Revitalisasi Pesantren dalam
Tantangan Global
Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat
dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai negara yang berdasarkan
agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelengaraan pendidikan
nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia
merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan mental
spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik
materiil bangsa Indonesia.[1]
Pendidikan bagi kehidupan umat
manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa
pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang
sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia
Islam sangat mementingkan pendidikan.
Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab
akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral.
Sayangnya sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas
dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan
institusi pendidikan
Pendidikan jangan hanya dipandang
sebagai suatu kewajiban. Tetapi juga harus pandai merencanakan, mengorganisir,
mengemas, melaksanakan serta mengevaluasi dan menindaklajutinya secara
bersinergi dan berkeseimbangan[2].
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam di Tanah air mempunyai andil yang sangat besar dalam
pembentukan karakter masyarakat bangsa Indonesia. Negara Indonesia memiliki
banyak daerah-daerah yang berbasis pesantren terutama di pulau jawa dan
pulau-pulau lainya. Dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia memiliki
potensi keberagaman berbagai hal baik kultur, maupun sosial. ( different
culture and social ), yang menyatu dalam kesatuan ( unity diversity ) sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Revitalisasi
Pendidikan Pondok Pesantren
Masyarakat Muslim juga sudah
mulai bergeser ke arah “pragmatis” di dalam pemaknaan terhadap pendidikan.
Orientasi mereka mendidik putera-puterinya di sekolah atau perguruan tinggi
adalah agar dapat memperoleh pekerjaan yang baik. Hal itu disebabkan, antara
lain, kegagalan lembaga-lembaga pendidikan Islam memberikan bekal pengetahuan
tambahan. Pendidikan Islam sejauh ini cenderung berkutat pada penguatan moral
daripada penguatan keterampilan praktis. Bahkan, pengutan moral pun juga
mengalami penurunan kualitas. Masalah moral lebih bersifat kognitif ketimbang
afektif dan psikomotoriknya.[3]
Perjalanan
Pondok Pesantren mengalami perkembangan yang diwarnai dinamika kesinambungan
dan perubahan. Pada masa sebelum kemerdekaaan, boleh dibilang pesantren
mengalami periode keemasan, hal itu ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia, namun dimulai sejak rezim Soeharto sampai
sekarang, eksistensi Pesantren dalam kancah pergaulan nasional mengalami
periode stagnasi dan minim prodeuktifitas yang unggul. Padahal kalau
dibandingkan eksistensi pondok pesantren dulu dengan era sekarang dilihat dari
perannya sangat dibutuhkan sekarang, mengingat era globalisasi mengancam tatanan
norma dan etika dimasyarakat, budaya ketimuran yang dulu menjadi simbol
kepribadian bangsa Indonesia , kini mulai terkikis akibat dari derasnya budaya
barat masuk pada setiap sendi kehiupan masyarakat. Norma dan etika hanyalah
simbol tidak dimanifestasikan dalam kehidupan nyata, hedonisme,
individualistik, materialistik kini yang menjadi trend ditengah-tengah
masyarakat.
Mengangkat
kembali peranan pendidikan pesantren ditengah-tengah masyarakat modern, maka
dunia pesantren harus merevitalisasi kembali pola pendidikannya tanpa merubah
karakteristik dari corak pendidikannya itu sendiri. Dalam hal ini perlu membuat
langkah-langkah startegis sebagai berikut:
Pertama, penguatan nilai-nilai spiritulitas, kecenderungan
spriritulistik dunia pesantren yang tinggi dapat dikembangkan menjadi dinamis,
spiritual ini menampilkan lembaga pendidikan Islam yang berkemajuan, yaitu
kemajuan yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai agama dan ahlak dan
penyeimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, karakter untuk
menampilkan ciri khas semacam itu akan memacu bahwa pesantren sebagai
pendidikan kader pilihan (khaeru Ummah).
Kedua, merevitalisasi kembali peran dan fungsi Kiayi. Perbedaan
dunia pesantren dengan pendidikan formal lainnya adalah figur pengelolanya,
disekolah dipimpin oleh Kepala Sekolah yang harus menjalankan kepemimpinannya
atas dasar keputusan musyawarah dan atas dasar kepemimpinan kolektif koligea,
namun dipesantren seluruh keputusan dan kepemimpinan hanya dijalankan oleh
seorang Kiayi, gaya feodalis dalam hal ini berlaku di pesantren, program
kebijakan semuanya diputuskan oleh Kiayi dan seluruh unsur dilikungan pondok
wajib mengikutinya, apakan program itu dibarengi visi dan misi yang jelas atau
sebaliknya. Penulis dalam hal ini akan memandang maslahat dan mafsadatnya gaya
kepemimpinan semacam itu, maslahatnya adalah:
1. Kewibawaan pimpinan tidak akan lutur
2. Program tidak perlu lama-lama harus
di sosialisasikan, namun praktis dalam waktu singkat bisa dijalankan, karena
ada doktrin yang dibangun dan sangat diyakini oleh wagra pesantren, menyalahi
perintah Kiayi takut kualat alias akan tertimpa hal-hal yang tidak diinginkan
3. Lingkungan pendidikan akan selalu
kondusif
4. Sub-sub yang membantu pendidikan
pesantern akan terarah disatu komando kiayi
Adapun mafsadatnya
dari gaya kepemimpinan Kiayi semacam itu adalah:
1. Demokratisasi di pesantren akan
mengalami kemandegan
2. Suksesi kepemimpinan akan memakan
waktu yang lama
3. Pesantren akan ekslusif tidak
inklusif
4. Para stap yang membantu kiayi tidak
punya program strategis untuk kemajuan pondok
Ketiga, dinamisasi antara perkembangan ilmu pengetahuan agama dan
umum. Di sebagian pondok pesantren (tradisional) masih ada dikotomi antara
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. justru ini akan memperlemah peran dunia
pesantren dalam percaturan global dan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah
formal. Hal ini diakibatkan bahwa pendidikan pondok pesantren lebih menitik
beratkan pada pengetahuan agama dan mengesampingkan pendidikan umum, sebagian
pesantren menganggap bahwa pendidikan umum sebagai bagian dari produk orang
kafir. Apabila stigmatisasi ini masih berlaku dipesantren maka akan
kontradikitif dengan apa yang terjadi dimasyarakat, mereka lebih berorientasi
pada pengetahuan umum untuk mendapatkan jatah lapangan kerja dikemudian hari
dari pada mendalami pendidikan agama yang katanya tidak punya masa depan yang
jelas alias suram.[4]
Keempat, peningkatan pelayanan pesantren pada masyarakat. Sinergitas
pesantren sebagai lembaga yang eksis mendalami ilmu Agama (tafaqquh fiddien)
dengan masyarakat sebagai objek yang memerlukan bimbingan dalam masalah
keagamaan, harus benar-benar terjalin dengan baik. Pondok pesantren jangan
menutup diri dari perkembangan dunia luar (ekslusif) tapi seharusnya membuka
diri pada problematika keummatan (insklusif). Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an: apakah tidak ada seseorang dari golongan kalian yang disiapkan untuk
mendalami ilmu agama, sehingga ia menjadi pengingat (nazir) bagi kaumnya
bilamana mereka pulang dari peperangan. Ayat tersebut sangat jelas memberikan
gambaran bahwa pesantren harus bersinergi dengan masyarakat untuk mengayomi
masalah-masalah keummatan.
Di
era globalisasi ini dimana jangkauan informasi dari berbagai belahan dunia
sudah menjadi satu sejagat (global information), maka perkembangan dalam dunia
khususnya dalam Negara-negara yang maju cepat sekali yang berkaitan dengan
informasi masalah kehidupan manusia baik menyangkut ekonomi, sosial dan budaya.
Gerak ruang dan lingkupnya sangat sedikit sekali sehingga dengan kecanggihan
telekomunikasi yang cepat dan modern mudah diakses yang dilakukan oleh
Negara-negara maju ( modern country ) kenegara lainya. Kita bangsa Indonesia
sebagai Negara berkembang tentu kita akan mendapat imbasnya positif atau
negatifnya, disamping itu kita harus bisa beradaptasi dan berperan aktif dalam
menerima dampak dari system kerja kecanggihan alat komunikasi yang diciptakan
oleh Negara-negara maju itu. Kecanggihan technology modern mempunyai peranan
yang sangat besar sebagai media menciptakan SDM pada masyarakat bangsa kita
Oleh karenanya dengan tekhnologi, kita dapat memanfaatkan dan menggunakanya
dalam pemberdayaan kualitas masyarakat belajar (learning sociaty) yang lebih baik dan maju.
Keberadaan pesantren dewasa ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya (need’s social around), dan masyarakat umum oleh karena itu dengan berbagai media yang dapat menghantarkan aktivitas secara menyeluruh dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada untuk umum misalnya pihak pesantren melakukan kegiatan bakti dakwah dimasyarakat sekitar. Mengadakan penyiaran informasi keagamaan, baik melalui Radio, TV, Bulletin, tabloid atau majalah yang regular dan dalam pesantren harus bisa dan memanfaatkan fasilitas informasi dengan peralatan yang modern sebagai media dalam pemberdayaan SDM masyarakat yang religius pada umumnya.[5]
Keberadaan pesantren dewasa ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya (need’s social around), dan masyarakat umum oleh karena itu dengan berbagai media yang dapat menghantarkan aktivitas secara menyeluruh dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada untuk umum misalnya pihak pesantren melakukan kegiatan bakti dakwah dimasyarakat sekitar. Mengadakan penyiaran informasi keagamaan, baik melalui Radio, TV, Bulletin, tabloid atau majalah yang regular dan dalam pesantren harus bisa dan memanfaatkan fasilitas informasi dengan peralatan yang modern sebagai media dalam pemberdayaan SDM masyarakat yang religius pada umumnya.[5]
Disamping
itu pesantren adalah lembaga pendidikan non pormal yang sangat berperan aktif
dalam mengembangkan dan membangun manusia secara keseluruhan ( totally develop human
) baik dalam pembangunan jasmani maupun rohani yang dapat menumbuhkan
masyarakat yang madani di Indonesia, baldatun tayyibatun ghafur.
Nuansa
pesantren dalam perkembangan secara fisik tentu akan mengalami perkembangan
yang sangat pesat (fast development
building) yang menyangkut
pembangunan-pembangunan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana seiring
dengan perkembangan jaman dewasa ini, akan tetapi perlu dijadikan renungan bagi
para pengelola pendidikan baik formal atau non formal dalam lingkungan pesantren
bahwa secara subtansi bahwa pendidikan pesantren adalah merupakan agen
perubahan terhadap aktivitas masyarakat belajar secara umum sehingga masyarakat
dengan berbagai latar belakang ekonomi berbeda mampu menyerap dan menuntut ilmu
pengetahuan agama atau umum sebagai realisasi atas perintah dan kewajiban
menuntut ilmu sebagai mana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: Mencari ilmu
itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan“. Dan juga
menciptakan masyarakat belajar yang mampu beradaptasi dengan kondisi dan
situasi sesuai dengan perkembangan jaman (sebagai hubungan hablum mina nnas)
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama islam dalam kehidupan
sehari-hari sebagai kewajiban dan tanggung jawab kepada sang khalik (sebagai
hubungan hablum mina Allah), keterkaitan itu semua perlu ada dukungan dari
berbagai pihak baik masyarakat atau pemerintah yang mempunyai kebijakan dalam
mengembangkan dan memberdayakan pendidikan pada seluruh masyarakat bangsa
Indonesia.
Dalam pembacaannya terhadap
dinamika masyarakat global, Azzumardi Azra menegaskan bahwa keunggulan yang
mutlak dimiliki bangsa ini adalah penguasaan sains-teknologi dan keunggulan
kualitas sumber daya manusianya. Penguasaan terhadap sains-teknologi,
sebagaimana terlihat di Amerika, Jepang, Jerman dan negara-negara lain,
menunjukkan bahwa sains-teknologi merupakan salah satu faktor terpenting yang
mengantarkan mereka pada kemajuan.[6] Akan tetapi, sesuai tujuan pembangunan
Indonesia untuk mewujudkan manusia yang sejahtera lahir batin, maka penguasaan
sains-teknologi memerlukan perspektif etis dan panduan moral. Sebab, seperti
juga terlihat dari pengalaman negara-negara maju yang disebutkan tadi, kemajuan
dan penguasaan sains-teknologi yang berlangsung tanpa perspektif etis dan bimbingan
moral akan menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, yang dalam istilah Seyyed
Hossein Nasr telah membuat manusia semakin menjauh dari pusat
eksistensial-spiritualnya.
Mempertimbangkan kenyataan ini,
pembangunan dan penguasaan sains-teknologi di Indonesia seyogyanya berlandaskan
pada wawasan moral etis. Jika tidak, maka Indonesia hanya akan mengulangi
pengalaman pahit yang muncul sebagai dampak negatif sains-teknologi yang tidak
memiliki wawasan tersebut. Di sinilah letak tanggungjawab kemanusiaan kita
untuk mengembangkan sains-teknologi tidak untuk diri sendiri, tetapi
sains-teknologi yang memiliki wawasan moral etis.
Dalam konteks inilah, pesantren
mengemban tugas yang semakin berat. Sebagai institusi pendidikan yang berbasis
nilai-nilai keislaman, pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam transfer
of (Islamic) values dan sekiligus transfer of science and technology. Padahal,
pesentren sendiri hingga saat ini masih bergelut dengan sekian permasalahan
yang tak kunjung selesai, seperti minimnya upaya pembaharuan, hampir tidak
menyentuk ilmu-ilmu modern, pembelajaran yang masih bernuasa banking
education, dan orientasi yang cenderung mengutamakan pembentukan ‘abdullah
daripada keseimbangan antara ‘abdullah dan khalifatullah fi
al-ardl.
[7]
Karenanya, dalam rangka
mewujudkan pesantren yang peka zaman perlu ditetapkan program manajemen
pesantren yang meliputi empat unsur berikut.[8]
Pertama, pesantren review, yaitu suatu proses yang di dalamnya seluruh
pihak madrasah bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan untuk mengevaluasi
dan menilai efektivitas kebijaksanaan pesantren, program, pelaksanaannya serta
mutu lulusannya. Melalui pesantren review diharapkan akan dapat
menghasilkan suatu laporan yang membeberkan kelemahan-kelemahan,
kekuatan-kekuatan dan prestasi pesantren serta memberikan rekomendasi untuk
menyusun perencanaan strategis pengembangan pesantren pada masa-masa mendatang,
tiga atau lima tahun berikutnya.
Kedua, quality assurance, yaitu sebagai
jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan standar
dan prosedur yang ditetapkan. Dengan demikian diharapkan dengan proses itu akan
menghasilkan output yang memenuhi standar pula. Untuk itu diperlukan mekanisme
kontrol agar semua kegiatan yang dilaksanakan di pesantren terkondisi dalam
standar proses yang ideal tadi. Dengan quality insurance ini pihak
pengurus dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa pesantrennya senantiasa
memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh santri-santrinya.
Ketiga, quality control, yaitu suatu
sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak
sesuai dengan standar. Standar kualitas ini dapat dipergunakan sebagai tolak
ukur untuk mengetahui maju mundurnya pesantren. Semua pesantren baik salaf
maupun khalaf dapat melakukan quality control.
Keempat, bench marking, yaitu kegiatan
untuk menetapkan suatu standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai pada
periode tertentu. Untuk kepentingan praktis standar tersebut direfleksikan dari
realitas yang ada seperti dalam hal perilaku mengajar ustadz/ustadzah, standar
yang ditetapkan adalah dengan merefleksikan salah seorang guru yang dikenal (internal
bench marking), baik dalam mengajarnya, demikian pula dalam hal standar
kualitas pendidikan, direfleksikan dari suatu pesantren sekolah yang baik (external
bench marking)
Malik Fadjar mengingatkan bahwa
mengelola suatu lembaga pendidikan, seperti pesantren, bukanlah pekerjaan
mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian
“mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara
sistematik dan sistemik, yang mengikuti aspek ideologis (visi dan misi),
kelembagaan dan langkah operasionalnya serta mencerminkan pertumbuhan (growth),
perubahan (change), dan pembaruan (reform).[9]
Sekedar mempertahankan, lanjut
Fadjar, mungkin relatif lebih mudah untuk dilakukan. Tetapi penyikapan terhadap
pendidikan yang cenderung status quo akan segera mendatangkan petaka
bagi pesantren. Secara perlahan tapi pasti, pesantren semacam ini akan
tertinggal dalam buritan sejarah, karena ketidakmampuannya mengadakan hubungan
dialektis dengan zaman dan realitas yang selalu menuntut sikap transformatif.
Referensi
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hery Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008.
Ahmad Darmadji,
“Pendidikan Islam dan Pembangunan Sumber Daya Manusia,” dalam Musleh Usa dan
Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta:
Aditya Media, 1997
http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/05/revitalisasi-pendidikan-pondok.html, diakses pada Tanggal 16 September 2014
http://kasmad530.blogspot.com/2010/08/eksistensi-pesantren-di-era-globalisasi.html diakses
pada Tanggal 18 September 2014
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium, Ciputat:
Kalimah, 2001,
Abd. Rachman
Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,” dalam
Imam Mahalli dan Musthofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004.
A. Malik Fadjar,
Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1998,.
.
[1] Hanun Asrorah,
Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm., 181
[2]Hery Jauhari Muchtar, Fikih
Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2008, hlm., 1
[3] Ahmad Darmadji, “Pendidikan Islam dan Pembangunan
Sumber Daya Manusia,” dalam Musleh Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997. Hlm.192.
[4]
http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/05/revitalisasi-pendidikan-pondok.html, diakses pada Tanggal 16 September 2014
[5] http://kasmad530.blogspot.com/2010/08/eksistensi-pesantren-di-era-globalisasi.html diakses
pada Tanggal 18 September 2014
[6] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium, Ciputat: Kalimah, 200, hlm. 46
[7]Abd. Rachman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan
Islam di Era Globalisasi,” dalam Imam Mahalli dan Musthofa
(ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta:
Ar-Ruz, 2004, hlm. 8-9
[9]A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas,
Bandung: Mizan, 1998, hlm. 91