A. Pengantar
Sejarah khasana pemikiran pendidikan Islam merupakan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu kewaktu. Mulai
lahirnya Islam sampai sekarang. Bersama diketahui bahwa Islam hadir di
Indonesia dibawa oleh para pedagan, bukan para tentara atau teroris. Bila
dilacak akar sejarahnya, proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam melalui
bermacam-macam cara dan media, misalnya, hubungan perdagangan atau jual beli,
kontak perkawinan dan media dakwah secara lansung, baik individu maupun
kolektif.[1]
Fenomena yang paling menonjol di Indonesia diera reformasi ini
adalah kekerasan antar kelompok beragama. Kenyataan tersbut mengundang makna
bahwa masih banyak hal yang perlu dipikrkan kembali dalam soal keberagamaan
umat, Rasulullah, saw. mengajarkan perinsip intergrasi sosial untuk membangaun
sebuah masyarakat yang madani.[2]
Islam menjadikan rujukan nilai, pengetauan dan tindakan bagi para penganutnya
untuk berta’aruf dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat yang berbeda latar
belakang agama, sosial dan budaya.
Untuk membangun pendidikan atau pembelajaran pendididkan Islam yang
berwawasan inklusif-multikultural para pendidik harus mempunyai intergritas moralitas yang tinggi dengan
mengedepankan etika-akhlaknya sebagai bagian integral dengan keperibadiannya. Serta
pendidik memiliki pengertian yang mendalam dan juga memiliki felling yang
tinggi dalam menganalisa terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang
berkembang dalam masyarakat umum, baru kemudian, para pendidik ini harus
membantu siswanya untuk jadi sadar akan penting memahami budaya yang bermacam-macam
dalam masyarakat, khususnya dibidang keagamaan.
Dengan demikian, perlu proses penyadaran di antara masing-masing
budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas
budaya yang dibalut dengan kerukunan dan perdamaian.
B. Mendialogkan Pendidikan Multultural dengan Pendidikan Agama islam
1.
Hakikat Pendidikan Multikultural
a.
Pengertian
Pendidikan Multikultural
Choirul Mahfud, dalam bukunya pendidikan multikultural, mengutrakan beberapa pendapat para ahli
mengenai maksud pendidikan multikultural. Andersen dan Cusher, sebagaimana yang dikutip,
memaknai pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan. Menurut james Banks pendidikan multikultural adalah untuk People of
color, serah dengan pendapat di atas, Muhaimin el-Ma’hadi mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demegrafis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan.[3]
Pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mnegajarkan
kergaman (teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki
rasionalitas, etis, intelektual, sosial pragmatis inter-relatif; yaitu
mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme dan saling menghargai semua
orang dan kebudayaan merupakan imperatif humanistik yang menjadi prasyarat bagi
kehidupan etis dan partisipasi sipil
secara penuh dalam demokrasi multikultural dan dunia yang beragam,
mengintegrasikan studi tentang fakta-fakta, sejarah kebudayaan, nilai-nilai,
struktur, perspektif, dan kontribusi semua kelompok kedalam kurikulum sehingga
dapat membangun pengetahuan yang lebih kaya, kompleks, dan akurat tentang
kondisi kemanusiaan di dalam melintasi konteks waktu ruang dan kebudayaan
tertentu.[4]
Meskipun cukup bergam definisi yang dikemukakan para ahli mengenai
pendidikan multikultural, namun satu sama lain tidak ada yang berbenturan dalam
memamkanai pendidikan multikultural tersebut, tetapi dianggap saling melengkapi
dan memperkuat satu sama lain. Dari beberapa pemaknaan di atas dapat di pahami
bahwa pendidikan multikultural hadir di tengah-tengah pendidikan sebagai
konsekuensi logis yang diharapkan dapat menegahai berbagai persoalan yang
berspektif, soial, budaya politik dan agama.
b.
Latar
Belakang dan Perkembangan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sudah sejak lama dikembangkan di Eropa,
Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Di negara-negara bekas jajahan
muncullah gerakan yang disebut poskolonialisme yang melihat aib dari peraktik-peraktik
kolonial yang membedakan harkat manusia. Dalam pandangan ada spermasi kulit
hitam dan kulit putih sehingga menimbulkan reaksi terhadap pandangan biner ini
seperti munculnya gerakan orientalisme dan gerakan poskolonialisme lainnya.[5]
Bagaimankah dengan keadaan di Indonesia? Sebenarnya indonesia di
dalam gerakan kemerdekaannya sejak kebangkitan nasional telah menunjukkan upaya
membangun masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan kesetaraan kultural.
Proses ini terus berlanjut samapai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, kita lihat wacana multikutural muncul, mislanya pada waktu
penyusunan pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ketika pada 18 Agustus 1945 Bung
Hatta menolak dimasukkannya tujuh suku kata dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945 hal ini menunjukkan kesepakatan para pemimpin rakyat Indonesia terhadap
kebhinekaa bangsa dan eksistensi kebudayaan masyarakat Indonesia. Pandangan
multikulturalisme ini juga tergambar dalam amandemen UUD 1945 melalui TAP MPR
Tahun 2002 yang menyatakan bahwa seluruh
pembukaan UUD 1945 diterima tampa amandemen[6]
Pandangan multikulturaslisme dalam
masyarakat Indonesia ini belum dijalankan sepenuhnya sebagaimana dalam
lambang Negara kita Bhineka Tunggak Ika. Kita melihat dalam perkembangan dari masa
ke-masa dari orde lama, orde baru samapai orde Reformasi yang membawa angin
Demokrasi telah kembali menghidupkan wacana pendidikan multikulturalisme
sebagai kekuatan bangsa Indonesia.
Pendidikan multikultural untuk Indenesia memang baru kita mulai, kita
belum punya pengalaman hal ini. Apalagi otnomisasi daerah baru kita cobakan.
Oleh sebab itu diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh
suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural
di Indonesia.[7]
2.
Menggagas
Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Kesadaran multikulturalisme masyarakat kita yang terdiri dari
banyak suku dan beberapa agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif
mutlak diperlukan.[8]
Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat
dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk
persahabatan antar siswa yang beraneka ragam suku, ras dan agama, mengembangkan
sikap saling memahami serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk
pendidikan seperti inilah yang banyak diharapkan oleh banyak pihak dalam rangka
untuk mengantisipasi konflik sosial-keagamaan menju perdamaian.
Konsep dasar pendidikan multikultural dikatakan oleh bennet terdiri
dari dua hal, yaitu nilai-nilai inti (core values) dari pendidikan
multikultural dan tujuan pendidikan multikultural. Bennet secara tegas
menyebutkan bahwa niali-nilai dari pendidikan multikultural, antara lain, a) apresiasi terhadap realitas budaya di dalam
masyarakat dengan pluralitasnya; b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak
asasi manusia; c) kesadaran dan pengembangan tanggungjawab dari masyarakat; d)
kesadaran dan pengembangan tanggungjawab manusia terhadsap alam raya.[9] Selanjutnya
dikatakan oleh Tilaar, bahwa inti permasalahan pada pendidikan multikultural
terkait dengan permasalahan keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia.[10]
Dari dua pendapat di atas dapat dimengerti bahwa inti dari
pendidikan multikultural setidaknya mencakup hak asasi manusia, keadilan
sosial, demokrasi, dan toleraqnsi terhadap sesama manusia maupun terhadap kedamaian dan keselamatan.
Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut di atas maka dirumuskan
tujuan pendidikan multikultural. Disebutkan oleh Tilaar bahwa terdapat enam
tujuan pendidikan multikultural yaitu:
1.
Pengembangan
presfektif sejarah yang bergam.
2.
Memperkuat
kesadaran budaya yang terdapat dalam masyarakat.
3.
Memperkuat
kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup dalam msyarakat.
4.
Menghilangkan
rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka.
5.
Mengembangkan
kesadaran terhadap kepemilikan pelanet bumi seisinya.
6.
Mengembangkan
keterampilan aksi sosial.[11]
a.
Landasan
Kultural Pendidikan
Perbedaan
budaya, agama, aspirasi poltik, kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan
tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan Interpersonal yang
kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka
dapat dikatakan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di
wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi dimensi
yang dihadapi Negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada
masa akhirnya rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan
wawasan multikulturalisme[12]
Menurut Alwi Syihab yang dikutip dari bukunya ainul yakin.
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar dunia. Kebenaran dari
pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI
sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang
berbeda. Selain itu mereka juga meneganut agama dan kepercayaan yang beragam
seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam
aliran kepercayaaan.[13]
1.
Landasan
Epistimologi Pendidikan multikultural
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diciptakan dalam
keberagaman, perbedaan dan kesederajatan. Melihat realitas kehidupan manusia
banyak yang tidak menyadari akan esensi dirinya. Hal ini hampir terlihat dalam
sepanjang sejarah kehidupan manusia banyak terjadi komflik dan pertumpahan
darah seperti mulai zaman Qabil dan Habil samapi pada zaman sekarang maraknya
terorisme yang mengnggap dirinya paling benar.[14]
Terjadinya pertumpahan darah tersebut, karena antara manusia lainnya tidak
menerima atau mengakui perbedaan, keberagaman, dan kesederajatan.
Kemudian dalam dunia pragmatis; dunia Indonesia sebagai sebuah
negara multikultur adalah sebuah
realitas yang tidak terbantahkan, multikulturalisme telah menjadi poaradigma
yang tidak saja mengandaikan hadirnya keberagaman ekonomi, sosial dan budaya, tetapi
juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnya
kedalam sebuah bejana sosial budaya yang selalu berubah-ubah dan mencair.
2.
Landasan
Yuridis Pendidikan Multikultural
Secara implisit pendidikan multikultural
(PM) terkandung dalam pasal 4 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan
“pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”.
Multikultural mengandung arti mengakui adanya keragaman/perbedaan
termasuk dalam agama/ keberagamaan, mengakui kesederajatan dan perlunya
membangun pola hubungan “saling menghargai”, termasuk antara mayoritas dan
minoritas, serta mengembangkan “identitas bersama” (semisal
nasionalisme-keindonesiaan) dlm keragaman yg ada demi kerukunan hidup dan
persatuan, sebagaimana tercermin dlm asas Bhineka Tunggal Ika.
Pembangunan pendidikan nasional perlu menerjemahkan nilai-nilai
yang terkandung pada budaya bangsa. Budaya bangsa tersebut meniscayakan
pemahaman terhadap tradisi daerah yang tidak boleh dihilangkan dalam proses
pembelajaran.[15]
Proses belajar mengajar perlu menempatkan pendidikan berbasis multikultural
yang menghargai dan melestarikan identitas nasional.
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang
Muslim adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat
manusia, atau agama yang “mendunia” karena risalahnya sebagai rahmat bagi
semesta alam. Sejarah menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap
sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap agama-agama lain
atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan
kejujuran.Itulah manifestasi konkret nilainilai madani yang terbukti pernah
menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit, masyarakat madani, Masa Keemasan
dunia Islam dan masa awal Islam dahulu.[16]
Salah satu upaya mewujudkan hubungan yang harmonis adalah melalui kegiatan
pendidikan multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan
kearifan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perilaku (mode of action)
peserta didik terhadap keragaman agama, budaya dan masyarakat. Dengan
pengertian itu, pendidikan multikultural bisa mancakup pendidikan agama dan
pendidikan umum yang “mengindonesia” karena responsif terhadap peluang dan
tantangan kemajemukan agama, budaya, dan masyarakat Indonesia. Tentu saja pendidikan
multikultural di sini tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan
juga “pendidikan religiusitas”.[17]
b.
Pendekatan
dalam Pendidkan Multikultural
Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam dikembangkan
dalam rangka mengajarkan pendidikan agama yang diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran pluralitas-multikultural pada peserta didik di antaranya :
1.
Pendekatan
historis, pendekatan ini mengandaikan bahwa materi penddikan agama yang
diajarkan kepada peserta didik dengan menengok kembali kebelakang maksudnya
adalah agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka pikir yang komplik
untuk bisa merefleksikannya pada masa sekrang dan mendatang. Pendidikan dengan
pendekatan historis harus dilakukan secara kritis dan dinamis, dalam pengertian
bahwa seorang pendidik harus mampu menjadikan peserta didik sebagai pihak yang
memiliki kedudukan sama sehingga berhak mengkritik pendidikan atas yang telah
dikemukakan.
2.
Pendekatan
sisiologis, pendekatan ini mengandaikan terjadinya “kontekstualisasi” atas apa
yang pernah menjadi sebelumnya. Dalam kerangka berpikir Islam, kontekstualisasi
diidentikkan dengan ijtihad. Dengan pendekatan sosiologis pendidikan agama akan
menjadi lebih aktual . aktualitas memang selaras dengan dinamikan dan kebutuhan
zaman, namun bukan aktualitas yang dipaksakan.
3.
Pendekatan
kultural, pendekatan ini merupakan pendekatan dalam pendidikan aqidah yang
menekankan aspek autentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan
kultural, peserta didik akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan
yang mana autentik atau orsinil. Pendekatan ini akan bermanfaat untuk
menyelidiki secara mendalam berkaitan dengan masih bercampunr aduknya
antara yang orsinil dengan tradisi-tradisi Arabia, sehingga ummat Islam banyak
yang salah memahami antara yang tradisi dengan islam.
4.
Pendekatan
psikologis, pendekatan ini untuk memperhatikan situasi psikologi/kejiwaan
secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik dilihat
sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang
dimilikinya.
5.
Pendekatan
estetik, pendekatan estetik dalam pendidikan agama akan memnjadikan
peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai ramah dan mencintai
keindahan dalam prespektif ini, pelajaran agama Islam tidak didekati dengan
secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas–otoritas” kebenaran
agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah
masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni
dan estetika.
6.
Pendekatan berprespektif
gender, pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan yang tidak
membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin. Dengan demikian pendekatan
ini sangat manusiawi.
7.
Pendekatan
filosfis, pendekatan ini menekankan pentingnya menghargai akal manusia. akal
pikiran merupakan potensi besar manusia yang dapat didayagunakan sebagai alat
untuk menyingkap dan menggali hikmah dari realitas. Filsafat bersumber dari akal sehat dengan merenungkan secara mendalam
terhadap segala hal yang berkaitan dengan manusia, alam kehidupan dan Tuhan.[18]
Selain itu pentingnya memformulasikan kembali kurikulum Pendidikan Agama Islam dengan menampakkan
wajah Islam yang toleran dapat dijelaskan dari sudut pandang filsafat
perenialisme, esensialisme dan progresifisme. Agar tercipta suasana belajar
yang tercermin nalai-nalai kemanusian yang tidak menghilangkan budaya sebagai
ciri khas dan kekayaan budaya bangsa, tetapi tetap memperhatikan nilai-nilai
Islam.
c.
Nilai-nilai
Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
1.
Nilai
Andragogi
Ivin Ilic dalam artikelnya sebagaina yang dikutip Puryanto (2006)
meneganrai bahwa “ sekolah lebih berbahaya daripada nukli”. Ia adalah candu!
Bebaskan warga dari sekolah”. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah
sekedar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ini menjadi mantra yang hidup dan menantang
bagi para pemikir pendidikan.[19]
Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekedar ungkapan yang
bertendensi pada sikap yang nyeleneh, melainkan fakta yang melatar
belakanginya. Ilic saat itu melihat semua sekolah di berbagai negara terjebak
pada semangat berpikir yang didasarkan pada tuntutan-tuntutan kebutuhan formal
sekolah. Implikasi dari nominasi budaya ini kemudian melahirkan satu corak
pendidikan yang hanya sekedar agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang
tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sisten relasi kekuasaan.[20]
Pada sekolah atau pendidikan diharapkan mampu mengubah keterpurukan
manusia dari berbagai sudut yang mengakibatkan di ambang kehancuran. knowles
(1970) menggambarkan murid sebagai dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif
untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan ataupun mengambil
manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, serta mampu mengambil manfaat
dari pendidikan. Funsi guru adalah sebagai fasilitator bukan menggurui. Oleh karena
itu, relasi antarguru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.[21]
Pendidikan kemudian menjadi sarana bagi ajang kreatifitas, minat dan bakat
peserta didik, visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi
kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagaiman
pentingnya menbangun kehidupan yang humanis
2.
Nilai
Perdamaian
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin mempunyai misi
menyebarkan kedamaian bagi semua ummat manusia. Islam melarang jihad terhadap
orang-orang non-Muslim yang menyatakan ingin hidup rukun dan damai bagi umat
Islam. Sikap hidup damai bersama penganut agama lain, sudah dicontohkan oleh
Nabu Muhammad saw. Yang tidak melancarkan jihad terhadap orang minoritas, yaitu
Yahudi karena mereka sudah menyatakan diri untuk terikat dalam kontrak
kenegaraan.[22]
Manusia dikaruniai akal untuk berpikir sehingga bebas menentukan
pilihan baik dan buruk, iman atau kufur, muslim atau non muslim karean itu,
tidak semua manusia menjadi muslim, sebab pengertian mulim dari segi ini ialah
menyerah secara mutlak, totalkepada kehendak Allah dengan jalan takwa, memenuhi
segala perintahnya dan menjauhisegala larangannya.[23]
Anjuran untuk membangun kehidupan yang damai dan rukun antar umat
beragana juga di jelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Muntahana ayat 8 : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.
3.
Nilai
Inklusivisme
Klaim-klaim sepihak seringkali muncul berkaitan dengan kebenaran
suatu paham atau agama yang dipeluk oleh seseorang atau masyarakat. Bahwa hanya
agama yang diantnya saja atau agama tertentu saja yang benar. Sementara agama
lain tidak dianggap benar.sikap eksklusif ini oleh para pemerhati studi agama
disebut truth claim (Abdullah, 1994:4). Sementara dalam realitasnya, terdapat
beragam agama dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Pluralitas agama,
keyakinan dan pedoman hidup manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat
di pungkiri.
Pemahaman yang bersifat parsial untuk memunculkan klaim-klaim
sepihak dari merka yang menyatakan diri mukmin dan muslim yang menempatkan
segala pihak sebagai ancaman terhadap keberimanan dan keislaman tersebut. Dunia
sosial kemudian mereka bagi hanya menjadi dua wilayah: antara mereka yang kafir
dan mereka yang muslim. [24]
Untuk mengimbangi arus pemahaman Islam yang sektarial dan parsial
ini, muncul pula gerakan keritis yang
memahami islam secara integral dan inklusif. Gerakan kritis ini berkeyakinan
bahwa islam adalah agama humanis dan toleran.al-Qur’an jauh sebelumnya telah
menegaskan saling menghormati dan tercapainya kehidupan beragama yang harmonis
surat Saba ayat 24-26. Oleh karena itu merupakan tanggunjawab suci
pemuka-pemuka agama untuk memformulasikan teologi yang dapat menciptakan
kehidupan imani yang damai dalam kontek kemajemukan agama di nusantara ini.
4.
Nilai
Kearifan
Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuki mencari
sendiri berbagai hal yang dapat disebut perinsip sekunder.[25] Dalam
Islam, kearifan dapat dipelajari melalui ajaran sufi, Sufi artinya kebijkan
atau kesucian yaitu suatu cara membersihkan hati dari kelakuan buruk. Sufi
mengajarkan kepada Manusia untuk membersihkan nafsu, hati, dan jiwa melalui
pendekatan esoteris melihat Allah tidak untuk ditakuti tapi untuk dicintai.
Ajaran islam juga mengajarkan bertindak secara adil, tidak boleh
melakukan kekerasan dan tidak boleh menuruti hawa nafsu juga. Dalam surat
an-Nahl ayat 90 dijeleaskan mengenai ajaran Islam kepada pemeluknya dalam
menerima informasi yang belum jelas asal usulnya. Kunci kearifan adalah
kerendahan hati. Sesorang yang arif menunjukkan kerendahan hati, dapat
memosisikan dirinya, tahu kapan menyatakan tidak, kapan berhenti membantu orang
lain, tahu kelemahan manusia dan kesulitan untuk melakukan perubahan.
5.
Nilai
Toleransi
Istilah toleransi berasalal dari bahasa Inggris, yaitu: “tolerance”
berarti sikap membiarkan. Mengakui dan
menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.[26]
Pemegembangan sikap pluralisme pada pesrta didik di era sekarang
ini, adalah mutlak segera di lakukan oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia
demi kedamaian sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan
ajaran-ajaran islam yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan
menitikberatkan pada pemahaman pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam
konteks berbeda agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok
dan tidak terjebak pada primordialismedan eksklusif kelompok agama dan budaya
yang sempit
6.
Nilai
Humanisme
Tujuan
sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri
peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi yang dewasa yang
matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Agar tujusn ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran
dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan
cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai.
Dengan
gerakan Humanisme dan skolasitisme telah memunculkan oertodoksi kebahasaan dan
hukum keagamaan melahirkan “teradi”
tertentu dalam pendidikan Islam, yakni pendidikan Islam yang bisa di
jadikan salurantransmisi dan inkulturasi keilmuan dan keabsahan hukum-hukum
dalam kerangka ortodoksi. Atas dasar inilah pendidikan (islam) dinilai sebagai
‘sistem sosial” senantiasa merefleksikan filosofi komunitas pendukungnya.[27] Pendidikan
dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan
kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang
intelektual emosi (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup
peraktis,
7.
Nilai
Kebebasan
Setiap manusia memiliki hak yang sama di hadapan Allah. Manusia
tidak dibedakan derajatnya berdasarkan suku, ras, maupun agama. Allah memiliki ukuran
tersendiri dalam memberikan peneilaian terhadap kemuliaan seseorang.[28]
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan
antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali tidak bisa dipisahkan. Kata
Driyakarta, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan peroses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”).
Jalan yang ditempuh menggunakan missifikasi jalur kultural. Tidak ada model
“kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena pendidikan
secara murni berupaya membentukinsan akademis yang berwawasan dan
berkepribadian manusia.
3.
Tantangan-tantangan
Multikultural
Problematika dan tantangan pendidikan berbasis multikultural
munculo bukan tampa masalah. Bila ditelusuri lebih jauh, persoalannya ternyata
sangat kompleks. Berikut ini acapkali dijumpai permasalahannya atau
tantatangan.
a.
Globalisasi
Universalitas pengalaman keberagamaan merupakan premis penting
dalam ajaran argumen al-Qur’an berhadapan dengan kehidupan profan (duniawi)
atau sekuler.[29]
Gelobalisasi tidak disangkal lagi, telah menghasilkan
perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh sektor
kehidupan tersentuh oleh pengaruh globalisasi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Dalam konteks ini, kita akan melihat perkembangan globalisasi,
a). Globalisasi politik, b) globalisasi ekonomi, dan b). Globalisasi
kebudayaan.
b.
Gerakan
Radikalisme Islam
Gerakan radikalisme akhir-akhir ini juga menjadi ancaman persebaran
mltikulturalisme di dunia. Pasalnya model gerakan ini ditengarai banyak pihak
cenderung tidak menghedaki kebesan dan kemajemukan. Intinya adalah
mempertahankan eksistensi dan ortodoksi agama sembari menempuh jalan kekerasan.[30]
c.
Dinamika
Politik dan Agama
Konflik dan kerusuhan yang etrjadi di beberapa kawasan seperti
Aceh, Sampit, Poso, Ambon, tragedi 1998, Tragedi Semanggi I dan II, dan
beberapa waktu lalu penyerbuan laskar FPI kepada Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Bearagama dan Berkeyakinan yang sedang menggelar aksi damai. Tindakan
dan perilaku biadab manusia atas manusia lain di bumi Indonesia tampaknya
bukanlah barang aneh. Indonesia seolah-olah tak pernah sepi dari peristiwa
mencekam dan menakutkan itu.[31]
Beberapa konflik yang sering terjadi telah menjadi persolan
kebangsaan yang tak pernah surut dari bagunan sejarah Indonesia. Mencoba
mengidentifikasi masalah-masalah ada beberapa yang perlu diapresiasi. Pertama
masalah integrasi. Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari berbagai
suku, ras, agama dan keyakinan menyimpan potensi akan terjadinya konflik. Kedua
masalah legitimasi politik kekuasaan. Sejak orde lama, orde baru samapai
reformasi, masala legitimasi ini sering dipersoalkan sebagai legitimasi dari
atas (dari Tuhan atau alam mistik).[32]
d.
Hubungan
Agama dan Negara
Ada tiga pandangan hubungan agama dan negara yang sering menjadi
perdebatan di masyarakat dan secar khusus di dunia Islam. Pertama,
paradagma integralistik. Agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga wilayah politik. Kedua,
paradigma simbiotik. Agama dan negara berhubungan secara simbiotik atau timbal
balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara bisa
berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara
bisa berkembang dalam hubungan etika dan moral. Ketiga, paradigmaa
sekularistik. Suatu pandangan yang memisahkan antara agama dan negara, agama
dan negara dalam paradigma ini, merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak
mungkin disatukan:[33]
C. Penutup
dari uraian makalah di atas penulis dapat menarik
sebuah kesimpulan sebagai berikut: Penyelenggaraan pendidikan multikultural di
dunia pendidikan dapat menjadi soliusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi
yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan multikultural menjadi
sarana alternatif pemecahan konflik sosial budiaya.
Pendidikan
multikultural juga dapat digunakan untuk membina siswa agar mereka tidak
tercabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas
sosial budaya di eraglobalisasi ini.Pendidikan m ultikultural ini bisa di
masukkan secara integral dalam semua mata pelajaran.
1.
Nilai-nilai
pendidikan Islam berbasis multikultural
a.
Nilai Andragogi
b.
Nilai
perdamaian
c.
Nilai
inklisivisme
d.
Nilai Humanisme
e.
Nilai kearifan
f.
Nilai toleransi
g.
Nilai kebebasan
2.
Adapun
tantangan pendidikan multikultural
a.
Globalisasi
b.
Gerakan
radikalisme Islam
c.
Dinamikan
politik dan agama
d.
Hubungan antar
agama dan negra
Perbedaan
budaya, agama, aspirasi poltik, kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan
tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan Interpersonal yang kadang-kadang
juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan
berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi
Negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya
rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan
multikulturalisme
Daftar Pustaka
Arif , Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif,
Yogyakata; LkiS, 2008
------------------, pendidikan Islam Inklusif-Multikultural, Yogyakarta:
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. I, Nomor I, Juni 2012.
Assegaf, Abd. Rahman, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi
Kondidi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta; Tara Wacana, 2004
Baidhaway, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Jakarta; Erlangga, TTh.
Esposito, John L. (ed), Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Doktrin
Iman & Realitas Sosial, terj. M. Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press,
2004
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Lokalitas
Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS, 2012.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2008.
Maksum, Ali, Peluralisme dan Multikultularisme Pardigma Baru
Pendidikan Agama Islam di Indonesia, yogyakarta; Aditya Media Publishing,
2011.
al-Munawara, Said Husain, Fikih Hubungan Antar Agama,
Jakarta: Ciputat Press, 2005
Naim, Ngainun & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa
dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Sanaky, Hujair AH, “Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca
Reformasi Antara Mitos dan Realitas”, www.sanaky.com
Tang, Muhammad (dkk), Pendidikan Multikultural Telaah Pemikiran
dan Implikasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea Press, 2009,
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang;
Teralitera, 2003.
Yakin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural
Understanding, Untuk Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Lintubesang Muammad Ali, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural
dalam Buku ajar Kebudayaan Sejarah Islam, Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan
Kalijaga, 2011
Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya
di Indonesia, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 1999.
[1]Saifuddin
Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
Semarang; Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm., 196
[2]Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
Yogyakarta; Aditya Media Publishing, 2011, hlm., 26
[3]Choirul Mahfud,
Pendidikan Multikultural, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008, hlm.,
175-176
[4]Zakiyuddin
Baidhaway, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta; Erlangga,
TTh, hlm., 2
[5] H.A.R. Tilaar,
Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003, hlm., 164-165
[6] Ibid.,
hlm.,165
[8] Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme... hlm. 203
[9]H.A.R. Tilaar, Kekuasaan
dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003, hlm., 170-171
[11] Ibid.,
hlm., 171-172
[12]Hujair AH. Sanaky, “Paradigma
Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas”,
www.sanaky.com du inggah Pada Tanggal 27 Feb 2013
[13] M. Ainul
Yakin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding, Untuk
Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta:
Pilar Media, 2007, hlm., 3-4
[14] Muhammad Tang
(dkk), Pendidikan Multikultural Telaah Pemikiran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea Press, 2009, hlm, 1
[15] Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme... hlm.205
[16]Mahmud Arif , pendidikan
Islam Inklusif-Multikultural, Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Vol. I, Nomor I, Juni 2012, hlm. 5
[17] Mahmud Arif , pendidikan
Islam
[18] Ngainun Naim
& Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Hlm. 215-218.
[19] Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme... hlm., 266
[20] Ibid.,
hlm., 266
[22] Ibid.,
hlm., 272
[23]Abd. Rahman
Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondidi, Kasus dan Konsep,
Yogyakarta; Tara Wacana, 2004, hlm., 148
[24] Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme... hlm
[25] Machasin, Islam
Dinamis Islam Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS,
2012, hlm., 187
[26]David G.
Gularnic, Wabster’s Word Distionary of American languange, dalam bukunya Said Husain Al-Munawara, Fikih
Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm., 13
[28] Muhammad Ali
Lintubesang, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan
Sejarah Islam, Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011, hlm., 97
[29] John L.
Esposito (ed), Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Dokrin Iman & Realitas
Sosial, terj. M. Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press, 2004, hlm., 106
[30] Ali Maksum, Peluralisme
dan Multikultularisme... hlm., 317
[31] Ibid.,
hlm., 339
[32] Ibid.,
hlm., 340
[33] Ibid.,
hlm., 364-365
Tidak ada komentar:
Posting Komentar