Jumat, 31 Mei 2013

Paradigma Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural

A.  Pengantar
Sejarah khasana pemikiran pendidikan Islam merupakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu kewaktu. Mulai lahirnya Islam sampai sekarang. Bersama diketahui bahwa Islam hadir di Indonesia dibawa oleh para pedagan, bukan para tentara atau teroris. Bila dilacak akar sejarahnya, proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam melalui bermacam-macam cara dan media, misalnya, hubungan perdagangan atau jual beli, kontak perkawinan dan media dakwah secara lansung, baik individu maupun kolektif.[1]
Fenomena yang paling menonjol di Indonesia diera reformasi ini adalah kekerasan antar kelompok beragama. Kenyataan tersbut mengundang makna bahwa masih banyak hal yang perlu dipikrkan kembali dalam soal keberagamaan umat, Rasulullah, saw. mengajarkan perinsip intergrasi sosial untuk membangaun sebuah masyarakat yang madani.[2] Islam menjadikan rujukan nilai, pengetauan dan tindakan bagi para penganutnya untuk berta’aruf dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat yang berbeda latar belakang agama, sosial dan budaya.
Untuk membangun pendidikan atau pembelajaran pendididkan Islam yang berwawasan inklusif-multikultural para pendidik harus mempunyai  intergritas moralitas yang tinggi dengan mengedepankan etika-akhlaknya sebagai bagian integral dengan keperibadiannya. Serta pendidik memiliki pengertian yang mendalam dan juga memiliki felling yang tinggi dalam menganalisa terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum, baru kemudian, para pendidik ini harus membantu siswanya untuk jadi sadar akan penting memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya dibidang keagamaan.
Dengan demikian, perlu proses penyadaran di antara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut dengan kerukunan dan perdamaian.
B.  Mendialogkan Pendidikan Multultural dengan Pendidikan Agama islam
1.       Hakikat Pendidikan  Multikultural
a.      Pengertian Pendidikan Multikultural
Choirul Mahfud, dalam bukunya pendidikan multikultural,  mengutrakan beberapa pendapat para ahli mengenai maksud pendidikan multikultural. Andersen  dan Cusher, sebagaimana yang dikutip, memaknai pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Menurut james Banks pendidikan multikultural adalah untuk People of color, serah dengan pendapat di atas, Muhaimin el-Ma’hadi mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demegrafis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.[3]
Pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mnegajarkan kergaman (teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki rasionalitas, etis, intelektual, sosial pragmatis inter-relatif; yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme dan saling menghargai semua orang dan kebudayaan merupakan imperatif humanistik yang menjadi prasyarat bagi kehidupan etis dan partisipasi  sipil secara penuh dalam demokrasi multikultural dan dunia yang beragam, mengintegrasikan studi tentang fakta-fakta, sejarah kebudayaan, nilai-nilai, struktur, perspektif, dan kontribusi semua kelompok kedalam kurikulum sehingga dapat membangun pengetahuan yang lebih kaya, kompleks, dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di dalam melintasi konteks waktu ruang dan kebudayaan tertentu.[4]
Meskipun cukup bergam definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pendidikan multikultural, namun satu sama lain tidak ada yang berbenturan dalam memamkanai pendidikan multikultural tersebut, tetapi dianggap saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Dari beberapa pemaknaan di atas dapat di pahami bahwa pendidikan multikultural hadir di tengah-tengah pendidikan sebagai konsekuensi logis yang diharapkan dapat menegahai berbagai persoalan yang berspektif, soial, budaya politik dan agama.
b.      Latar Belakang dan Perkembangan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sudah sejak lama dikembangkan di Eropa, Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Di negara-negara bekas jajahan muncullah gerakan yang disebut poskolonialisme yang melihat aib dari peraktik-peraktik kolonial yang membedakan harkat manusia. Dalam pandangan ada spermasi kulit hitam dan kulit putih sehingga menimbulkan reaksi terhadap pandangan biner ini seperti munculnya gerakan orientalisme dan gerakan poskolonialisme lainnya.[5]
Bagaimankah dengan keadaan di Indonesia? Sebenarnya indonesia di dalam gerakan kemerdekaannya sejak kebangkitan nasional telah menunjukkan upaya membangun masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan kesetaraan kultural. Proses ini terus berlanjut samapai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kita lihat wacana multikutural muncul, mislanya pada waktu penyusunan pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ketika pada 18 Agustus 1945 Bung Hatta menolak dimasukkannya tujuh suku kata dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 hal ini menunjukkan kesepakatan para pemimpin rakyat Indonesia terhadap kebhinekaa bangsa dan eksistensi kebudayaan masyarakat Indonesia. Pandangan multikulturalisme ini juga tergambar dalam amandemen UUD 1945 melalui TAP MPR Tahun 2002 yang menyatakan bahwa seluruh  pembukaan UUD 1945 diterima tampa amandemen[6]
Pandangan multikulturaslisme dalam  masyarakat Indonesia ini belum dijalankan sepenuhnya sebagaimana dalam lambang Negara kita Bhineka Tunggak Ika. Kita melihat dalam perkembangan dari masa ke-masa dari orde lama, orde baru samapai orde Reformasi yang membawa angin Demokrasi telah kembali menghidupkan wacana pendidikan multikulturalisme sebagai kekuatan bangsa Indonesia.
Pendidikan multikultural untuk Indenesia memang baru kita mulai, kita belum punya pengalaman hal ini. Apalagi otnomisasi daerah baru kita cobakan. Oleh sebab itu diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia.[7]
2.      Menggagas Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Kesadaran multikulturalisme masyarakat kita yang terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan.[8] Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk persahabatan antar siswa yang beraneka ragam suku, ras dan agama, mengembangkan sikap saling memahami serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak diharapkan oleh banyak pihak dalam rangka untuk mengantisipasi konflik sosial-keagamaan menju perdamaian.
Konsep dasar pendidikan multikultural dikatakan oleh bennet terdiri dari dua hal, yaitu nilai-nilai inti (core values) dari pendidikan multikultural dan tujuan pendidikan multikultural. Bennet secara tegas menyebutkan bahwa niali-nilai dari pendidikan multikultural, antara lain,  a) apresiasi terhadap realitas budaya di dalam masyarakat dengan pluralitasnya; b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; c) kesadaran dan pengembangan tanggungjawab dari masyarakat; d) kesadaran dan pengembangan tanggungjawab manusia terhadsap alam raya.[9] Selanjutnya dikatakan oleh Tilaar, bahwa inti permasalahan pada pendidikan multikultural terkait dengan permasalahan keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia.[10]
Dari dua pendapat di atas dapat dimengerti bahwa inti dari pendidikan multikultural setidaknya mencakup hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan toleraqnsi terhadap sesama manusia  maupun terhadap kedamaian dan keselamatan.
Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut di atas maka dirumuskan tujuan pendidikan multikultural. Disebutkan oleh Tilaar bahwa terdapat enam tujuan pendidikan multikultural yaitu:
1.    Pengembangan presfektif sejarah yang bergam.
2.    Memperkuat kesadaran budaya yang terdapat dalam masyarakat.
3.    Memperkuat kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup dalam  msyarakat.
4.    Menghilangkan rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka.
5.    Mengembangkan kesadaran terhadap kepemilikan pelanet bumi seisinya.
6.    Mengembangkan keterampilan aksi sosial.[11]
a.    Landasan Kultural Pendidikan
Perbedaan budaya, agama, aspirasi poltik, kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan Interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi Negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalisme[12]
Menurut Alwi Syihab yang dikutip dari bukunya ainul yakin. Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga meneganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaaan.[13]  
1.    Landasan Epistimologi Pendidikan multikultural
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diciptakan dalam keberagaman, perbedaan dan kesederajatan. Melihat realitas kehidupan manusia banyak yang tidak menyadari akan esensi dirinya. Hal ini hampir terlihat dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia banyak terjadi komflik dan pertumpahan darah seperti mulai zaman Qabil dan Habil samapi pada zaman sekarang maraknya terorisme yang mengnggap dirinya paling benar.[14] Terjadinya pertumpahan darah tersebut, karena antara manusia lainnya tidak menerima atau mengakui perbedaan, keberagaman, dan kesederajatan.
Kemudian dalam dunia pragmatis; dunia Indonesia sebagai sebuah negara  multikultur adalah sebuah realitas yang tidak terbantahkan, multikulturalisme telah menjadi poaradigma yang tidak saja mengandaikan hadirnya keberagaman ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnya kedalam sebuah bejana sosial budaya yang selalu berubah-ubah dan mencair.
2.    Landasan Yuridis Pendidikan Multikultural
Secara implisit pendidikan multikultural (PM) terkandung dalam pasal 4 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”.
Multikultural mengandung arti mengakui adanya keragaman/perbedaan termasuk dalam agama/ keberagamaan, mengakui kesederajatan dan perlunya membangun pola hubungan “saling menghargai”, termasuk antara mayoritas dan minoritas, serta mengembangkan “identitas bersama” (semisal nasionalisme-keindonesiaan) dlm keragaman yg ada demi kerukunan hidup dan persatuan, sebagaimana tercermin dlm asas Bhineka Tunggal Ika.
Pembangunan pendidikan nasional perlu menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung pada budaya bangsa. Budaya bangsa tersebut meniscayakan pemahaman terhadap tradisi daerah yang tidak boleh dihilangkan dalam proses pembelajaran.[15] Proses belajar mengajar perlu menempatkan pendidikan berbasis multikultural yang menghargai dan melestarikan identitas nasional.
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang Muslim adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia, atau agama yang “mendunia” karena risalahnya sebagai rahmat bagi semesta alam. Sejarah menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran.Itulah manifestasi konkret nilainilai madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit, masyarakat madani, Masa Keemasan dunia Islam dan masa awal Islam dahulu.[16]
Salah satu upaya mewujudkan hubungan yang harmonis adalah melalui kegiatan pendidikan multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan kearifan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perilaku (mode of action) peserta didik terhadap keragaman agama, budaya dan masyarakat. Dengan pengertian itu, pendidikan multikultural bisa mancakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang “mengindonesia” karena responsif terhadap peluang dan tantangan kemajemukan agama, budaya, dan masyarakat Indonesia. Tentu saja pendidikan multikultural di sini tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan juga “pendidikan religiusitas”.[17]
b.      Pendekatan dalam Pendidkan Multikultural
Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam dikembangkan dalam rangka mengajarkan pendidikan agama yang diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pluralitas-multikultural pada peserta didik di antaranya :
1.        Pendekatan historis, pendekatan ini mengandaikan bahwa materi penddikan agama yang diajarkan kepada peserta didik dengan menengok kembali kebelakang maksudnya adalah agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka pikir yang komplik untuk bisa merefleksikannya pada masa sekrang dan mendatang. Pendidikan dengan pendekatan historis harus dilakukan secara kritis dan dinamis, dalam pengertian bahwa seorang pendidik harus mampu menjadikan peserta didik sebagai pihak yang memiliki kedudukan sama sehingga berhak mengkritik pendidikan atas yang telah dikemukakan.
2.        Pendekatan sisiologis, pendekatan ini mengandaikan terjadinya “kontekstualisasi” atas apa yang pernah menjadi sebelumnya. Dalam kerangka berpikir Islam, kontekstualisasi diidentikkan dengan ijtihad. Dengan pendekatan sosiologis pendidikan agama akan menjadi lebih aktual . aktualitas memang selaras dengan dinamikan dan kebutuhan zaman, namun bukan aktualitas yang dipaksakan.
3.        Pendekatan kultural, pendekatan ini merupakan pendekatan dalam pendidikan aqidah yang menekankan aspek autentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan kultural, peserta didik akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan yang mana autentik atau orsinil. Pendekatan ini akan bermanfaat untuk menyelidiki  secara mendalam  berkaitan dengan masih bercampunr aduknya antara yang orsinil dengan tradisi-tradisi Arabia, sehingga ummat Islam banyak yang salah memahami antara yang tradisi dengan islam.
4.        Pendekatan psikologis, pendekatan ini untuk memperhatikan situasi psikologi/kejiwaan secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya.
5.        Pendekatan estetik, pendekatan estetik dalam pendidikan agama akan memnjadikan peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai ramah dan mencintai keindahan dalam prespektif ini, pelajaran agama Islam tidak didekati dengan secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas–otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni dan estetika.
6.        Pendekatan berprespektif gender, pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin. Dengan demikian pendekatan ini sangat manusiawi.
7.        Pendekatan filosfis, pendekatan ini menekankan pentingnya menghargai akal manusia. akal pikiran merupakan potensi besar manusia yang dapat didayagunakan sebagai alat untuk menyingkap dan menggali hikmah dari realitas. Filsafat bersumber dari  akal sehat dengan merenungkan secara mendalam terhadap segala hal yang berkaitan dengan manusia, alam kehidupan dan Tuhan.[18]
Selain itu pentingnya memformulasikan kembali kurikulum  Pendidikan Agama Islam dengan menampakkan wajah Islam yang toleran dapat dijelaskan dari sudut pandang filsafat perenialisme, esensialisme dan progresifisme. Agar tercipta suasana belajar yang tercermin nalai-nalai kemanusian yang tidak menghilangkan budaya sebagai ciri khas dan kekayaan budaya bangsa, tetapi tetap memperhatikan nilai-nilai Islam.
c.       Nilai-nilai Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
1.      Nilai Andragogi
Ivin Ilic dalam artikelnya sebagaina yang dikutip Puryanto (2006) meneganrai bahwa “ sekolah lebih berbahaya daripada nukli”. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah”. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekedar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ini menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.[19]
Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekedar ungkapan yang bertendensi pada sikap yang nyeleneh, melainkan fakta yang melatar belakanginya. Ilic saat itu melihat semua sekolah di berbagai negara terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan pada tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari nominasi budaya ini kemudian melahirkan satu corak pendidikan yang hanya sekedar agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sisten relasi kekuasaan.[20]
Pada sekolah atau pendidikan diharapkan mampu mengubah keterpurukan manusia dari berbagai sudut yang mengakibatkan di ambang kehancuran. knowles (1970) menggambarkan murid sebagai dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan ataupun mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Funsi guru adalah sebagai fasilitator bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antarguru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.[21] Pendidikan kemudian menjadi sarana bagi ajang kreatifitas, minat dan bakat peserta didik, visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagaiman pentingnya menbangun kehidupan yang humanis
2.      Nilai Perdamaian
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin mempunyai misi menyebarkan kedamaian bagi semua ummat manusia. Islam melarang jihad terhadap orang-orang non-Muslim yang menyatakan ingin hidup rukun dan damai bagi umat Islam. Sikap hidup damai bersama penganut agama lain, sudah dicontohkan oleh Nabu Muhammad saw. Yang tidak melancarkan jihad terhadap orang minoritas, yaitu Yahudi karena mereka sudah menyatakan diri untuk terikat dalam kontrak kenegaraan.[22]
Manusia dikaruniai akal untuk berpikir sehingga bebas menentukan pilihan baik dan buruk, iman atau kufur, muslim atau non muslim karean itu, tidak semua manusia menjadi muslim, sebab pengertian mulim dari segi ini ialah menyerah secara mutlak, totalkepada kehendak Allah dengan jalan takwa, memenuhi segala perintahnya dan menjauhisegala larangannya.[23]
Anjuran untuk membangun kehidupan yang damai dan rukun antar umat beragana juga di jelaskan dalam al-Qur’an  surat al-Muntahana ayat 8 : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
3.      Nilai Inklusivisme
Klaim-klaim sepihak seringkali muncul berkaitan dengan kebenaran suatu paham atau agama yang dipeluk oleh seseorang atau masyarakat. Bahwa hanya agama yang diantnya saja atau agama tertentu saja yang benar. Sementara agama lain tidak dianggap benar.sikap eksklusif ini oleh para pemerhati studi agama disebut truth claim (Abdullah, 1994:4). Sementara dalam realitasnya, terdapat beragam agama dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Pluralitas agama, keyakinan dan pedoman hidup manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat di pungkiri.
Pemahaman yang bersifat parsial untuk memunculkan klaim-klaim sepihak dari merka yang menyatakan diri mukmin dan muslim yang menempatkan segala pihak sebagai ancaman terhadap keberimanan dan keislaman tersebut. Dunia sosial kemudian mereka bagi hanya menjadi dua wilayah: antara mereka yang kafir dan mereka yang muslim. [24]
Untuk mengimbangi arus pemahaman Islam yang sektarial dan parsial ini, muncul pula gerakan keritis  yang memahami islam secara integral dan inklusif. Gerakan kritis ini berkeyakinan bahwa islam adalah agama humanis dan toleran.al-Qur’an jauh sebelumnya telah menegaskan saling menghormati dan tercapainya kehidupan beragama yang harmonis surat Saba ayat 24-26. Oleh karena itu merupakan tanggunjawab suci pemuka-pemuka agama untuk memformulasikan teologi yang dapat menciptakan kehidupan imani yang damai dalam kontek kemajemukan agama di nusantara ini.
4.      Nilai Kearifan
Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuki mencari sendiri berbagai hal yang dapat disebut perinsip sekunder.[25] Dalam Islam, kearifan dapat dipelajari melalui ajaran sufi, Sufi artinya kebijkan atau kesucian yaitu suatu cara membersihkan hati dari kelakuan buruk. Sufi mengajarkan kepada Manusia untuk membersihkan nafsu, hati, dan jiwa melalui pendekatan esoteris melihat Allah tidak untuk ditakuti tapi untuk dicintai.  
Ajaran islam juga mengajarkan bertindak secara adil, tidak boleh melakukan kekerasan dan tidak boleh menuruti hawa nafsu juga. Dalam surat an-Nahl ayat 90 dijeleaskan mengenai ajaran Islam kepada pemeluknya dalam menerima informasi yang belum jelas asal usulnya. Kunci kearifan adalah kerendahan hati. Sesorang yang arif menunjukkan kerendahan hati, dapat memosisikan dirinya, tahu kapan menyatakan tidak, kapan berhenti membantu orang lain, tahu kelemahan manusia dan kesulitan untuk melakukan perubahan.
5.      Nilai Toleransi
Istilah toleransi berasalal dari bahasa Inggris, yaitu: “tolerance” berarti sikap  membiarkan. Mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.[26]
Pemegembangan sikap pluralisme pada pesrta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera di lakukan oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran islam yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan menitikberatkan pada pemahaman pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks berbeda agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialismedan eksklusif kelompok agama dan budaya yang sempit
6.      Nilai Humanisme
Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi yang dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujusn ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan  cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai.
Dengan gerakan Humanisme dan skolasitisme telah memunculkan oertodoksi kebahasaan dan hukum keagamaan melahirkan “teradi”  tertentu dalam pendidikan Islam, yakni pendidikan Islam yang bisa di jadikan salurantransmisi dan inkulturasi keilmuan dan keabsahan hukum-hukum dalam kerangka ortodoksi. Atas dasar inilah pendidikan (islam) dinilai sebagai ‘sistem sosial” senantiasa merefleksikan filosofi komunitas pendukungnya.[27] Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual emosi (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup peraktis,
7.      Nilai Kebebasan
Setiap manusia memiliki hak yang sama di hadapan Allah. Manusia tidak dibedakan derajatnya berdasarkan suku, ras,  maupun agama. Allah memiliki ukuran tersendiri dalam memberikan peneilaian terhadap kemuliaan seseorang.[28]
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali tidak bisa dipisahkan. Kata Driyakarta, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan peroses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh menggunakan missifikasi jalur kultural. Tidak ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena pendidikan secara murni berupaya membentukinsan akademis yang berwawasan dan berkepribadian manusia.
3.    Tantangan-tantangan Multikultural
Problematika dan tantangan pendidikan berbasis multikultural munculo bukan tampa masalah. Bila ditelusuri lebih jauh, persoalannya ternyata sangat kompleks. Berikut ini acapkali dijumpai permasalahannya atau tantatangan.
a.    Globalisasi
Universalitas pengalaman keberagamaan merupakan premis penting dalam ajaran argumen al-Qur’an berhadapan dengan kehidupan profan (duniawi) atau sekuler.[29]
Gelobalisasi tidak disangkal lagi, telah menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh sektor kehidupan tersentuh oleh pengaruh globalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, kita akan melihat perkembangan globalisasi, a). Globalisasi politik, b) globalisasi ekonomi, dan b). Globalisasi kebudayaan.
b.   Gerakan Radikalisme Islam
Gerakan radikalisme akhir-akhir ini juga menjadi ancaman persebaran mltikulturalisme di dunia. Pasalnya model gerakan ini ditengarai banyak pihak cenderung tidak menghedaki kebesan dan kemajemukan. Intinya adalah mempertahankan eksistensi dan ortodoksi agama sembari menempuh jalan kekerasan.[30]
c.    Dinamika Politik dan Agama
Konflik dan kerusuhan yang etrjadi di beberapa kawasan seperti Aceh, Sampit, Poso, Ambon, tragedi 1998, Tragedi Semanggi I dan II, dan beberapa waktu lalu penyerbuan laskar FPI kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Bearagama dan Berkeyakinan yang sedang menggelar aksi damai. Tindakan dan perilaku biadab manusia atas manusia lain di bumi Indonesia tampaknya bukanlah barang aneh. Indonesia seolah-olah tak pernah sepi dari peristiwa mencekam dan menakutkan itu.[31]
Beberapa konflik yang sering terjadi telah menjadi persolan kebangsaan yang tak pernah surut dari bagunan sejarah Indonesia. Mencoba mengidentifikasi masalah-masalah ada beberapa yang perlu diapresiasi. Pertama masalah integrasi. Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan keyakinan menyimpan potensi akan terjadinya konflik. Kedua masalah legitimasi politik kekuasaan. Sejak orde lama, orde baru samapai reformasi, masala legitimasi ini sering dipersoalkan sebagai legitimasi dari atas (dari Tuhan atau alam mistik).[32]
d.   Hubungan Agama dan Negara
Ada tiga pandangan hubungan agama dan negara yang sering menjadi perdebatan di masyarakat dan secar khusus di dunia Islam. Pertama, paradagma integralistik. Agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga wilayah politik. Kedua, paradigma simbiotik. Agama dan negara berhubungan secara simbiotik atau timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara bisa berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara bisa berkembang dalam hubungan etika dan moral. Ketiga, paradigmaa sekularistik. Suatu pandangan yang memisahkan antara agama dan negara, agama dan negara dalam paradigma ini, merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin disatukan:[33] 
C.  Penutup
dari  uraian makalah di atas penulis dapat menarik sebuah kesimpulan sebagai berikut: Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan dapat menjadi soliusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan multikultural menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budiaya.
Pendidikan multikultural juga dapat digunakan untuk membina siswa agar mereka tidak tercabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas sosial budaya di eraglobalisasi ini.Pendidikan m ultikultural ini bisa di masukkan secara integral dalam semua mata pelajaran.
1.    Nilai-nilai pendidikan Islam berbasis multikultural
a.       Nilai Andragogi
b.      Nilai perdamaian
c.       Nilai inklisivisme
d.      Nilai Humanisme
e.       Nilai kearifan
f.       Nilai toleransi
g.      Nilai kebebasan
2.    Adapun tantangan pendidikan multikultural
a.       Globalisasi
b.      Gerakan radikalisme Islam
c.       Dinamikan politik dan agama
d.      Hubungan antar agama dan negra
Perbedaan budaya, agama, aspirasi poltik, kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan Interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi Negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalisme
Daftar Pustaka
Arif , Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakata;  LkiS, 2008
------------------, pendidikan Islam Inklusif-Multikultural, Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. I, Nomor I, Juni 2012.
Assegaf, Abd. Rahman, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondidi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta; Tara Wacana, 2004
Baidhaway, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta; Erlangga, TTh.
Esposito, John L. (ed), Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Doktrin Iman & Realitas Sosial, terj. M. Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press, 2004

Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS, 2012.

Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008.

Maksum, Ali, Peluralisme dan Multikultularisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, yogyakarta; Aditya Media Publishing, 2011.
al-Munawara, Said Husain, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Naim, Ngainun & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
­
Sanaky, Hujair AH, “Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas”, www.sanaky.com
Tang, Muhammad (dkk), Pendidikan Multikultural Telaah Pemikiran dan Implikasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea Press, 2009,
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003.
Yakin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding, Untuk Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta:  Pilar Media, 2007.
Lintubesang Muammad Ali, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan Sejarah Islam, Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011
Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 1999.




[1]Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm., 196
[2]Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Yogyakarta; Aditya Media Publishing, 2011, hlm., 26
[3]Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008, hlm., 175-176
[4]Zakiyuddin Baidhaway, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta; Erlangga, TTh, hlm., 2
[5] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003, hlm., 164-165
[6] Ibid., hlm.,165
[7]Ibid., hlm., 167.
[8] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme... hlm. 203
[9]H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003, hlm., 170-171  
[10]Ibid., hlm., 167
[11] Ibid., hlm., 171-172
[12]Hujair AH. Sanaky, “Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas”, www.sanaky.com du inggah Pada Tanggal 27 Feb 2013
[13] M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding, Untuk Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta:  Pilar Media, 2007, hlm., 3-4
[14] Muhammad Tang (dkk), Pendidikan Multikultural Telaah Pemikiran dan Implikasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea Press, 2009, hlm, 1
[15] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme... hlm.205
[16]Mahmud Arif , pendidikan Islam Inklusif-Multikultural, Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. I, Nomor I, Juni 2012, hlm. 5
[17] Mahmud Arif , pendidikan Islam
[18] Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Hlm. 215-218.
[19] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme... hlm., 266
[20] Ibid., hlm., 266
[21]Ibid., hlm., 270
[22] Ibid., hlm., 272
[23]Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondidi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta; Tara Wacana, 2004, hlm., 148
[24] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme... hlm
[25] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS, 2012, hlm., 187
[26]David G. Gularnic, Wabster’s Word Distionary of American languange, dalam  bukunya Said Husain Al-Munawara, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm., 13
                [27] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakata;  LkiS, 2008. Hlm., 106-107
[28] Muhammad Ali Lintubesang, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan Sejarah Islam, Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011, hlm., 97
[29] John L. Esposito (ed), Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Dokrin Iman & Realitas Sosial, terj. M. Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press, 2004, hlm., 106
[30] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme... hlm., 317
[31] Ibid., hlm., 339
[32] Ibid., hlm., 340
[33] Ibid., hlm., 364-365