Selasa, 30 September 2014

Revitalisasi Pesantren dalam Tantangan Global

Revitalisasi Pesantren dalam Tantangan Global
Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai negara yang berdasarkan agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelengaraan pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik materiil bangsa Indonesia.[1]
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan
Pendidikan jangan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban. Tetapi juga harus pandai merencanakan, mengorganisir, mengemas, melaksanakan serta mengevaluasi dan menindaklajutinya secara bersinergi dan berkeseimbangan[2].
 Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Tanah air mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakter masyarakat bangsa Indonesia. Negara Indonesia memiliki banyak daerah-daerah yang berbasis pesantren terutama di pulau jawa dan pulau-pulau lainya. Dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia memiliki potensi keberagaman berbagai hal baik kultur, maupun sosial. ( different culture and social ), yang menyatu dalam kesatuan ( unity diversity ) sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Revitalisasi Pendidikan Pondok Pesantren
Masyarakat Muslim juga sudah mulai bergeser ke arah “pragmatis” di dalam pemaknaan terhadap pendidikan. Orientasi mereka mendidik putera-puterinya di sekolah atau perguruan tinggi adalah agar dapat memperoleh pekerjaan yang baik. Hal itu disebabkan, antara lain, kegagalan lembaga-lembaga pendidikan Islam memberikan bekal pengetahuan tambahan. Pendidikan Islam sejauh ini cenderung berkutat pada penguatan moral daripada penguatan keterampilan praktis. Bahkan, pengutan moral pun juga mengalami penurunan kualitas. Masalah moral lebih bersifat kognitif ketimbang afektif dan psikomotoriknya.[3]
Perjalanan Pondok Pesantren mengalami perkembangan yang diwarnai dinamika kesinambungan dan perubahan. Pada masa sebelum kemerdekaaan, boleh dibilang pesantren mengalami periode keemasan, hal itu ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, namun dimulai sejak rezim Soeharto sampai sekarang, eksistensi Pesantren dalam kancah pergaulan nasional mengalami periode stagnasi dan minim prodeuktifitas yang unggul. Padahal kalau dibandingkan eksistensi pondok pesantren dulu dengan era sekarang dilihat dari perannya sangat dibutuhkan sekarang, mengingat era globalisasi mengancam tatanan norma dan etika dimasyarakat, budaya ketimuran yang dulu menjadi simbol kepribadian bangsa Indonesia , kini mulai terkikis akibat dari derasnya budaya barat masuk pada setiap sendi kehiupan masyarakat. Norma dan etika hanyalah simbol tidak dimanifestasikan dalam kehidupan nyata, hedonisme, individualistik, materialistik kini yang menjadi trend ditengah-tengah masyarakat.
Mengangkat kembali peranan pendidikan pesantren ditengah-tengah masyarakat modern, maka dunia pesantren harus merevitalisasi kembali pola pendidikannya tanpa merubah karakteristik dari corak pendidikannya itu sendiri. Dalam hal ini perlu membuat langkah-langkah startegis sebagai berikut:
Pertama, penguatan nilai-nilai spiritulitas, kecenderungan spriritulistik dunia pesantren yang tinggi dapat dikembangkan menjadi dinamis, spiritual ini menampilkan lembaga pendidikan Islam yang berkemajuan, yaitu kemajuan yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai agama dan ahlak dan penyeimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, karakter untuk menampilkan ciri khas semacam itu akan memacu bahwa pesantren sebagai pendidikan kader pilihan (khaeru Ummah).
Kedua, merevitalisasi kembali peran dan fungsi Kiayi. Perbedaan dunia pesantren dengan pendidikan formal lainnya adalah figur pengelolanya, disekolah dipimpin oleh Kepala Sekolah yang harus menjalankan kepemimpinannya atas dasar keputusan musyawarah dan atas dasar kepemimpinan kolektif koligea, namun dipesantren seluruh keputusan dan kepemimpinan hanya dijalankan oleh seorang Kiayi, gaya feodalis dalam hal ini berlaku di pesantren, program kebijakan semuanya diputuskan oleh Kiayi dan seluruh unsur dilikungan pondok wajib mengikutinya, apakan program itu dibarengi visi dan misi yang jelas atau sebaliknya. Penulis dalam hal ini akan memandang maslahat dan mafsadatnya gaya kepemimpinan semacam itu, maslahatnya adalah:
1.      Kewibawaan pimpinan tidak akan lutur
2.      Program tidak perlu lama-lama harus di sosialisasikan, namun praktis dalam waktu singkat bisa dijalankan, karena ada doktrin yang dibangun dan sangat diyakini oleh wagra pesantren, menyalahi perintah Kiayi takut kualat alias akan tertimpa hal-hal yang tidak diinginkan
3.      Lingkungan pendidikan akan selalu kondusif
4.      Sub-sub yang membantu pendidikan pesantern akan terarah disatu komando kiayi
Adapun mafsadatnya dari gaya kepemimpinan Kiayi semacam itu adalah:
1.      Demokratisasi di pesantren akan mengalami kemandegan
2.      Suksesi kepemimpinan akan memakan waktu yang lama
3.      Pesantren akan ekslusif tidak inklusif
4.      Para stap yang membantu kiayi tidak punya program strategis untuk kemajuan pondok
Ketiga, dinamisasi antara perkembangan ilmu pengetahuan agama dan umum. Di sebagian pondok pesantren (tradisional) masih ada dikotomi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. justru ini akan memperlemah peran dunia pesantren dalam percaturan global dan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah formal. Hal ini diakibatkan bahwa pendidikan pondok pesantren lebih menitik beratkan pada pengetahuan agama dan mengesampingkan pendidikan umum, sebagian pesantren menganggap bahwa pendidikan umum sebagai bagian dari produk orang kafir. Apabila stigmatisasi ini masih berlaku dipesantren maka akan kontradikitif dengan apa yang terjadi dimasyarakat, mereka lebih berorientasi pada pengetahuan umum untuk mendapatkan jatah lapangan kerja dikemudian hari dari pada mendalami pendidikan agama yang katanya tidak punya masa depan yang jelas alias suram.[4]
Keempat, peningkatan pelayanan pesantren pada masyarakat. Sinergitas pesantren sebagai lembaga yang eksis mendalami ilmu Agama (tafaqquh fiddien) dengan masyarakat sebagai objek yang memerlukan bimbingan dalam masalah keagamaan, harus benar-benar terjalin dengan baik. Pondok pesantren jangan menutup diri dari perkembangan dunia luar (ekslusif) tapi seharusnya membuka diri pada problematika keummatan (insklusif). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: apakah tidak ada seseorang dari golongan kalian yang disiapkan untuk mendalami ilmu agama, sehingga ia menjadi pengingat (nazir) bagi kaumnya bilamana mereka pulang dari peperangan. Ayat tersebut sangat jelas memberikan gambaran bahwa pesantren harus bersinergi dengan masyarakat untuk mengayomi masalah-masalah keummatan.
Di era globalisasi ini dimana jangkauan informasi dari berbagai belahan dunia sudah menjadi satu sejagat (global information), maka perkembangan dalam dunia khususnya dalam Negara-negara yang maju cepat sekali yang berkaitan dengan informasi masalah kehidupan manusia baik menyangkut ekonomi, sosial dan budaya. Gerak ruang dan lingkupnya sangat sedikit sekali sehingga dengan kecanggihan telekomunikasi yang cepat dan modern mudah diakses yang dilakukan oleh Negara-negara maju ( modern country ) kenegara lainya. Kita bangsa Indonesia sebagai Negara berkembang tentu kita akan mendapat imbasnya positif atau negatifnya, disamping itu kita harus bisa beradaptasi dan berperan aktif dalam menerima dampak dari system kerja kecanggihan alat komunikasi yang diciptakan oleh Negara-negara maju itu. Kecanggihan technology modern mempunyai peranan yang sangat besar sebagai media menciptakan SDM pada masyarakat bangsa kita Oleh karenanya dengan tekhnologi, kita dapat memanfaatkan dan menggunakanya dalam pemberdayaan kualitas masyarakat belajar (learning sociaty) yang lebih baik dan maju.
Keberadaan pesantren dewasa ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya (need’s social around), dan masyarakat umum oleh karena itu dengan berbagai media yang dapat menghantarkan aktivitas secara menyeluruh dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada untuk umum misalnya pihak pesantren melakukan kegiatan bakti dakwah dimasyarakat sekitar. Mengadakan penyiaran informasi keagamaan, baik melalui Radio, TV, Bulletin, tabloid atau majalah yang regular dan dalam pesantren harus bisa dan memanfaatkan fasilitas informasi dengan peralatan yang modern sebagai media dalam pemberdayaan SDM masyarakat yang religius pada umumnya.[5]
Disamping itu pesantren adalah lembaga pendidikan non pormal yang sangat berperan aktif dalam mengembangkan dan membangun manusia secara keseluruhan ( totally develop human ) baik dalam pembangunan jasmani maupun rohani yang dapat menumbuhkan masyarakat yang madani di Indonesia, baldatun tayyibatun ghafur.
Nuansa pesantren dalam perkembangan secara fisik tentu akan mengalami perkembangan yang sangat pesat (fast development building) yang menyangkut pembangunan-pembangunan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana seiring dengan perkembangan jaman dewasa ini, akan tetapi perlu dijadikan renungan bagi para pengelola pendidikan baik formal atau non formal dalam lingkungan pesantren bahwa secara subtansi bahwa pendidikan pesantren adalah merupakan agen perubahan terhadap aktivitas masyarakat belajar secara umum sehingga masyarakat dengan berbagai latar belakang ekonomi berbeda mampu menyerap dan menuntut ilmu pengetahuan agama atau umum sebagai realisasi atas perintah dan kewajiban menuntut ilmu sebagai mana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan“. Dan juga menciptakan masyarakat belajar yang mampu beradaptasi dengan kondisi dan situasi sesuai dengan perkembangan jaman (sebagai hubungan hablum mina nnas) memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai kewajiban dan tanggung jawab kepada sang khalik (sebagai hubungan hablum mina Allah), keterkaitan itu semua perlu ada dukungan dari berbagai pihak baik masyarakat atau pemerintah yang mempunyai kebijakan dalam mengembangkan dan memberdayakan pendidikan pada seluruh masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam pembacaannya terhadap dinamika masyarakat global, Azzumardi Azra menegaskan bahwa keunggulan yang mutlak dimiliki bangsa ini adalah penguasaan sains-teknologi dan keunggulan kualitas sumber daya manusianya. Penguasaan terhadap sains-teknologi, sebagaimana terlihat di Amerika, Jepang, Jerman dan negara-negara lain, menunjukkan bahwa sains-teknologi merupakan salah satu faktor terpenting yang mengantarkan mereka pada kemajuan.[6] Akan tetapi, sesuai tujuan pembangunan Indonesia untuk mewujudkan manusia yang sejahtera lahir batin, maka penguasaan sains-teknologi memerlukan perspektif etis dan panduan moral. Sebab, seperti juga terlihat dari pengalaman negara-negara maju yang disebutkan tadi, kemajuan dan penguasaan sains-teknologi yang berlangsung tanpa perspektif etis dan bimbingan moral akan menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, yang dalam istilah Seyyed Hossein Nasr telah membuat manusia semakin menjauh dari pusat eksistensial-spiritualnya.
Mempertimbangkan kenyataan ini, pembangunan dan penguasaan sains-teknologi di Indonesia seyogyanya berlandaskan pada wawasan moral etis. Jika tidak, maka Indonesia hanya akan mengulangi pengalaman pahit yang muncul sebagai dampak negatif sains-teknologi yang tidak memiliki wawasan tersebut. Di sinilah letak tanggungjawab kemanusiaan kita untuk mengembangkan sains-teknologi tidak untuk diri sendiri, tetapi sains-teknologi yang memiliki wawasan  moral etis.
Dalam konteks inilah, pesantren mengemban tugas yang semakin berat. Sebagai institusi pendidikan yang berbasis nilai-nilai keislaman, pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam transfer of (Islamic) values dan sekiligus transfer of science and technology. Padahal, pesentren sendiri hingga saat ini masih bergelut dengan sekian permasalahan yang tak kunjung selesai, seperti minimnya upaya pembaharuan, hampir tidak menyentuk ilmu-ilmu modern, pembelajaran yang masih bernuasa banking education, dan orientasi yang cenderung mengutamakan pembentukan ‘abdullah daripada keseimbangan antara ‘abdullah dan khalifatullah fi al-ardl. [7]
Karenanya, dalam rangka mewujudkan pesantren yang peka zaman perlu ditetapkan program manajemen pesantren yang meliputi empat unsur berikut.[8] Pertama, pesantren review, yaitu suatu proses yang di dalamnya seluruh pihak madrasah bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijaksanaan pesantren, program, pelaksanaannya serta mutu lulusannya. Melalui pesantren review diharapkan akan dapat menghasilkan suatu laporan yang membeberkan kelemahan-kelemahan, kekuatan-kekuatan dan prestasi pesantren serta memberikan rekomendasi untuk menyusun perencanaan strategis pengembangan pesantren pada masa-masa mendatang, tiga atau lima tahun berikutnya.
Kedua, quality assurance, yaitu sebagai jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan. Dengan demikian diharapkan dengan proses itu akan menghasilkan output yang memenuhi standar pula. Untuk itu diperlukan mekanisme kontrol agar semua kegiatan yang dilaksanakan di pesantren terkondisi dalam standar proses yang ideal tadi. Dengan quality insurance ini pihak pengurus dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa pesantrennya senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh santri-santrinya.
Ketiga, quality control, yaitu suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Standar kualitas ini dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui maju mundurnya pesantren. Semua pesantren baik salaf maupun khalaf dapat melakukan quality control.
Keempat, bench marking, yaitu kegiatan untuk menetapkan suatu standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai pada periode tertentu. Untuk kepentingan praktis standar tersebut direfleksikan dari realitas yang ada seperti dalam hal perilaku mengajar ustadz/ustadzah, standar yang ditetapkan adalah dengan merefleksikan salah seorang guru yang dikenal (internal bench marking), baik dalam mengajarnya, demikian pula dalam hal standar kualitas pendidikan, direfleksikan dari suatu pesantren sekolah yang baik (external bench marking)
Malik Fadjar mengingatkan bahwa mengelola suatu lembaga pendidikan, seperti pesantren, bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian “mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara sistematik dan sistemik, yang mengikuti aspek ideologis (visi dan misi), kelembagaan dan langkah operasionalnya serta mencerminkan pertumbuhan (growth), perubahan (change), dan pembaruan (reform).[9]
Sekedar mempertahankan, lanjut Fadjar, mungkin relatif lebih mudah untuk dilakukan. Tetapi penyikapan terhadap pendidikan yang cenderung status quo akan segera mendatangkan petaka bagi pesantren. Secara perlahan tapi pasti, pesantren semacam ini akan tertinggal dalam buritan sejarah, karena ketidakmampuannya mengadakan hubungan dialektis dengan zaman dan realitas yang selalu menuntut sikap transformatif.


 
Referensi
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hery Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan,  Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008.
Ahmad Darmadji, “Pendidikan Islam dan Pembangunan Sumber Daya Manusia,” dalam Musleh Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium, Ciputat: Kalimah, 2001,
Abd. Rachman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, dalam Imam Mahalli dan Musthofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004.
Babun Suharto,  http://pps.iainuruljadid.ac.id/?p=120 diakses pada Tanggal 18 September 2014
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1998,.


.                         





[1] Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm., 181
[2]Hery Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan,  Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008, hlm., 1
[3] Ahmad Darmadji, “Pendidikan Islam dan Pembangunan Sumber Daya Manusia,” dalam Musleh Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997. Hlm.192.

[6] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium, Ciputat: Kalimah, 200, hlm. 46

[7]Abd. Rachman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, dalam Imam Mahalli dan Musthofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004, hlm. 8-9
[8]Babun Suharto,  http://pps.iainuruljadid.ac.id/?p=120 diakses pada Tanggal 18 September 2014
[9]A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 91