Minggu, 18 November 2012

Al-Qur`an Berbica Bencana Alam



Akhir-kahir ini, alam (bumi dan langit) kembali lagi “kurang bersahabat” dengan tanar air Indonesia. Dua kejadian alam yang luar biasa menggoncang bumi pertiwi. Gempa dibarengi Tsunami di Mentawai, Sumatra Barat, dan Letusan gunung merapi di Sleman, Jogjakarta. Gempa berkekuatan 7,2 skala Richter pada Senin (25/10) pukul 21.42 tersebut menelan korban, menurut terakhir Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdal Ops PB), sekitar 413 orang tewas, korban luka berat sebanyak 267 orang, dan luka ringan 142 orang. Sedangkan letusan gunung merapi terjadi pukul 17.05 WIB, Selasa 26 Oktober, dengan awan panas membumihanguskan perkampungan sekitar merapi, dan meregguk nyawa dua puluh tujuh orang. Pastinya, keduanya menyebabkan ribuan pengungsi yang kehilangan tempat tinggal. Betapa perihnya nasib para korban!
Menanggapai bencana alam di atas, bisa dilihat dari dua sudut pandang berbeda: sudut pandang teologis dan non-teoligis. Yang pertama tentu akan melihat dengan pandangan agama bahwasanya bencana alam atau musibah bisa saja berupa cobaan, peringatan ataupun laknat (murka Allah). Sedangkan dalam perspektif non-teologis (natural) akan lebih menitikberatkan pada hukum kausal sebagai gejala alam. Dalam hal itu, disebabkan oleh adanya kesalahan dan penyebab yang alami sehingga terjadi gempa ataupun letusan gunung. Misalanya gesekan ataupun perubahan gerak bumi.
 Al-Qur`an sebagai kitab suci dan pegangan hidup umat manusia, khususnya umat Islam, telah membicarakan persoalan tersebut. Bencana alam berupa gempa dan letusan gunung sudah dipaparkan secara global. Bahwa pada dasarnya, alam (bumi dan langit beserta isinya) adalah diciptakan untuk melayani manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, pada saat yang sama manusia dan alam adalah sama kedudukannya di hadapan yang Maha Pencipta. Tunduk dalam penyembahan dan semunya bertasbih kepada-Nya (QS. Al-Isra: 44). Dengan demikian, meski, pada awalnya, alam ini diciptakan untuk melayani manusia, tapi tidak berarti manusia bisa berlaku sewenang-wenang kepadanya. Atau manusia merasa sebagai tuan yang berkuasa. Sehingga melakukan penebangan hutang seenaknya. Yang kemudian menyebabkan banjir bandang bahkan tsunami, sebagaimana yang lagi terjadi di Mentawai.
Begitupula dengan letusan gunung Merapi. Pada dasarnya, Tuhan telah menciptkan gunung sebagi tiang (pasak) bumi (QS. An-Naba: 7), untuk menjaga keseimbangannya. Sehingga manusia merasa aman dan tidak merasakan putaran bumi. Namun, pada saat tertentu, gunung tersebut “bernapas” dan mengoncang bumi disaat merasa “jengkel” dengan tingkah laku manusia. Olehnya, agama senantiasa memberikan peringatan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum:41). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa kerusakan di muka bumi ini (darat dan laut) adalah hasil ulah tangan manusia. Pemahaman “ulah tangan manusia” di sini sangat luas. Penggunaan kata “tangan” pun dalam ilmu tafsir al-Qur`an bervariasi. Tangan bisa diartikan tangan secara harfiah, dalam hal ini ‘tangan’ yang melakukan penebangan hutang sembarangan dsb, juga bisa berarti ‘tangan’ adalah kekuasan dan otoritas. Sehingga lebih mensinyalir kepada pemerintah yang tidak adil, wakil rakyat yang tidak merakyat, dan para pejabat yang koruptor. Pendek kata, kerusakan yang disebakan oleh “tangan-tangan” manusia akan berdampak pada kemurkahan Tuhan dan alam yang kurang bersabahat.
Kalaupun dikatakan bahwa bencana alam yang menimpa bumi Indonesia adalah karena sebab natural yang bersifat non-teologis. Hal itu juga tidak salah dalam pandangan ilmu bumi, bahwa gempa dan bencana disebakan oleh gesekan dan gerakan bumi. Namun, perlu disadari bahwa Tuhanlah yang menggerakkan semua sebab, Dialah sebab pertama. Pada saat yang sama, Tuhan selalu memberikan peringatan bahwa “janganlah kamu (manusia) berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan” Q.S al-Qashash: 77). Peringatan tersebut menandaskan bahwa manusia selalu terlibat aktif sebagai ‘sebab-sebab’ terjadinya kerusakan di muka bumi. Yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam menelan banyak korban.
Sehingga, untuk menyikapi dan mengantisipasi terjadinya bencana alam di Indonesia, yang sangat berperan penting adalah manusia Indonesia itu sendiri. Baik dari sudut pandang teologis maupun non-teologis, adalah sebuah keharusan untuk melestarikan alam. Hal itu dapat dipahami secara logika terbalik (mafhum mukhalafah) dari perintah Tuhan, melarang melakukan perusakan di bumi: maka tersirat keharusan melestarikannya. Melestrarikan alam bisa bersifat lahiriah seperti melestarikan hutang dan menghindari penggundulan gunung, dan tak kalah pentingnya adalah keharusan melesatrian alam di kantor-kantor pemerintahan, seperti membersihkan meja pejabat dari tangan-tangan serakah (koruptor). Karena yang pertama sebagai faktor non-teologis (sebab natural), dan yang kedua adalah lebih bersifat teologis, sebagai sebab tidak langsung.
 Untuk yang pertama saya kira pemerintah sudah melakukan upaya pencegahan melalui dengan UU Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Hanya saja dibutuhkan penyuluhan yang lebih aktif kepada rakyat tentang pentingnya menjaga lingkungan melalui slogan ‘Indonesia Berwawasan Lingkungan”. Sama dengan poin kedua, UU korupsi telah banyak dibahas di DPR, tapi nyatanya juga belum bisa membuat jerah para koruptor. Mungkin sebaiknya Indonesia perlu bercermin kepada China dan Singapura yang telah menerapkan hukuman mati secara nyata kepada koruptor. Kalau dalam al-Qur`an pencuri saja dihukum dengan potong tangan (QS. Al-Maidah: 38), maka para koruptor yang jauh lebih besar dampaknya terhadap negara pantas mendapat hukuman yang lebih berat lagi. Dan hukuman mati sebagai penjerahan adalah salah satunya.
Kembali kepada korban bencana alam. Apa yang melanda mereka adalah musibah. Musibah itu beda dengan penderitaan. Musibah adalah bersifat objektif: diluar kemampuan manusia. Sedangkan penderitaan adalah bersifat subjektif: sebuah pilihan manusia (Jalaluddin Rahmat: 2006). Saya tidak memandang kecil musibah yang menimpa mereka sehingga seakan-akan menafikan penderiataan tersebut. Tapi, saya hanya ingin mengajak mereka bersabar sebagaimana tuntunan al-Qur`an. (QS. Al-Baqarah: 155). Di samping itu, meratapi sebuah musibah bukanlah solusi, bahkan hal itu akan semakin membuat kita menderita. Dan tidak akan bangkit melihat kehidupan hari esok yang lebih cerah. Padahal al-Qur`an menganjurkan kepada umat manusia untuk tidak putus asa. Setelah kesulitan ada kemudahan janji Tuhan. Dan betapa banyak orang yang bangkit dan sukses dari sebuah musibah. Mereka menjadikan musibah itu sebagai motivasi untuk menyulut semangat hidup mereka.
Pada akhirnya, semoga saja bencana alam yang menimpa tanah air kita membuka pikiran, dan mengetuk hati umat manusia, bahwa disana ada Sang Penggerak segala sesuatu. Di balik bencana itu ada sebab-sebab natural (alamiyah) maupun teologis, yang selalu melibatkan manusia sebagai khalifah. Maka sebagai pengemban amanat dari Tuhan, maka seharusnya manusialah yang selalu menjaga dan melestarikan alam. Maka tepatlah pesan terakhrir Mbah Maridjan, juru kunci gunung Merapi yang setia mengemban pesan Sri Sultan Hamengku Bowono IX pada tahun 1982: Jangalah Lingkungan!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar