A. Pendahuluan
Pengembaraan intelektual dalam mengkaji
epistemologi keilmuan tidak hanya telah membawa kita melintasi beberapa aliran
pemikiran, melainkan juga membawa kita menjelajah ke berbagai belahan dunia.
Sebelumnya, kita telah mengkaji aliran Plato, Aristoteles dengan
logika, David Hume dengan empirisismenya, dll.
Dalam fisafat ilmu terdapat beberapa aliran dan pemikir filsafat. Salah satunya adalah seorang Karl Raimund
Popper, yang pada tahun 1934 menggebrak dunia filsafat sains dengan bukunya
The Logic of Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut, Karl
Raimund Popper melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di
masa itu yang didominasi oleh Positivisme. Positivisme adalah sebuah aliran
filsafat yang bahkan sampai detik ini masih berjaya dan dianggap sebagai
aksioma oleh para saintis maupun masyarakat umum.
Dalam buku tersebut, alih-alih menekankan pada prinsip verifikasi-pembuktian
dengan fakta-fakta empiris untuk mendukung sebuah teori sains, Karl
Raimund Popper mengajukan sebuah gagasan yang menarik mengenai falsifikasi.
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat
fakta-fakta.
Tetapi bukan hanya dalam sains
metode falsifikasi Karl Raimund Popper. Maka rasionalitas ilmu teologi,
misalnya harus di kembangkan baik dalam diskursus antara para teolog dari agama yang bersangkutan sendiri maupun
dalam diskursus dengan kalangan-kalangan luar, dengan teolog agama-agama lain ,
dengan para filosof, dengan pernyataan ilmu-ilmu lain yang misalnya menyerang. Di
sini metode falsifikasi Karl Raimund Popper
cukup penting.[1]
B. Pembahasan
1. Biografi Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper dilahirkan pada 28 Juli 1902 di Wina,[2]
yang pada waktu itu diklaim sebagai pusat kebudayaan dunia Barat. Ayahnya, Dr.
Simon Siegmund Carl Popper, seorang Yahudi yang membawanya pada suasana yang
belakangan ia lukiskan sebagai “sangat kebuku-bukuan” (decidedly bookish).
Ayahnya bekerja sebagai pengacara profesional, tapi dia juga tertarik pada
karya-karya sastra Yunani-Romawi Kuno dan filsafat, serta menginformasikan
kepada anaknya minat pada masalah sosial dan politik yang lepas dari dirinya.
Ibunya menanamkan pada ketertarikan pada musik, hingga dia sempat ingin
mengambil karir di bidang ini dan sungguh-sungguh pada awalnya memilih sejarah
music sebagai subjek kedua untuk ujian Ph. D.
Kemudian, kecintaanya terhadap musik menjadi kekuatan inspiratif dalam
membangun pemikiran dan originalitas interpretasi antara dogmatis dan pemikiran
kritis, kontribusinya dalam pembedaan objektifitas dan subjektivias, dan yang
sangat penting, menumbuhkan perlawanan terhadap segala bentuk historisisme,
termasuk ide-ide sejarawan tentang sifat alami “progresif” pada music. Karl
muda menghadiri Realgymnasium lokal, dimana ia merasa tidak senang dengan
standar pengajaran, dan setelah sakit yang membuatnya tinggal di rumah beberapa
bulan, dia masuk University of Wina pada tahun 1918. Bagaimanapun, dia tidak
mendaftar secara formal di Universitas dengan mengambil pengujian matrikulasi 4
tahun yang lain. Baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa di sana.
1919 adalah tahun kehormatan formatif penting dalam kehidupan intelektualnya.
Pada tahun itu, dia melibatkan diri dalam politik sayap kiri, bergabung dengan
Association of Socialist School Students dan menjadi Marxis pada saat itu.
Bagaimanapun, dia dengan cepat kemudian dikecewakan oleh karakter doktriner
dan segera meninggalkan hal itu seluruhnya. Setelah perang dunia I dimana
begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis
sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis
karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam
melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi
pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari
teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan
yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan
dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran
dogmatis dan kritis.[3]
Dia juga menemukan Teori Psikoanalisis Freud dan Adler ( hal ini terkait
dengan aktivitasnya dalam kerja sosial dengan anak-anak yang serba kekurangan),
dan terpesona mendengar kuliah yang diberikan Einstein di Vienna tentang teori
relativitas (relativity theory). Kekuasaan semangat kritik pada Einstein dan
kekurangan total pada Marx, Freud dan Adler, menyerang Popper sebagai kehadiran
yang sangat penting: yang belakangan dia kembali berpikir, meletakkan
teori-teori mereka dalam term-term yang bersedia untuk dikonfirmasi, sedangkan
teori Einstein, dengan susah payah, memiliki implikasi yang dapat diuji, jika
salah, teori itu bisa difalsifikasi.
Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper
dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori
tentang gaya berat dan kosmologi baru yang gikemukakan oleh Einstein. Dimana
Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak
dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan
sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi
terhadap teori-teori kesayangannya.
Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap
kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial
berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah
dapat meneguhkannya.
Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan
perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang profesor
psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3
tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi
deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan binatang
sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir.
Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif,
yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul
Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan
pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The
Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa
arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik –
kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara
yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu
pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk
menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di
kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah
sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang meninggal dunia pada tahun
1994.
Karya-Karya Karl Raimund Popper sepanjang karangannya.[4]
1. Logik der Forschung. Julius Springer Verlag, Vienna, 1935.
2. The Open Society and Its Enemies. (2 Vols). Routledge, London, 1945.
3. The Logic of Scientific Discovery. (translation of Logik der
Forschung). Hutchinson, London, 1959.
4. Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Routledge, London, 1963.
5. The Poverty of Historicism (2nd. ed). Routledge, London, 1961.
6. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Clarendon Press, Oxford,
1972.
7. Autobiography Unended Quest; An Intellectual. Fontana,
London, 1976.
8. ‘A Note on Verisimilitude’, The British Journal for the Philosophy of
Science 27, 1976, 147-159.
9. The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (with J.C.
Eccles). Springer International, London, 1977.
10. The Open Universe: An Argument for Indeterminism. (ed. W.W.
Bartley 111). Hutchinson, London, 1982.
11. Realism and the Aim of Science. (ed. W.W. Bartley III). London,
Hutchinson, 1983.
12. The Myth of the Framework: In Defence of Science and Rationality. Routledge,
London, 1994.
13. Knowledge and the Mind-Body Problem: In Defence of Interactionism. (ed. M.A. Notturno).
Routledge, London,
2.
Karl Raimund Popper dengan Preinsip Falsisfikasi
a. Pengertian
Falsifikasi
Sikap kritis inilah yang kemudian digunakan untuk
melakukan proses falsifikasi. Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni
falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi
adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan
menggunakan pelawannya. Ini dilakukan
dengan data yang diperoleh melalui eksperimen. Falsifikasi berlandaskan pada
suatu postulat yang berbunyi bahwa proposisi teoritis tidak terbukti bila
pendapat sebaliknya turun dari aneka pernyatan yang cocok satu sama lain,
kendatipun pernyataan-pernyataan itu didasarkan pada observasi.[5]
Dalam konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori
falsifikasi menyatakan bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori
tertentu yang mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran
teori-teori ilmiah dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh
ditolak. Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas
untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Teori-teori itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau
observasi-observasi. Terori yang tidak dapat bertahan terhadap suatu eksperimen
harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Itu berarti,
ilmu pengetahuan berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis
dan refutasi.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah
berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari
rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk
menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi
tidak setiap hipotesis dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu
pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai teori atau hokum ilmiah harus
memenuhi syarat fundamental
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak
gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan
penolakan Popper ini, karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan
tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi.[6]
Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama,
prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat
diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar
terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kedua,
sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan
metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja
dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji;
ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih
dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh
Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih
serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang
ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah. Untuk itu pada bagain ini, penulis
terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari
falsifikasi Popper.
b.
Masalah induksi
Salah satu tema pertama yang menarik dalam Pemikiran Popper inilah adalah
pendapatnya tentang masah induksi dalam ilmu pengetahuan alam. Dalam pemikiran
modern selalu dikatakan bahwa tugas ilmu
pengetahuan modern merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak
perlu
Bagi para teoritisi, metode induktif ini bukan tampa kesulitan. Filsuf yang
pertama menggaris bawahi kesulitan-kesulitan itu adalah filsuf Skotlandia yang
bernama David Hume (1711-1716). Ia menekankan dari sejumlah fakta berapa pun
besar jumlahnya secara logis tidak pernah dapa disimpulkan yaitu kebenaran
umum. Tidak pernah ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekrang selalu
berlangsung dengan cara yang sama besok juga akan terjadi dengan cara demikian.
Popper berhasil menyodorkan suatu pemecahan masalah bagi masalah induksi
dan dengan itu serentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurut
dia suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmia karena sudah di buktikan,
melainkan dapat diuji (testable). Contoh kita satu jebis logam yang
tidaak memuai setelah dipanaskan untuk menyatakan salahnya suatu ucapan ilmiah. Dan kalu suatu
teori setelah diuji tetap tahan (corroboration).
Maka besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori, maka kokoh pula
kebenarannya, jika teori itu tahan terus.
Untuk mencapai pandangan ini, Popper menggunakan suatu kebenaran logis yang
sebenarnya sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri “Dengan Observasi
terhadap angsa-angsa putih betapapun besar jumlahnya orang tidak dapat sampai
pada teori bahwa semua angsa berwarna putih. Tetapi cukuplah satu observasi
terhadap seekor angsa hitam untuk
menyangkal tori tadi. Pandangan ilmu tentang
pengetahuan berdasarkan metode induktif
sebenarnya tidak membuat lain daripada berusaha membuktikan bahwa semua angsa
berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan harus
berusaha mencari satu ekor yang tidak
berwarna putih” dapat dianggap benar. Dengan pendekatan ini Popper membuka
perspektif baru bagi ilmu pengetahuan, yang sama sekali berlainan dengan perspektif
konsepsi induksi.[7]
c.
Masalah
demarkasi
Beberapa titik kritik yang dikemukakan popper. Pertama ia menekankan
bahwa dengan digunakannya perinsip verifikasi tidak pernah mungkin menyatakan
kebenaran hukum-hukum umum. Persolan pencarian keriteria yang akan menggunakan,
kedua berdasarkan perinsip verivikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi
dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandanagan-pandangan
metafisis atau misis tentang dunia
(sebagai salah satu contoh boleh disebut gagasan metafisis seperti atomisme leukippos dan
demokritos). Ketiga untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu
ucapan atau teori itu. Tetapi bagaiman dapat
kita mengerti suatu teori, jika teori
itu tidak mengandung makna?- karena alasan-alasan serupa itu popper menolak
usaha neopostivisme untuk menetapkan suatu verifikasi [8]
Bagi Popper problemnya ialah apa
yang di sebutnya demarkasi (the problem of demarcation) bagaimana dapa kita menarik garis pemisah
antara bidang ilmiah dan nonilmiah. Dalam melakukan kritikan terhadap suatu
kebenaran ilmu pengetahuan ada perinsip falsifiabilitas suatu teori yang secara
perinsipial mengeksklusikan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta
untuk menyatakan suatu teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah.
Bagi positivisme logis masalah demarkasi ialah bagaimana kita menarik suatu
garis pemisah antara ucapan-ucapan yang tidak bermakna. Dan denagn bantuan
perinsip verifikasi mereka menjawab bahwa, selain dari taotologi-tautologi
(yaiti ucapan-ucapan logika dan
matematika) hanyalah bermakna ucapan ilmu pengetahuan empiris, semua ucapan
lain yang mereka singkatkan dengan nama “metafisika tidak bermakna”[9]
d.
Falsifiabialitas
dan falsifikasi
Kita harus mebedakan dengan jelas antara falsifiabialitas dengan
falsifikasi. Kita tidak memperkenalkan semata-mata falsifiabilitas sebagai
kreteria untuk ciri empiris suatu sitem pernyataan-pernyataan. Mengenai
falsifikasi, harus diperkenalkan aturan-aturan yang special yang akan menentukan
dengan syarat-syarat apa suatu sistem dianggap sudah difalsifikasikan.
Kita mengatakan bahwa suatu teori difalsifikasikan hanya jika kita telah menerima
pernyataan-pernyataan dasar yang menyangkalnya. Syarat penting , namun tidak
mencukupi; karena kita melihat bahwa kejadia-kejadian tunggal yang tidak dapat
diulangi tidak berarti bagi ilmu. Persyaratan bahwa hipotesis yang
mengfalsifikasikan harus empiris, dan kemudian dapat difalsifikasi.[10]
Hanya berarti bahwa iya berada dalam suatu hubungan logis tertentu dengan
pernyataan-pernyataan dasar yang mungkin; dengan demikian persyaratan ini hanya
memperhatikan bentuk logis hipotesis itu. Demikianlah pernyataan-pernyataan
dasar memainkan dua peran yang berbeda. Di suatu sisi, kita telah menggunakan
sistem semua pernyataan dasar yang
mungkin secara logis agar dengan bantuannya dapat memperoleh pencarian logis
yang sedang kita cari –pencarian bentuk
pernyataan-pernyataan empiris itu.
C.
Penutup
Karl Raimund
Popper dilahirkan pada 28 Juli 1902 di Wina,[11]
yang pada waktu itu diklaim sebagai pusat kebudayaan dunia Barat. Ayahnya, Dr.
Simon Siegmund Carl Popper, seorang Yahudi yang membawanya pada suasana yang
belakangan ia lukiskan sebagai “sangat kebuku-bukuan” (decidedly bookish).
Falsifikasi
merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari
lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini,
karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih
menjunjung tinggi induksi,
Bagi Popper
problemnya ialah apa yang di sebutnya
demarkasi (the problem of demarcation)
bagaimana dapa kita menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan
nonilmiah. Dalam melakukan kritikan terhadap suatu kebenaran ilmu pengetahuan
ada perinsip falsifiabilitas suatu teori yang secara perinsipial
mengeksklusikan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta untuk
menyatakan suatu teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah.
Daftar Pustaka
Bagus,
Lorens. 1996, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia.
K.
Bertens. 1983, Filsafat barat abad
XX, Jakarta : PT. Gramedia.
Mangnis-Suseno,
Farns. 2005, Pijar-Pijar Fisafat, Yogyakarta : Kanisus,
Prasetya T.W., Bdk. 1993, “Anarkisme Dalam
Ilmu Pengetahuan P.K Feyerabend,” dalam Hakikat Pengetahuan Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu,
diedit oleh R. Bambang Rudianto, Jakarta: Gramedia.
Popper, Karl R. 2008, Logika Penemuan
Ilmiah, Terj. Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/ Diunggah pada tanggal 18 Okteber 2012
[1]
Farns Mangnis-Suseno, Pijar-Pijar Fisafat, Yogyakarta : Kanisus, 2005,
hlm. 21
[2]K.
Bertens. Filsafat barat abad XX, Jakarta : PT. Gramedia, 1983. Hlm., 67
[3]K.
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 70
[4]http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/
Diunggah pada tanggal 18 Okteber 2012
[5]Lorens
Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 227
[6]
Bdk. Prasetya T.W., “Anarkisme Dalam Ilmu Pengetahuan P.K Feyerabend,”
dalam Hakikat
Pengetahuan Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, diedit oleh R. Bambang
Rudianto, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm 50.
[7]K.
Bertens. Filsafat Barat Abad XX, hlm. 71-72
[8]Karl
R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, Terj. Saut Pasaribu & Aji
Sastrowardoyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008., hlm. 13-19
[9]
K. Bertens. Filsafat Barat Abad XX, hlm. 73
[10]Karl
R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, Terj. Saut Pasaribu & Aji
Sastrowardoyo, hlm. 84-85
[11]K.
Bertens. Filsafat barat abad XX, Jakarta : PT. Gramedia, 1983. Hlm., 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar