Kamis, 03 Januari 2013

TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11

TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11
(Pemikiran M. Quraish Shihab, Tantang Ilmu Pengetahuan}
A.      Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dalam berbagi ciri dan sifat salah satu di antaranya bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah. Al-Qura.an diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malikat Jibril tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur memakan waktu yang cukup lama yaitu waktu Muhammad diangkat menjadi Nabi sampai belau wafat. Yang berisi petunjuk dan ajaran tantang segala kehidupan.
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allahyang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an al-Karim bacaan sempurna lagi mulia.[1]
M. Quraish Shihab adalah sosok seorang mufassir Indonesia cukup terkenal, beliau menafskan al-Qur.an supaya tetap menjadi petunjuk bagi umat manusia di dunia yang selalu aktual disetiap zaman dan tempat
Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
B.       Pembahasan
1.      Biografi M. Quraish Shihab
Kehadiran Quraish Shihab di Indonesia semakin memperkaya khasanah keilmuan Islam khususnya dibidang tafsir al-Qur’an. Quraish shihab di lahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944 M.[2]Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab berasala dari keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya Prof. KH. Abdrahman Shihab di pandang sebagai tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, Shihab menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dan melanjutkan di SMP di Ujung Pandang hingga kelas 2. Pada tahun 1956 ia berangkat ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah. Khususnya di Jawa, ada cukup berkembang di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqihiyah tempat Quraish Shihab Nyantri adalah ahlu al-sunah wa’al- Jama’ah yang dalam paham Islam menganut  paham Asyariyah dan Maturidiyah.[3]
Pada tahun 1958 di berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai Quraish Shihab melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar  pada fakultas ushuludinjurusan Tafsir Hadits dan memperoleh gelar Lc (S-1) pada tahun 1967, kemudian pada tahun yang sama Quraish Shihab melanjutkan studinya dengan fakultas yang sama spesialisasi bidang tafsir al-Quran. Dan pada tahun 1969 meraih gelar MA dengan tesis berjudul al-I’jas al-Tasyri ‘iy li al-Qur’anul Karim.
Sekembalinya di Ujung Pandang Qurish Shihab di percayakan untuk menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Unjung Pandang , selain itu ia juga di serahi jabatan-jabatan lain baik di dalam kampus seperti koodinator perguruan tinggi swasta  (Wilayah VII) Indonesia Timur, maupun di luar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan penelitian antara lain’“Penerapan kerukuna hidup beragama di Indonesia Timur” pada tahun (1975) dan Masalah “Wakaf Sulawesi Selatan” pada tahun 1978[4]
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul “Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan Kitab Nazm ad-Durar Karya al-Biqa’i)”, ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma’a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998.
Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo.
Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.Di sela-sela segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta moderat.[5]
2.      Metode Penafsiran al-Qur’an
a.     Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[6] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[7]
b.     Metode Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir.[8] Yaitu: Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
c.      Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian metode muqarin[9](komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
1)      Membandingkan teks (nash)[10] ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
2)      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits[11] Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
3)      Membandingkan berbagai pendapat ulama[12]’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d.     Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.[13]
3.      penafsiran al-Qur’an Sura Al-Mujadala ayat 11 (al-Misbah)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Terjemahnya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Larangan berbisik yang diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang lain mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan tuntunan akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin harmonisasi dalam satu majelis.Allah berfirman “ Hai orang-0rang yang beriman, apa bila dikatakan kepada kamu” oleh siapa pun: berlapang-lapanglah[14]. Yaitu berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan  diri untuk memberi tempat orang lain dalam majlis-majlis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan tempat duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat untuk orang lain  itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila di katakan:”Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamuwahai yang memperkenankan tuntunan ini.dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat kemudian di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa akan datang Maha Mengetahui.[15]
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jum’at. Ketika itu Rasul saw. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata “katanya muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi mendengar keritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Kata tafassaḫû dan ifsaḫû terambil dari kata fasaḫa yakni lapang. Sedang kata unsyuzû terambil dari kata  nûsyuzyankni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang lebih tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan yang lebih wajar duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau bangkit melakukan suatu aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw. Yang lain dari yang perlu segera dia hadapi.
Kata majȃlis adalah bentuk jamak dari kata majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad saw. Membert tuntunan agama ketika itu. Tapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun, jika anda-wahai yang muda-duduk di bus, atau kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa  Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat[16] yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan[17] itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang didmilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang di maksud dengan alladzȋnaûtû al-‘ilmu/yang diberi pengetahuan[18] adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Ilmu yang di maksud ayat di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. 35: ayat 27-28. Allah meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah[19]yahni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untu kepentingan mahkluk, Rasul sering kali berdo’a (aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).
4.      Hubungan  al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan
al-Qur’an adalah kitab petunjuk demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejrah turunnya. Jika demikian apakah hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
a.    Ciri khas ilmu pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari-meskipun oleh para ilmuan –adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah di masa silam mislanya dapat diakui kebenarannya di abad modern.[20]
Persolan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembhasan satu ilmu saja, tetapi juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu persolan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata nuklir, misalnya tidak dapat dipisahkan dari pesolan tersebut; mereka tidak mengabaikan persolan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan.[21]
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma disatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin bahwa pertimbangan  logila atau ilmiah terutama menurut ilmu pasti adalah benar sedangkan keadaannya belum tentu demikian.[22]
b.   Al-Qur’an di tengah perkembangan ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.ara lain sebagai “peroses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” (QS. 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada  pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplannya.[23]
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof muslim atau non-muslim pada masa-masa silam, atau klasifikasi belakangan ini di kenal seperti antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikiran Islam pada abad XX, khususnya setelah seminar internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 M, pengklasifikasian ilmu menjadi dua kategori :
1.         Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis serta segala yang yang dapat diambil dari keduanya.
2.         Ilmu yang dicari (acquired knowledge)termasuk sains ke alaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggadaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.[24].
Dewasa ini diakaui oleh ahli-ahli sejarah dan filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya di tentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah materi Alam.[25]
c.    Korelasi antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
Membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupu negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.[26]
Dalam al-Qur’an ditemukan kata-kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal, pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana yang dikemukakan  oleh ayat-ayat yang menjelaskan hamatan ilmu pengetahuan. Antara lain[27]:
1.        Sujektivitas: (a) suka tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) taqdid atau mengikuti tanpaalasan, (baca antara lain, QS 36:67; 2:170).
2.        Angan-angan dan dugaaanyang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
3.        Bergegas gegas dalam mengambil atau kesimpulan (baca antara lain, QS 21:37).
4.        Sikap angkuh (enggang untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain, QS 7:146),
Di sampin itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain;[28]
1.        Jangan bersikap terhadap sesuatu tampa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca antara lain QS 10:39).
2.        Jangan menilai sesuatu karena faktor ekstren apapun-walaupun dalam pribadi tokoh yang diagungkan seperti Nabi Muhammad s.a.w.
Ayat macam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. Korelasi kedua dapat ditemukan pada iyarat-isyarat ilmiah yang tersebar sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya.
C.      Penutup
Dalam menghadapkan pemikiran yang melandasi segenap segala usaha dalam lingkup ilmu pengetahuan atau sain serta berbagai konsepnya, pada jaran agama Islam, khususnya yang terkandung dalam al-Qur’an.
Petunjuk ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup di bumi ini, manusia harus menguasai ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Sebagai penguasa, manusia boleh memanfaatkan alam dan sekelilingnya bagi kelangsungan hidupnya. Namun tidak boleh merusaknya; iya bertanggungjawab atas pelestariannya.
hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan

Daftar Pustaka
al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, 1977
Mustafa, Quraish Shihab Membumikan kalam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010,
Shihab, M. Quraish. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.
---------------------,Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta: Lentera Hati. 2006
---------------------,Wawasan Al-Qur’an, (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, 2007,
--------------------,Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, 2007, hlm. 1.
[2]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, hlm, .6
[3]Mustafa, Quraish Shihab Membumikan kalam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm., 64
[4]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm, 6
[6]Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43 – 44
[7]Ibid, hlm., 67
[8]Ibid, hlm., 69
[9]M. Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999. hlm. 186-192.
[10]Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
[11]Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya
[12]Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur)maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
[13]‘Abdul Hay Al-Farmawi,al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i,  hlm. 114 – 115.
[14]Berlapang-lapanglah kita dalam suatu pertemuan/majelis dengan memberikan tempat kepada saudara-saudara kita yang baru datang
[15]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta: Lentera Hati. 2006 . hlm., 77
[16]Darajāt (beberapa derajat), yakni beberapa keutamaan di dalam surga, mengungguli derajat orang-orang yang diberi iman tanpa ilmu. Sebab seorang Mukmin yang berilmu lebih utama daripada orang Mukmin yang tak berilmu.
[17] Kemerdekaan manusia tercermin dari kepemilikan akalnya. Manusia diberikan oleh Allah sebuah akal untuk memilah dan memilih mana yang benar di antara yang salah. Maka Islampun menyeru kepada kita untuk terus mengasah akal pikiran kita. Tentu saja caranya dengan belajar, dimana belajar di dalam Islam merupakan sebuah kewajiban individu.
[18]Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
[19]kata Khawf dan Khasyyah dalam bahasa memiliki makna yang sama hanya saja para ulama mengkhususkan penggunaan khasyyah untuk para ulama sedangkan khawf demikian juga huzn jauh dari menimpa mereka
[20]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an hlm., 44
[21]Ibid, hlm., 45
[22]Ibid, hlm., 45
[23]Ibid, hlm., 62
[24]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an., hlm.103
[25]Ibid, hlm. 65
[26]Ibid. Hlm. 103
[27]Ibid, hlm., 104
[28]Ibid, hlm., 104