Kamis, 03 Januari 2013

Hadis Nabi tentang Fitrah dan Implikasinya Terhadap Teori Perkembangan Manusia

A.      Pendahuluan
Upaya umat Islam dalam menjelaskan sikap islam atau Rasul SAW, mengenai suatu masalah  harus berpegang pada hadis shahih dan hasan bukan pada hadis dhaif, apa lagi pada hadis maudlu.[1]
Memang boleh jadi manusia saat hidup mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarkan untuk menolak kehadiran Tuhan dan meninggalka kepercayaanya, tetapi ketika itu keraguannya akan  beralih menjadi kegelisahan, khususnya pada saat ia merenung tentang fitrahnya sebagai menusia.
Empirisme yang dipelopori oleh John Locke menyatakan bahwa perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh faktor-faktor alam lingkungan, termasuk pendidikan. Ibaratnya adalah tiap individu manusia lahir bagaikan kertas putih yang siap diberi warna atau tulisan oleh faktor lingkungan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran tuhan ada dalam setiap manusia, dan bahwa hal itu merupakan Fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.[2]
Dalam surat Ar-Rum ayat 30 menjelaskan bahwa firtrah manusia yaitu potensi manusia untuk beragama dan bertauhid kepada Allah.[3] Dalam ayat ini pula di tafsirkan bahwa konsep fitrah menjadi sesuatu konsep sesuia kemampuan dan latar belakng pendidikan.
B.       Fitrah Manuisa
1.    Takhrij, Metode  dan Pendekatan yang Digunakan dalam Memahami Hadis Nabi tentang Fitrah dan Implikasinya Terhadap Teori Perkembangan Manusia
a.      Takhrij
Untuk melecak keberadaan hadis yatu menggunakan metode takhrij, sedangkan tahrij menurut bahasa adalah kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.[4] Sedangkan menurut istilah takhrij adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya ketika perlukan.[5] Dalam penelitian hadis Nabi ini penulis menelusuri dengan menggunakan software Gawami’ Alkaleem. V4.5 dengan kata kunci فطرة[6].
b.      Metode pemahaman hadis
Kata metode berasal dari bahasa Yunani metodos kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu meta yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara.[7] Sedangkan pemahaman (syarh) dari bahasa Arab, syarraha-yasyarrahu-syarhan yang artinya menerangkan, membukakan melapangkan[8]
Motode yang digunakan penulis dalam memahami hadis Nabi tentang fitrah dan implikasinya terhadap perkembangan manusia adalah metode muqarin (komparatif) yaitu membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dengan kasus yang sama, membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam memsyarah hadis[9] dalam hal ini penulis mengutip tiga hadis dari tiga perawi yang berbeda tentang fitrah dan implikasinya terhadap teori perkembangan manusia, masing-masing dari al-Bukhari, at-Tarmizi dan Muslim.
c.       Pendekatan
Pendekatan lingusitik atau Bahasa adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadis Nabi Saw. Salah satu kekhususan yang dimiliki hadis Nabi Saw.[10]adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami’ al-kalim (ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamstsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda.
2.    Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah
Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna ‘fitrah’ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa fitrah adalah penciptaan awal atau asal kejadian. fitrah adalah kondisi "default factory setting", suatu kondisi awal sesuai desain pabrik.[11]
Perkembangan manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan bawaan tetapi yang peling terpenting mempengaruhi perkembangan manusia adalah kedua orang tuanya sendiri. Didalam kitab hadis yang disusun oleh para Imam Mazhab terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam meriwatkan hadis terjadi perbedaan matan (bacaan : redaksi) namun secara subtasnsif memiliki pengertian yang sama.
a.       Riwayat al-Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri (yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.[12]

b.      Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّه" مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami (dengan mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan) Sa'id bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)

c.       Riwayat at-Tarmizi
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ هَلَكَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: " اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ بِهِ
Artinya :Muhammad bin Yahya al-Qutha'i al-Bashri menceritakan kepada kami (yang mengatakan) 'Abd al-'Aziz bin Rabi'ah al-Bunani menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A'masy menceritakan kepada kami (yang bersumber) dari Abu Shalih (yang berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan beragama (Islam), kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani atau menjadikannya musyrik. 
3.    Pemahaman Hadis tentang Fitrah Manusia
Kesahihah sanad (shahîh al-Isnâd) belum menjadi jaminan bagi kesahihan matan (shahîh al-matn). Sebuah hadis yang sanadnya sahih muttasil dapat saja memiliki matan yang tidak sahih, dan demikian juga sebaliknya. Penelitian kedua aspek (sanad dan matan) menjadi penting untuk menemukan validitas dan otentisitas sebuah hadis.[13]
Meskipun al-Bukhari dan Imam Muslim pada hadis yang dijadikan titik tolak kajian dalam buku ini menggunakan kalimat mâ min maulûd illâ yûlad, tetapi dalam hadis yang lain, al-Bukhari dan Muslim juga memakai kalimat kullu maulûd yûlad. Imam Tirmidzi yang berbeda redaksi dengan menggunakan kata al-millah,Perbedaan redaksi atau lafal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar dalam periwayatan hadis, karena kebanyakan periwayatan hadis dilakukan secara makna (al-riwâyah bi al-ma’na). Oleh sebab itu, perbedaan lafalz menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadis. Oleh sebab itu, perbedaan lafalz dalam hadis tentang fitrah tidak terjadi syudzuz (janggal) dan illah (cacat).[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis-hadis tentang fitrah tersebut dari segi sanad dan matan dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan) bagi ajaran Islam, karena sanadnya bersambung (muttasil) dan matannya tidak mengandung unsur janggal dan cacat. [15]
a.         Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadis tentang fitrah tersebut mencantumkan pesan dia dengan ziyâdah pada akhir matan hadis “jika kamu menghendaki maksud kata fitrah itu, maka rujuklah kepada Q.S. al-Rum (30) : 30.
b.         Kata al-millah dalam riwayat al-Tirmidzi yang diartikan sama dengan fitrah memiliki dalalah arti millah al-Islam (agama Islam). 
Para ulama mutaakhirin menguatkan bahwa yang dimaksud fitrah tersebut adalah Islam karena Q.S. al-Rum (30): 30 adalah kalimat”fitrat Allah” dalam arti Idâfah Mahdhah yang memerintahkan Nabi saw untuk selalu tetap pada fitrah. Oleh karena itu kata fitrah berarti Islam.
Dalam kitab Syarah Shahih Muslim karangan al-Nawawi disebutkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat anak Muslim yang meninggal, dia akan masuk ke surga. Sedangkan anak-anak orang musyrik yang mati sewaktu kecil, ada tiga kelompok pendapat: (1) kebanyakan mereka mengatakan bahwa mereka (anak-anak musyrik itu) masuk ke dalam neraka, (2) sebagian mereka tawaqquf (tidak meneruskan persoalan tersebut), (3) masuk surga. Pendapat terakhir ini didukung dan dibenarkan oleh al-Nawawi. Argumentasi pendapat ketiga ini adalah berdasarkan hadis Nabi saw ketika sedang melakukan Isrâ’ dan Mi’râj, dia melihat Nabi Ibrahim as di dalam surga dan di sekelilingnya anak-anak manusia. Para sahabat bertanya: “apakah mereka anak-anak orang musyrik ? Nabi menjawab: Ya, mereka itu anak-anak orang musyrik. [16]
4.    Faktor-faktor Pembentuk Perkembangan Manusia
Dalam pandangan Islam merupakan dasar dan keunggulan manusia di bandingkan dengan mahluk lainnya atau pembawaan disebut fitrah, yang berasal dari kataفطرة  yanga dalam pengertian etimologi yang mengandun pengertian kejadian. Kata tersebut berasala dar kata الفا طر yang bentuk pluralnya fithar yang dapat diartikan cara penciptaan, sifat pembawaan sejak lahir, sifat watak manusia, agama dan sunnah, pecahan atau belahan[17]
Beberapa pandangan konsep filsafat yang mejelaskan tentang teori  yang mempengarui perkembangan manusia.
a.       Konsep Fatalis-Pasif
Setiap individu, melalui ketetapan Allah SWT adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semacamnyaatau sebagian sesuai denhan rencana Tuhan.  Faktor-faktor eksternal tidak berpengaruh terhadap penentuan nasib seseorang karena setiap indidvidu terikat dengan ketetapan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah SWT.[18]
b.      Konsep Netral-Paasif
Beranggapan bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong, sesuai halnya dengan teori tabularasa yang di kemukakan oleh John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tampa ada sesuatu goresan apapun. Manusia berpontensi berkarakter baik dan tidak baik itu terdapat berpengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan insan dan karakter yang terbentuk targantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya. [19]
c.       Konsep Postif-Aktif
Bawaan dasar atau atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga iya menjauh dari sifat bawaannya (Aksidental).[20]
d.      Konsep Dualis-Aktif
Yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk, tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk. Jika ia dekat dengan teman berkarakter baik, maka seseorang akan mengambil sifat baiknya dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif sangat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik itu lebih kuat.[21]
Ada dua Faktor yang membentuk prilaku, yaitu faktor Internal dan eksternal. Faktor Internal adalah kumpulan unsur kepribadian yang secara simultan mempengaruhi prilaku manusia, yaitu sebagai berikut:
a.         Insting Biologis
b.         Kebutuhan Psikologis
c.         Kebutuhan pemikiran
Faktor internal ini terbentuk sebagiannya secara genetis, atau dibawa dari sifat turunan keluarga baik sifat fisik maupun sifat jiwa. Adapun faktor Eksternal adalah faktor yang ada diluar diri manusia, namun secara langsung mempengaruhi prilakunya, yaitu;
a.         Lingkungan keluarga
b.         Lingkungan Sosial
c.         Lingkungan Pendidikan[22]
Selain itu apakah prilaku itu pun ada pengaruh dari unsur-unsur yang lainnya? Seperti unsur keturunan atau genetika dari seorang ibu ayahnya taupun kakek-kakeknya?, lantas faktor manakah yang mempengaruhi terhadap pendidikan anak? Apakah faktor keturunan atau faktor lingkungan. Dalam hal ini, para pakar pendidikan terbagi kepada tiga pendapat, yaitu:[23]
a.         Schoupenhauer dan Arnold Gessel (tokoh Teori Nativisme) berasumsi bahwa setiap individu (anak) dilahirkan ke dunia dengan membawa faktor-faktor turunan (hereditas) yang berasal dari orang tuanya, dan faktor turunan tersebut menjadi faktor penentu perkembangan individu. 
b.         Teori Empirisme, teori ini bertentangan dengan teori pertama, teori ini berasumsi bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum ditulisi (as a blank atau tabula rasa). Setelah kelahirannya, faktor penentu perkembangan individu ditentukan oleh faktor lingkungan atau pengalamannya.
c.         Teori Konvergensi, teori ini berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan (hereditas) maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman.[24]
C.  Penutup
Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi Hamba Allah yang pandai mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Firman Allah SWT: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Allah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mushowwir (Pendesain) , pasti telah mendesain penciptaan manusia baik dari bahan dan prosesnya, sedemikian rupa agar hasil akhirnya lahir suatu makhluk manusia yang bisa mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Jadi fitrahnya manusia adalah mengabdi ataui beribadah kepada Allah SWT.
Karena fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan pas dipakai untuk beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari “fitrahnya”.
Daftar Pustaka
Arifin, M, 2009,Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara,
Ali, Nizar, 2011Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatannya, Yogyakarta Idea Press.
al-Asqalani, Ibnu  Hajar, 2008, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid XXIII, Jakarta: Pustaka Azzam.
______________________, 2008,  Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid VII, Jakarta: Pustaka Azzam.
Munawir, Fajrul,Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim, Yogyakarta : Teras, tt.
Ramayulis dan Syamsu Nizar, 2009Fisafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Shihab, M. Quraish, 2007,Wawasan Ai-Qur’an (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan.
Siregar, Maragustan, 2010,Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, (Filsafat Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera.
at Tahhan, Mahmud, 1995,Metode Takhrij dan penelitian Sanad Hadist, terj. Ridwan Nasir, Surabaya: PT Bina Ilmu
Qardawi, Yusuf, 1993Keutamaan Ilmu dalam Islam, Jakarta: Pustaka PanjiMas.
http://blog.re.or.id/menjaga-kesucian-fitrah-manusia.htm, di Unggah pada tanggal 06 Desember 2012
http://erlanmuliadi.blogspot.com/2010/12 /studi– al–hadits - fitrah-manusia.html, diunggah pada tanggal 05 Desember 2012.
http://militansicerdas.blogspot.com/2011/03/fitrah-manusia.html di unggah pada tanggal 06 Desember 2012.

[1]Yusuf Qardawi, Keutamaan Ilmu dalam Islam, Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1993, hlm., 3
[2]M. Quraish Shihab, Wawasan Ai-Qur’an (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, 2007, hlm., 19
[3]Ibid.,hlm. 20
[4]Mahmud at Tahhan, Metode Takhrij dan penelitian Sanad Hadist, terj. Ridwan Nasir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, hlm., 1
[5]Ibid, hlm., 5
[6]software Gawami’ Alkaleem. V4.5
[7]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm., 65
[8]Ramayulis dan Syamsu Nizae, Fisafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hlm., 3
[9]Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatannya, Yogyakarta Idea Press, 2011, hlm., 57
[10]Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim, Yogyakarta : Teras, tt., hlm.138
[11]http://militansicerdas.blogspot.com/2011/03/fitrah-manusia.html di unggah pada tanggal 06 Desember 2012.
[12]Ibnu  Hajar al-Asqalani, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin,  Jilid XXIII, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm., 568
[13]http://blog.re.or.id/menjaga-kesucian-fitrah-manusia.htm, di Unggah pada tanggal 06 Desember 2012
[14]Ibnu  Hajar al-Asqalani, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid VII,  Jakarta: Pustaka Azzam, 2008,  hlm 344
[15]http://erlanmuliadi.blogspot.com/2010/12/studi–al–hadits-fitrah-manusia.html, diunggah pada tanggal 05 Desember 2012.
[16]http://erlanmuliadi.blogspot.com /2010/12/ studi–al–hadits - fitrah-manusia.html, diunggah pada tanggal 05 Desember 2012.
[17]Ibid.
[18]Maragustan Siregar, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, (Filsafat Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera, 2010, hlm., 191
[19]Ibid, hlm., 191
[20]Ibid, hlm., 191
[21]Ibid, hlm., 192
[23]Ibid.
[24]Ibid,

2 komentar: