A.
Pendahuluan
Kehidupan sosial budaya bangsa
Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga
kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai negara yang berdasarkan agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan
dalam penyelengaraan pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga
keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam
pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk
pembangunan fisik materiil bangsa Indonesia.[1]
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama
sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan
aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia
Islam
sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan
kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya sekalipun institusi-institusi
pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi
tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi
dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab,
terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan
Pendidikan jangan
hanya dipandang sebagai suatu kewajiban. Tetapi juga harus pandai merencanakan,
mengorganisir, mengemas, melaksanakan serta mengevaluasi dan menindaklajutinya
secara bersinergi dan berkeseimbangan.[2]
B. Peendidikan Islam dalam Konteks Pendidikan
Nasional
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan sabagai usaha membina dan mengembangkan peribadi
manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara
bertahap. Oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi
perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui
peroses demi peroses kearah tujuah akhir perkembangan/pertumbuhannya.[3]
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam
kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam
rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban
tugas dari sang khaliq untuk beribadah. Manusia sebagai mahluk yang diberikan
kelebehian oleh Allah Swt dengan satu bentuk akal pada diri manusia yang tidak
dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa itu mengolah akal
pikirannya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu peroses pembelajaran
berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.
20 Tahun 2003 Bab I,[4] bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan peroses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat bangsa dan negara.
Bebarapa ahli di Barat menjelaskan tantang konsep
pendidikan,[5]
antara lain.
a.
Mortimer J.
Adle
mengatakan: Pendidikan Adalah peroses di mana semua kemampuan manusia (bakat
dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat mengetahui pembiasaan, disempurnakan
dengan pembiasaan-pembiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik
dibuat untuk membantu orang lain atau dirinya sendidri untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.
b.
Herman H. Horne
berpendapat:
pendidikan harus dipandang sabagai suatu peroses penyesuaian diri manusia
secara timbal balik dan berintraksi dengan alam sekitar, dengan sesama manusia.
c.
William Mc
Gucken SJ seorang toko Katolik berpendapat, bahwa pendidikan diartikan
oleh ahli scholastic, sebagai suatu perkembangan dan ketangkapan dari kemampuan
manusia baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang diorganisasikan, dengan
atau untuk kepentingan individu atau sosial untuk mencapai tujuan akhir.
Maka, dari hal
pokok yang terkandung dalam definisi tersebut adalah bahwa peroses kependidikan
itu mengandung “pengarahan” kearah tujuan tertentu.[6]
2. Pendidikan Islam
Dalam studi
pendidikan, sebutan “ pendidikan Islam” pada umumnya dipahami sebagai suatu
ciri khas, yaitu jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Dapat juga
di ilustrasikan bahwa pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul
secara intelektual, kaya dalam amal, dan anggung dalam moral”. Menurut
cita-citanya pendidikan Islam meperoyeksi diri untuk memperoleh “insan kamil”,
yaitu manusia yang sempurna dalam segala hal, sekalipun di yakini baru hanya
Nabi Muhammad SAW yang telah mencapai kualitasnya.[7] Lapangan pendidikan Islam
diidentik dengan ruang lingkup pendidikan islam yaitu bukan sekedar peroses
pengajaran (face to face), tapi mencakup segala usaha penanaman
(internalisasi) nilai-nilai Islam kedalam diri subyek didik[8]
Dalam beberapa
ahli mendefinisikan tentang kensep
pendidikan Islam,[9]
yaitu :
a.
Ahmad D.
Marimba berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani
dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju pada terbentuknya
keperibadian utama menurut Islam.
b. Syahmina Zaini berpendapat
bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitra manusia dengan ajaran
Islam agar terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.
c. Muhammad Athiya
Al-Abrasyi berpendapat bahwa pendidikan Islam (At-Tarbbiyah al-Islamia)
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannyahalus
perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan
maupun tulisan.
Dari
berbagai definisi pendidikan Islam yang dikemukakan nampak sekali persoalan
usaha membimbing kearah pembentukan keperibadian, dalam arti akhlak menjadi
perhatian utama, di samping kearah perkembangan diri.
3. Pendidikan Nasional
a.
Hubungan
pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Nasional
Pengelolaan
pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang dapat bermanfaat potensi budaya yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, agama, dan adat istiadat yang sangat
berbeda satu sama lain, maka seberagam itu pula pola pendidikan yang mereka kembangkan. Atas dasar itu konstitusi
UUD 1945 dan UU Sindiknas mengamantkan perlunya penyelenggaraan pendidikan
dengan melestarikan keanekaragaman pemyelenggaraan pendidikan dimasyarakat,
akan tetapi berada dalam satu payung, Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang salingterkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. bernama “sistem pendidikan nasional”[10]
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31
ayat (3) mengamanatkan bahwa “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
pendidikan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.[11]
Di dalam satu sistem itu, diharapakan keragaman
penyelenggaraan pendidikan bisa melahirkan kekuatan pendidikan yang dahsyat.
Keragaman pendidikan indonesia dapat ditelusuri dalam dua kategori, yaitu :
a. Keragaman
yang dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat kreatifitas yang rendah.
Masyarakat semacam ini cenderung memilih keseragaman karena dianggap
memudahkan.
b. Keragaman
ini terdapat pada masyarakat yang memiliki tingkat kreatifitas cukup tinggi
(yang ini minoritas). Meraka cenderung menyebut pemerintah sampai saat ini
terlalu banyak mengatur pendidikan hingga hal-hal yang tidak seharusnya diatur.
Dalam menanggapi kecenderungan masyarakat yang sangat
kreatif ini, pemerintah sering mengaku bersikap realistis. Pemerintah memandang
mudarat pelepasan begitu saja proses pendidikan di masyarakat, dengan kondisi
majemuk seperti ini sekarang, bisa justru membahayakan hasil (0ut come)
pendidikan itu sendiri,[12]
Upaya pembaruan diarahkan kepada sistem pendidikan Nasional,
termasuk pembaruan kurikulum, pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap dan kemampuan serta pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan
nasional berdasarkan perinsip disentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen.
Pembaruan yang dimaksud didukung dengan kebijakan politik yang diarahkan untuk
menigkatkan peran DPR/MPR dengan lembaga tinggi negara lainnya dengan
menegakkan fungsi dan tanggungjawab yang mengacu pada prinsip pembagian
kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan berikut ini.
Bertolak
dari hal di atas dapat dipahami bahwa kebijakan agama diperlukan oleh kebijakan
pendidikan agama sebagai penegak eksistensi dogmatik. Kebijakan pendidikan
agama dibutuhkan sebagai penegak eksistensi sturuktural. Adapun kebijakan
politik diperlukan sebagai peletak dan penegak dasar yuridis.[13]
Dengan
demikian, pendidkan harus berperen dalam penigkatan sumber daya manusia, yang
secara sadar menyiapkan peserta didik dalam kehidupan individu maupun dalam
kehiduan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan agama sebagai sarana
pemberdayaan individu dalam masyarakat guna menyongson masa depan.
b.
Fungsi dan
Tujuan Pendidkan Nasional
1.
Fungsi
Pendidikan adalah gagasan yang terorganisasi baik dan
menjadi milik suatu bangsa. Oleh karena itu secara logis landasan dan wewenannya seyongyanya
bersendikan atas hal-hal yang dimiliki
dan diyakini oleh bangsa yang bersangkutan. Ini berarti bahwa pendidikan itu
merupakan tumpuan harapan secara menyeluruh tentang pendidikan dari bangsa yang
bersangkutan. Oleh karena itu pendidikan nasionala mempunyai ciri-ciri tersendiri di samping
adanya universalitas yang di bawa oleh hakikat pendidikan itu sendiri.[14]
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
tentang sistem pendidikan nasionalNo. 23 tahun 2003 Bab II menguraikan fungsi
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.[15]
2.
Tujuan
Pendidkan
nasinal merupakan cerminan dari seluruh pendidikan tidak terkecuali itu
pendidikan agama Islam. Pendidikan nasionala mempunyai tujuan dalam rangka
menjadi wahana untuk mencapai tujuan untuk mengembangkan bangsa, agama, dan
kebudayaan. Degnan pengembangan inipendidikan menjadi wahana terwujudnya
kelestarian kehidupan bangsa dan sekaligus survivalnya.[16]
Dapat
dirumuskan dengan jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional Indonesia
adalah terbinanya manusia Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
dengan memperhatikan aspek-aspek
kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan keterampilan,
C. Pesantren dalam Pendidikan Nasional
Pesantren dewasa ini banyak memainkan peranan sebuah yayasan
atau organisasi keagamaan yang memperlebar dakwahnya hingga rana pendidikan.
Peran itu dulu dimainkan oleh organisasi besar semacam Muhammadiyah, NU,
Al-Irsyad, dsb.
Dalam konteks agama lain, gerja juga menjalankan peran yang
sama. Bahkan kekuasaan gerja dalam memainkan peranan itu dapat dikatakan lebih
solid karena selain berperanan sebagai penyelenggara pendidikan, gereja juga
melakukan pengawasan ketat, memberikan izin pendirian, sampai menjatuhkan
sangsi-sangsi terstruktur. Pesantren dalam hal penyelenggaraan pendidikan
berbeda dari gerja dalam dua hal.[17]
a. Antar
pesantren tidak ditemukan koordinasi hirarkis seperti gerja.
b. Pesantren
memiliki berbagai organisasi persatuan semacam RMI (raobitah maahid al
islamiayah) tapi sifatnya tidak mengikat sebagaimana hirarki kebijakan dalam
gereja.
Regulasi pendidikan keagamaan dalam UU No. 20/2003 dapat
diduga bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pengakuan terhadap model-model
pendidikan yang selama ini sudah berjalan di masyarakat secara formal (misalnya
Madrasah diniyah salafiah al muallimin) namun tidak diakreditasi oleh
pemerintah karena kurikulumnnya mandiri, alias tidak mengikuti kurikulum
sekolah atau madrasah pada umumnya, justru kemandirian kurikulum pendidikan keagamaan
ini dipandang perlu dipertahankan dalam rangka memenuhi ragam karakter layanan
pendidikan sesuai kebutuhan manyarakat.[18]
Sejak UUSPN No. 2 tahun madrasa sudah berubah tidak lagi
dikategorikan sebagai pendidikan keagamaan karena telah menjadi pendidikan umum
(berciri agama), dan selama ini tidak lagi dipersoalkan legalitas ijazahnya.Undang-Undang
sisdiknas sadar dan sengaja mendifinisikan pendidikan agama yang harus di
lakukan di luar madrasah yang terpinggirkan kini harus diteggakan kembali. Hal
ini karena semenjak madrasah berstatus pendidikan umum,tujuana madrasah dinilai
semakin jauh dari cikal bakal kelahirannya, yahni untuk pembelajaran ilmu agama
atau mempersiapkan ahli agama.[19]
Komunitas pesantren tradisional yang terpinggirkan percaya
bahwa tujuan pendidikan nasional begitu mulia, demikian juga yang terdapat
dalam UUD 1945. Akan tetapi coba lihat perhatian pemerintahkepada pembinaan dan
bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk pendidikan keagamaan justru kecil
sekali, bahkan untuk pesantren hampir bisa dibilang tidak ada sama sekali.[20]
Era pendidikan saat ini sangat ironi karena 20% anggaran
untuk pendidikan namun dana untuk sekolah agama sangat minim sekali, sehingga
kualitas sarana prasana dan faktor penujang
lainnya demi pengembangan Sumber daya manusia di sekolah-sekolah agama
sangat minim.
D. Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan
pada Masa Reformasi
Sebelum masa
reformasi bergulir, ketika
pemerintah masih menerapkan kurikulum tahun 1994, pendidikan
agama ditempatkan di seluruh jenjang
pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi.
Dari sudut pendidikan
agama, kurikulum tahun
1994 hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang
tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran
dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Sampai pada masa orde baru tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia masih menggunakan UU
Pendidikan tahun 1989 dan kurikulum
1994. Tumbangnya rezim orde baru ini menggulirkan gagasan reformasi,
yang salah satu
agendanya adalah perubahan
dan pembaruan dalam
bidang pendidikan, sebagaimana
yang menjadi tema
kritik para pemerhati pendidikan.
Menurut
Ali Anwar, pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan dari sistem pemerintahan yang bercorak
sentralistik menuju desentralistik. Hal
ini ditandai dengan UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 22 Tahun
1999 menyatakan bahwa agama merupakan
salah satu urusan
yang tidak diselenggarakan oleh
pemerintah daerah. Di sisi lain, pendidikan, menurut pasal 11 ayat (2)
UU RI No. 22 Tahun 1999 merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Madrasah, yang menurut UU
Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 didefinisikan sebagai sekolah umum yang berciri khas
Islam, dapat diperdebatkan, apakah ia
bagian dari agama ataukah pendidikan.[21]
Lebih lanjut
Ali Anwar mengatakan,
pasal yang diperdebatkan tersebut ternyata
dapat ditemukan solusinya
bahwa lembaga pendidikan yang dimasukkan sebagai bagian
dari agama adalah pesantren dan madrasah diniyah, sementara
madrasah sebagai sekolah
umum berciri khas
Islam dimasukkan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, madrasah
seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah, sehingga
berbagai kebijakan yang tidak adil antara lembaga pendidikan madrasah dan
sekolah dapat diminimalisir, tidak seperti realita yang terjadi sampai kini di
mana madrasah tersebut masih diselenggarakan oleh
Departemen Agama. Sementara
Departemen Agama dapa mengkonsentrasikan diri pengelolaan lembaga pendidikan
keagamaan di atas. Dalam posisi demikian, menurut Husni Rahim, Departemen Agama
dapat menghasilkan ulama yang sanggup menghadapi persoalan yang lebih komplek
ketimbang persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan ini.[22]
Sebenarnya, pada
masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan.
Melalui SKB Dua Menteri Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para santri di
pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah
Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang
tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula
tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan
yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata
pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. STTB atau Ijazah yang
dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah
setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur
oleh departemen terkait.Namun tidak semua pesantren salafiyah mengikuti
ketentuan SKB Dua Menteri di
atas, sebagian mereka
memilih tetap mempertahankan tradisinya. Sikap tidak
mengikuti ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pihak pesantren itu
sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka akan hilangnya identitas
salaf yang telah dipertahankan selama ini karena keagamaan dijelaskan Pasal 30
ayat (4). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis.masuknya intervensi pemerintah terhadap kurikulum pesantren.[23]
Dengan demikian,
sebenarnya pesantren dan
madrasah diniyah sebagai sumber
pendidikan dan pecerdasan
masyarakat Indonesia, yang sudah berurat berakar sejak sebelum
kemerdekaan ternyata baru mendapatkan pengakuan secara yuridis pada era reformasi
ini. Pengakuan tersebut sangaat jelas tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran
pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan
lainnya.Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan agama dalam UU Sisdiknas
Tahun 2003:[24]
E. Penutup
Hancurnyarasa kemanusiaan dan
terkikisnya semangat religius serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan merupakan
kekhawatiran manusia paling puncak dalam kanca pergolakan gelobal ini. Semua
tataran kehidupan sudah mengalami
perubahan yang sangat mendasar, dalam setiap ruas kehidupan manusia sudah
dihinggapi namanya globalisasi, maka perlu ada keseimbangan pendidikan umun atau
tekhnologi dengan pendidikan Islam yang harus diintegrasikan dalam setiap mata
pelajaran di sekolah.
Dasar dan tujuan nasional
sebagai yang dimaksudkan dalam Garis-garis besar Haluan Negaraa adalah
pendidikan nasionalberdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan keterampilan, mempertinggi
budi pekert, memperkuat keperibadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan
cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan,
Daftar Pustaka
Abdullah, Abd. Rahman. 2002. Aktualisasi konsep dasar Pendidikan Islam
(rekonsstruksi pemikiran tinjauan filsafat pendidikan Islam), Yogyakarta:
UII Press.
Anwar,Ali, 2010.Pembaruan Pendidikan di
Pesantren, Lirboyo Kediri,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Budiman, Nasir. 2001. Pendidikan dalam
Persepektif Al-Qur’an, Jakarta: Madani Press,
Fathoni, M. Kholid. 2005, Pendidikan Islam
dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru), Jakarta: Depag,
Hawi, Akmal. 200. Dasar-dasar Pendidikan
Islam, Palembang: IAIN Raden Fatah Press,
Depag RI, Islam dan Pendidikan Nasional,
Jakarta: Lembaga penelitian IAIN Jakarta, 1983
Noer Aly, Hery. 1999,Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Muchtar, Hery Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mukodi. 2010. Pendidikan Islam Terpadu,
reformasi pendidikan di era gelobal, Yogyakarta : Magnum Pustaka.
M. Arifin. 1993. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta ; Bumi Aksara.
M. Saerozi. 2003, Bila Negara Mengatur
Agama (Komfesionalitas Kebijakan Pendidikan Nasional), dalam Jurnal “Ulamana”
vol. III, edisi 12
Usa, Muslim dan Wijdan SZ, Aden. 1997. Pemikiran Islam
dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media.
UU RI. No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan
PP R.I. Tahunn 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Wajib Belajar, Bandung : Citra Umbara
Rosyadi, Khoiron. 2004, Pendidikan
Profetik,Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
[1] Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999, hlm., 181
[2]Hery Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Cet. II, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2008, Hlm., 1
[3]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, Jakarta ; Bumi Aksara,
199), hlm. 11
[4]UU RI. No. 20 Tahun 2003 tentang SINDIKNAS dan PP R.I. Tahunn 2010
tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Wajib Belajar,
Cet. II Bandung : Citra Umbara
[5]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,hlm. 12
[7]Muslim Usa dan Aden Wijdan SZ., Pemikiran Islam dalam Peradaban
Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997.
hlm., 35-36
[8] Nasir Budiman. Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an,
Cet.I, Jakarta: Madani Press, 2001. hlm. 1
[9]Abd. Rahman Abdullah. Aktualisasi konsep dasar Pendidikan Islam
(rekonsstruksi pemikiran tinjauan filsafat pendidikan Islam) Cet. I,
(Yogyakarta: UII Press, 2002. hlm. 34-37
[10]M. Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
(Paradigma Baru), Jakarta: Depag, 2005, hlm., 9
[13] M. Saerozi, Bila Negara Mengatur Agama (Komfesionalitas
Kebijakan Pendidikan Nasional), dalam Jurnal “Ulamana” vol. III, edisi
12 No. 2 Juli-Desember 2003, hlm., 267
[14]Depag RI, Islam dan Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga
penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm,.130
[15]UU RI. No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
[16]Depag RI,Islam dan Pendidikan Nasional, hlm.131
[18] M. Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, hlm.
91
[21]Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren,
Lirboyo Kediri,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010hlm. 49
[23]Ibid, hlm. 53.
[24]Himpunan Perundangan-Undangan Ri tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Bandung: Nuansa Aulia, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar