Akhir-kahir ini, alam (bumi dan
langit) kembali lagi “kurang bersahabat” dengan tanar air Indonesia. Dua
kejadian alam yang luar biasa menggoncang bumi pertiwi. Gempa dibarengi Tsunami
di Mentawai, Sumatra Barat, dan Letusan gunung merapi di Sleman, Jogjakarta. Gempa berkekuatan 7,2 skala
Richter pada Senin (25/10) pukul 21.42 tersebut menelan korban, menurut
terakhir Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdal Ops PB), sekitar
413 orang tewas, korban luka berat sebanyak 267 orang, dan luka ringan 142
orang. Sedangkan letusan gunung merapi terjadi pukul 17.05 WIB, Selasa 26
Oktober, dengan awan
panas membumihanguskan perkampungan sekitar merapi, dan meregguk nyawa dua
puluh tujuh orang. Pastinya, keduanya menyebabkan ribuan pengungsi yang
kehilangan tempat tinggal. Betapa perihnya nasib para korban!
Menanggapai bencana alam di atas,
bisa dilihat dari dua sudut pandang berbeda: sudut pandang teologis dan
non-teoligis. Yang pertama tentu akan melihat dengan pandangan agama bahwasanya
bencana alam atau musibah bisa saja berupa cobaan, peringatan ataupun laknat
(murka Allah). Sedangkan dalam perspektif non-teologis (natural) akan lebih
menitikberatkan pada hukum kausal sebagai gejala alam. Dalam hal itu, disebabkan
oleh adanya kesalahan dan penyebab yang alami sehingga terjadi gempa ataupun
letusan gunung. Misalanya gesekan ataupun perubahan gerak bumi.
Al-Qur`an sebagai kitab suci dan pegangan
hidup umat manusia, khususnya umat Islam, telah membicarakan persoalan
tersebut. Bencana alam berupa gempa dan letusan gunung sudah dipaparkan secara
global. Bahwa pada dasarnya, alam (bumi dan langit beserta isinya) adalah
diciptakan untuk melayani manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, pada
saat yang sama manusia dan alam adalah sama kedudukannya di hadapan yang Maha
Pencipta. Tunduk dalam penyembahan dan semunya bertasbih kepada-Nya (QS.
Al-Isra: 44). Dengan demikian, meski, pada awalnya, alam ini diciptakan untuk
melayani manusia, tapi tidak berarti manusia bisa berlaku sewenang-wenang
kepadanya. Atau manusia merasa sebagai tuan yang berkuasa. Sehingga melakukan
penebangan hutang seenaknya. Yang kemudian menyebabkan banjir bandang bahkan
tsunami, sebagaimana yang lagi terjadi di Mentawai.
Begitupula dengan letusan gunung
Merapi. Pada dasarnya, Tuhan telah menciptkan gunung sebagi tiang (pasak) bumi
(QS. An-Naba: 7), untuk menjaga keseimbangannya. Sehingga manusia merasa aman
dan tidak merasakan putaran bumi. Namun, pada saat tertentu, gunung tersebut “bernapas”
dan mengoncang bumi disaat merasa “jengkel” dengan tingkah laku manusia. Olehnya,
agama senantiasa memberikan peringatan bahwa telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum:41).
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa kerusakan di muka bumi ini (darat dan
laut) adalah hasil ulah tangan manusia. Pemahaman “ulah tangan manusia” di sini
sangat luas. Penggunaan kata “tangan” pun dalam ilmu tafsir al-Qur`an bervariasi.
Tangan bisa diartikan tangan secara harfiah, dalam hal ini ‘tangan’ yang
melakukan penebangan hutang sembarangan dsb, juga bisa berarti ‘tangan’ adalah kekuasan
dan otoritas. Sehingga lebih mensinyalir kepada pemerintah yang tidak adil,
wakil rakyat yang tidak merakyat, dan para pejabat yang koruptor. Pendek kata,
kerusakan yang disebakan oleh “tangan-tangan” manusia akan berdampak pada
kemurkahan Tuhan dan alam yang kurang bersabahat.
Kalaupun
dikatakan bahwa bencana alam yang menimpa bumi Indonesia adalah karena sebab
natural yang bersifat non-teologis. Hal itu juga tidak salah dalam pandangan
ilmu bumi, bahwa gempa dan bencana disebakan oleh gesekan dan gerakan bumi.
Namun, perlu disadari bahwa Tuhanlah yang menggerakkan semua sebab, Dialah sebab
pertama. Pada saat yang sama, Tuhan selalu memberikan peringatan bahwa “janganlah
kamu (manusia) berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang berbuat kerusakan” Q.S al-Qashash: 77). Peringatan tersebut menandaskan
bahwa manusia selalu terlibat aktif sebagai ‘sebab-sebab’ terjadinya kerusakan
di muka bumi. Yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam menelan banyak
korban.
Sehingga,
untuk menyikapi dan mengantisipasi terjadinya bencana alam di Indonesia, yang
sangat berperan penting adalah manusia Indonesia itu sendiri. Baik dari sudut
pandang teologis maupun non-teologis, adalah sebuah keharusan untuk
melestarikan alam. Hal itu dapat dipahami secara logika terbalik (mafhum
mukhalafah) dari perintah Tuhan, melarang melakukan perusakan di bumi: maka
tersirat keharusan melestarikannya. Melestrarikan alam bisa bersifat lahiriah
seperti melestarikan hutang dan menghindari penggundulan gunung, dan tak kalah
pentingnya adalah keharusan melesatrian alam di kantor-kantor pemerintahan,
seperti membersihkan meja pejabat dari tangan-tangan serakah (koruptor). Karena
yang pertama sebagai faktor non-teologis (sebab natural), dan yang kedua adalah
lebih bersifat teologis, sebagai sebab tidak langsung.
Untuk yang pertama saya kira pemerintah sudah
melakukan upaya pencegahan melalui dengan UU Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Hanya saja dibutuhkan penyuluhan yang lebih aktif kepada
rakyat tentang pentingnya menjaga lingkungan melalui slogan ‘Indonesia
Berwawasan Lingkungan”. Sama dengan poin kedua, UU korupsi telah banyak dibahas
di DPR, tapi nyatanya juga belum bisa membuat jerah para koruptor. Mungkin
sebaiknya Indonesia perlu bercermin kepada China dan Singapura yang telah menerapkan
hukuman mati secara nyata kepada koruptor. Kalau dalam al-Qur`an pencuri saja
dihukum dengan potong tangan (QS. Al-Maidah: 38), maka para koruptor yang jauh
lebih besar dampaknya terhadap negara pantas mendapat hukuman yang lebih berat
lagi. Dan hukuman mati sebagai penjerahan adalah salah satunya.
Kembali
kepada korban bencana alam. Apa yang melanda mereka adalah musibah. Musibah itu
beda dengan penderitaan. Musibah adalah bersifat objektif: diluar kemampuan
manusia. Sedangkan penderitaan adalah bersifat subjektif: sebuah pilihan
manusia (Jalaluddin Rahmat: 2006). Saya tidak memandang kecil musibah yang
menimpa mereka sehingga seakan-akan menafikan penderiataan tersebut. Tapi, saya
hanya ingin mengajak mereka bersabar sebagaimana tuntunan al-Qur`an. (QS.
Al-Baqarah: 155). Di samping itu, meratapi sebuah musibah bukanlah solusi,
bahkan hal itu akan semakin membuat kita menderita. Dan tidak akan bangkit
melihat kehidupan hari esok yang lebih cerah. Padahal al-Qur`an menganjurkan
kepada umat manusia untuk tidak putus asa. Setelah kesulitan ada kemudahan
janji Tuhan. Dan betapa banyak orang yang bangkit dan sukses dari sebuah
musibah. Mereka menjadikan musibah itu sebagai motivasi untuk menyulut semangat
hidup mereka.
Pada
akhirnya, semoga saja bencana alam yang menimpa tanah air kita membuka pikiran,
dan mengetuk hati umat manusia, bahwa disana ada Sang Penggerak segala sesuatu.
Di balik bencana itu ada sebab-sebab natural (alamiyah) maupun teologis, yang
selalu melibatkan manusia sebagai khalifah. Maka sebagai pengemban amanat dari
Tuhan, maka seharusnya manusialah yang selalu menjaga dan melestarikan alam.
Maka tepatlah pesan terakhrir Mbah Maridjan, juru kunci gunung Merapi yang
setia mengemban pesan Sri Sultan Hamengku Bowono IX pada tahun 1982: Jangalah
Lingkungan!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar