab Suci Agama ( Yogyakarta : Pustaka Rihlah, 2008) hlm. 1-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar